Pusat Agama Nabi | Puisi-Puisi: Setia Naka Andrian
Pusat Agama Nabi
Ketika langit masih sangat biru-birunya,
Ketika tuhan dan segala ajarannya masih
begitu mesra dengan siapa saja
Maka berjalanlah para pertapa
dan pengembara agung
Mencari di mana tinggalnya pusat
agama nabi
;ketika itu, segalanya terasa
begitu kuat dan seakan tiada
pernah tertandingi lagi
Dan kami hanya bisa berdiam
Menyaksikan apa saja tumbuh
dan tumbang
Mengakhiri segala permulaan
yang baru saja belajar berdiri
Di situlah, ketika memang benar
Langit sedang sangat biru-birunya
Ketika tuhan dan segala ajaran bahkan
arahnya pula masih
masih begitu mesra dengan siapa saja
Dengan ribuan utusan baginda
Terbang lepas dari tepi kening
paling sunyi
Mereka bentangkan perjalanan jauh
Menjahit segala rupa subuh
Menuju muara pengembaraan
yang sulit kami temukan lagi
Apalagi, untuk kami kendarai
benak dan batinmu
Menuju ayat-ayat itu
Yang dulu, kerap kami temukan
Sebelum kami sungguh-sungguh
mencarinya
untuk kami kenakan lagi
Hingga suatu saat, setiap di antara kami
Ingin sekali saja berakhir di sana
Di mana segala muasal
berjatuhan menuju ujung tiada kira
Di mana segala harkat tiada sesal
tumpah ruah menjadi apa saja
Maka berdoalah kami
Berzikirlah kami
Di antara segala mereka
Di antara perjalanan pengembaraan
dan pemberhentian pertapaan mereka
Hingga setelah itu, kami belajar lagi
Merawat diri kami sendiri
Bagaimana cara terbaik untuk pulang
Untuk menumbangkan diri
di atas segala pusara-pusaranya
Maka berjanjilah kami
Kepada mereka;
Jika pada suatu masa
yang entah akan rampung di mana
Kami akan tetap belajar memilih
Menjadi doa
Menjadi segala rupa
yang ditanam
di langit-langit ayat
yang kian sangat menyala
Meski kami tak paham
Harus memulai redup lagi
dari mana
Kendal, Oktober 2021
Ibu Kota Kerajaan Muhammad
Kami tahu, sejak jatuhnya
kerajaan itu,
orang-orang baginda
yang dipimpin para wali
dan doa-doa yang menyertai
jatuh dan runtuhnya itu
Tak pernah ada yang tahu
Bagaimana semua terbendung
menjadi kekuatan
Di Demak; di ibu kota kerajaan Muhammad
Bintoro, telah kami sudahi hari kemudian
untuk hari-harimu yang menjulang
Bintoro, telah kami kelahi seribu pertanyaan
tentang hari-hari akhir yang berulang-ulang
Namun Bontoro, ketahuilah
Sejak semua orang sedang belajar berdiri
Sedangkan kau di sana, telah
menjadi perjalanan itu sendiri
Maka sudah, sesaat kemudian
didirikanlah mereka
Di antara orang-orang
Yang menebak Patah sebagai raja,
Menyuarakan rencana hingga
sepenuhnya lagi pergi
Membangun masjid
Menumbuhkan kepercayaan
Menumbangkan kemenangan
dalam diri
Namun Bintoro, jika memang
kerajaan Patah telah lenyap
Jika memang, selama berabad-abad
Telah tiada lagi dijadikan kepungan
segenap umat
Namun ingat, bait-Nya masih utuh
Berdiri hingga hari ini
Dan sampai kapan pun
Hingga orang-orang yang jauh di sana
bertanya,
“Apakah segala ini akan tetap menuju
langit, meski siapa saja telah tak kuasa
meluruskan arah telunjuk jarinya?”
Kendal, Oktober 2021
Bintoro dan Kadilangu
Bintoro, kukatakan kepadamu
Saat itu, saat kabar datang
Menggiring perjalanan Raden Patah
Menyusuri langit-langit basah
Ia bentangkan diri ke Jawa
paling tengah
Maka sudah, setelah singgah
Ia jatuhkan kaki di Bintoro
Dan kemudian, ketika bait-bait suci
membawa kembara
dari ujung keningnya
Maka dibangunlah masjid itu
Dibantu Djoko Said dan para wali
Dan ketahuilah, Bintoro
Ketahuilah Djoko Said itu,
telah diberi Raden Patah
sebidang tanah kosong
yang diberi nama Kadilangu
Dari situlah, ia berserta keturunannya
telah pemilik sah selama-lamanya
Dan selama itu, ia telah membersihkan
tanah-tanah Kadilangu
Hingga kemudian desa-desa muncul
Tumbuh menjadi mula dan muara baru
Menuju langit-langit yang kian basah
berkah dan penuh segala kelegaan itu
Ketika sudah, Bintoro. Ketika sudah,
Djoko Said menetap selama-lamanya
Ia pun telah memperoleh pengaruh besar
di luar wilayahnya
Sangat jauh membentang dari Kadilangu itu
Ia memegang pengetahuan dan agama,
Ia kendarai segala rupa menuju tuhan yang esa
Hingga, ia terima Sunan Kalijaga
Dan Bintoro, ketahuilah
Kau yang titik tengah,
Muara dari segala kepulangan arah
Maka sudah, Bintoro. Maka sudah,
menetaplah ia selama-lamanya
di Kadilangu
Dan ketahuilah Bintoro,
Tidak hanya semasa hidup saja
ia menjadi sangat berarti
Saat tiada pun, ia telah
menjadi langit basah
bagi siapa saja yang sedang memburu
berkah dalam segenap tengadah
Kendal, Oktober 2021
Doa Baik di Hari Baik
—Miftakhul Ulum
Pada segala yang baik, berdirilah
sebuah hari yang isinya doa
dan beraneka rupa
masakan rumah tangga
Di sana, orang-orang memilih
mengembara dalam gembalanya
masing-masing
Menuju warna pintu yang kau sediakan
baginya seorang
Doa-doa berjatuhan dari orang-orang
yang hilir mudik menyambangi
singgasanamu yang kokoh itu
Tak ada yang sepenuhnya tahu,
kapan hari-hari baik akan menjadikan
diri siapa saja menjadi sangat terpuji
di hadapannya
Tak ada yang tahu. Meski semua itu,
bermula dari setiap langkah
yang kau tanam sendiri
dari segenap catatan-catatan panjangmu
yang telah lalu
dan berlalu
Sebab bagaimana yang asing
dengan dirinya
adalah yang kian gemetar
menanam rupa-rupa wangi
di sebelah dadanya
sendiri-sendiri
Pada suatu doa yang kian mengeram
di tengadah tanganmu
yang kian dewasa,
Berlarianlah hari-hari baik
yang sangat rahasia
Mengunjungi percakapan dan perayaan
yang tiba-tiba
menjadi diri sendiri
dalam diri perasaanmu
yang kian tebal
dan ramai sekali
Kau mengejar bersamanya,
mengunjungi berbagai anak panah
yang telah kau siapkan
dari segala arah
telunjuk jarimu sendiri
Kendal, Juni 2021
Tumbuh Sekali
Tumbuhlah sekali
dalam hidupku
dan
matilah selamanya
di hari-hari baikmu
sendiri
Tumbuhlah sekali
Jadilah rindu
atau
belantara
atau
apa saja
yang susah kuingat
dan tak pernah
sanggup kutanggalkan
nama-namanya
Tumbuhlah sekali
Bila hari akan berakhir,
bila segala
yang pernah terjadi
akan kembali lagi
dan kemudian
menghilangkan segalanya
Tumbuhlah sekali
Boleh saja
saat hari-harimu
belajar dewasa.
Menjadi sangat riang
sekali
dan bisa saja
lebih manja
dari tahun-tahun
sebelumnya
Namun ingat,
suatu saat
di hari terakhir
perjumpaanmu,
datanglah kembali
menjadi orang lain
Atau
apa saja
yang kerap membuatmu
tak jadi
memiliki apa-apa
Kendal, Juni 2021
Di Balik Dunia (Boneka)
Kapan-kapan
kau kuajak ke sana
Ada permainan
yang unik sekali
Kau pasti akan suka
Bagaimana pagi hari
akan sungguh menyala
di atas kepala kakek-nenek
yang sedang
berciuman erat-erat
di jendela kamar mereka
Kendal, Juni 2021
Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Menulis beberapa buku puisi, di antaranya Waktu Indonesia Bagian Bercerita (Penerbit Buku Beruang, 2020), Bermula Kembara Bermuara Kendara (Sangkar Arah Pustaka, 2021).