Puisi-puisi Umi Kulsum: Monolog Ronggeng
Pelajaran Wabah
Sejak wabah tiba
di layar ponsel kita bertatap muka
Ibarat perang gerilya
kita dibidik musuh dari balik gerumbul
yang tak tertangkap mata
Hanya berita duka
terdengar dari mana-mana
mengiringi tubuh-tubuh menuju karantina
Tidak apa-apa
ya, tidak apa-apa
Aku di rumah saja
kau di rumah saja
agar dunia tak menampung petaka
Tak harus di sekolah kita bicara
tak harus di kelas kita membaca
agar dunia tak lama menyimpan luka
Karangjati-Bantul, 2020
Di Ruang Kelas
Tak ada lagi yang biasa
semua terkunci
memilih menepi dan menyendiri
Meja dan kursi
tak ada lagi yang menempati
guru dan murid
tak bertanya-jawab lagi di ruang ini
Tak hanya kita
seluruh benda pun mungkin juga berdoa
agar dunia
tak dihuni wabah semata
Biarkan anak-anak
kembali menapaki hari-harinya
sepatu bertemu dengan telapak kakinya
buku-buku bertemu dengan tulisannya
Dan dari balik masker
biarkan mereka menemukan apa yang dicarinya
seperti jendela menemukan udara
langit menemukan luasnya
Dan pandemi
hanya kisah gelombang pasang
yang dalam sekejap
sudah surut kembali
Karangjati-Bantul, 2020
Di Rumah Tohari
Aku menemukan kisah-kisah lama
menempel pada dinding rumahnya
Rumah yang pintu dan jendelanya
selalu terbuka
dan angin menjadi tamu
sepanjang waktu
Ia adalah rumah
tempat naung segala raung
tempat simpuh segala gaduh
Seperti urat bukit
dan siluet pepohonan
kisah-kisahnya
melebarkan cakrawala
yang hampir sirna
Aku bertamu di sana
pulang dengan sekantong tanya:
“ Kebenaran itu bagaimana? “
Karangjati Bantul, 2020
Monolog Ronggeng
Aku Srinthil
gadis belia yang tiba-tiba dewasa
menggemparkan seluruh desa
Inilah monolog
yang mau tak mau aku dengar pula
ketika darah menuliskan sejarah
di lembah-lembah
Akar pohon
batu-batu,
bukan saksi bisu
tetapi sebagai pelaku
mengajariku sebagai ratu
Dan sejarah itu
tertulis panjang di ragaku
terbungkus kebaya
betapa dalam luka
diukir para penguasa
Aku tak bisa apa-apa
Karangjati Bantul, 2020
Sajak Tentang Perempuan
Engkau perempuan
yang selalu meletakkan tangan
di pintu gerbang peradaban
menjaga segala yang tak terjaga
menjaga segala yang hidup
dan senantiasa ada
Benar,
engkau sudah ada
sebelum bayi-bayi bisa menangis
dan membuka mata
sebelum kanak-kanak bermain
dan berkata-kata
Sungguh,
engkau lebih dulu ada
dari segala yang ada di sini
sebelum batu-batu tersusun rapi
sebelum rumah ini berdiri
sebelum kota-kota berdiri
bahkan
sebelum pohon-pohon berdiri
Di tanganmu
hidup sama sekali tak pernah fana
dan segala yang sementara
tiba-tiba jadi abadi
seperti cinta dan kasih sayang
yang mengalir bagai sungai
dari hilir ke muara
kapan waktu berakhir tak pernah bertanya
Engkau,
yang selalu bercocok tanam
tentang biji-biji hidup
di segala pelosok waktu
di segala zaman
yang melahirkan kehidupan
Karangjati-Bantul, 2020
Umi Kulsum, tinggal di Bantul. Buku antologi puisinya yang berjudul Lukisan Anonim (2016) dan Akar Ketuban (2017) mendapat penghargaan dari Yayasan Hari Puisi Indonesia. Aktif bergiat di Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya.