Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ramadan ke-16 dan 17: Bernaung di Bawah Persinggahan “Rasa”

Ramadan ke-16 dan 17: Bernaung di Bawah Persinggahan “Rasa”



Berita Baru, Ramadan – Melewati separuh ramadan, utas sufi Oman Fathurahman tiba di persinggahan #TanggaRuhani keenam, yakni al-Manzilah al-Audiyah atau persinggahan rasa.

Sebagaimana persinggahan sebelumnya al-Manzilah al-Ushul, seperti diungkapkan Oman pada Rabu (28/4), persinggahan rasa memuat 10 tangga rohani yang akan diulas mulai urutan #TanggaRuhani ke-51, yaitu al-Ihsan (baik).

Oman menjelaskan al-Ihsan sebagai iman dan puncak kebaikan. Pasalnya, melalui al-Ihsan seseorang akan selalu merasa diawasi, jika bukan bersama, Tuhan. Akibatnya, dalam melakukan apa pun ia akan cenderung karena Allah.

Saat menolong teman yang sedang membutuhkan uang misalnya, maka ia akan memberikannya hutang dengan tulus sebab ia akan malu jika tidak demikian lantaran—ia selalu merasa—Tuhan berada di sampingnya.

“Bagi mereka yang memiliki sikap al-Ihsan, seperti dilantunkan dalam surah al-Rahman:60, maka kepadanyalah juga al-Ihsan,” kata Oman pada Kamis (29/4).

Untuk sampai pada al-Ihsan, Oman melanjutkan, kita penting untuk memiliki apa itu yang disebut oleh al-Sinkili sebagai al-Ilm, yang tidak bukan adalah #TanggaRuhani ke-52. Istilah ini merujuk pada pengetahuan yang didasarkan pada argumentasi dan intensi menghilangkan kebodohan.

Kenyataan bahwa agama adalah jalan untuk mereka yang mau menggunakan akal sehatnya—dalam arti tidak bodoh—merupakan alasan mengapa demikian dan sebab itulah sebagai Muslim kita diandaikan untuk berjuang hingga memiliki al-ilm.

Patutnya ilmu untuk diperjuangkan bukan tanpa alasan. Oman membagi ilmu menjadi tiga (3) model, yaitu ilmu yang bisa didengar, dilihat, dan dicerna; ilmu yang yang hanya bisa diakses oleh orang tertentu dengan latihan-latihan khusus; dan ilmu yang diperoleh melalui ilham.

“Paling tidak, kategori ilmu yang pertama itu yang harus kita perjuangkan, agar kita itu menjadi Muslim yang sadar dan jika bisa tercerahkan atau al-Ihsan,” ungkap Oman.

Di level tertentu kemudian tangga rohani al-ilm tersebut bisa berdampak pada tiga (3) #TanggaRuhani lainnya, yaitu yang ke-53 al-Hikmah (hikmah), ke-54 al-Bashirah (mata batin), dan ke-55 al-Firasah (firasat).  

Pertama menunjuk pada kemampuan mengetahui rahasia segala sesuatu. Kemampuan seperti ini bisa diasah melalui kecermatan dalam membaca sebab akibat dari apa pun. Ketika kita gundah misalnya, sebagai latihan, alangkah lebih baiknya jika kita mencari sampai ketemu mengapa kita bisa gundah.

Upaya untuk mencari suatu sebab dari sebuah “kejadian” dan tidak begitu saja membiarkannya merupakan sebentu upaya pembelajaran untuk meraup al-ilm dalam hubungannya dengan kemampuan al-hikmah.

Ukuran seseorang bisa kita anggap bijak adalah pertama, ia menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kedua, tidak berlebihan. Ketiga, ia tidak menyegerakan atau juga menunda waktu yang sudah ditentukan.   

“Ditentukan di sini bisa kita pahami sebagai ketentuan dari Tuhan. Semisal dalam kondisi tertentu kita tidak bisa mudik, maka jika kita bijak, kita tidak akan memaksa untuk mudik, termasuk memaksa untuk menyegarakan mudik dengan dalih tertentu,” jelas Oman.

Kedua lebih pada kemampuan yang melampui fisik. Mereka dengan al-Bashirah mampu melihat apa pun yang tidak bisa diamati oleh penglihatan lahir.

Titik awal yang harus kita selesaikan agar bisa di tahap ini adalah yakin seyakin-yakinnya terhadap hal-hal gaib. Logikanya, bagaimana kita akan bisa memiliki al-Bashirah jika yang tidak tampak saja, kita tidak percaya atau ragu?

Orang dengan kemampuan ­al-Bashirah atau pengetahuan mata batin lebih bisa membedakan antara yang nisbi dan yang hakiki, antara yang palsu dan yang inti. Dalam konteks ketika apa pun serba samar seperti ini, al-Bashirah tidak bisa tidak menemukan momentumnya.

Selanjutnya, jika al-Bashirah membutuhkan suatu perwujudan untuk dilihat, maka yang ketiga al-Firasah sebaliknya. Penglihatan batin yang dirasakan mereka yang memiliki al-Firasah tidak membutuhkan bukti kehadiran.

Melalui al-Firasah semua terjadi dalam rasa dan pikiran, begitu kata Oman. Penglihatan batin versi al-Firasah seringnya datang begitu saja ke hati tanpa kita tahu apa penyebabnya.

“Dan layaknya yang lain, al-Firasah ini pun bisa dilatih, yaitu melalui kepekaan terhadap tanda-tanda yang pada dasarnya selalu berputar di sekitar kita. Jadi, kuncinya adalah peka pada tanda,” pungkasnya.