Puisi-Puisi Setia Naka Andrian: Sebuah Papan Nama
Sebuah Papan Nama
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Kami menyaksikan, sepotong
telur diiris-iris menjadi anak-anak berlari.
Larinya kian kencang, kencang sekali
Sambil mencoreng kanan mencoreng kiri.
Jalanan sesak dipenuhi bonus kuota internet
di matamu yang dikupas masa depan
tak berarti.
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Panjangkanlah, panjangkanlah
langkah kakimu. Injaklah bumi yang kerap
dikata datar ataupun lonjong dan berupa-rupa
itu.
Parkirlah, parkirkanlah setiap kali kami
mengungsikan keyakinan ini.
Menuju mana saja, kami pasrah.
Setiap kali semua yang hidup
telah beranjak menjadi apa pun selain
yang patut dibisiki.
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Sepuluh pabrik, menciptakan
arah pulang. Menjadi seekor kera memanjat
tubuh wanita dan duri-duri belantara.
Rambutnya panjang, giginya runcing
tak beraturan. Ia menyerobot apa saja
yang telah dilihatnya lewat di depan mata.
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Semacam fase, saat tekanan darah
mulai naik. Mendaki pikiran mencampuri segala
urusan yang tiba-tiba muncul di ketiak kanan.
Sedangkan kemarin baru saja ditemukan
pangeran bergincu mengepakkan sayapnya
di atas kuda merah. Di belantara yang susah
kami hafal luas dan kedalaman sesatnya.
Kian dilihat kian berlari kencang.
Kencang sekali, kami sama sekali tak kuasa
mengejar. Kami sama sekali tak kuasa
memanjangkan hitungan.
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Sebab bagaimana lagi, rencana
yang dibuat telah menjadi sepasang masa lalu
di sepanjang jalan berlubang yang sungguh
sedang dialiri berbagai kemungkinan
yang sama sekali tak matang.
Kami lupa tidur siang, memanjatkan pikiran
di antara sekian raksasa yang sama sekali
tak pernah mau menghitung langkah berat badan.
Sebuah papan nama. Ditanam saat hujan
belum reda. Kami minggir sesekali, menikmati
apa saja. Sambil sekian kali bertanya,
kapan semuanya akan pulang bersama-sama,
kapan semua yang ditunggangi akan menjauh
dari sebuah nama
Kendal, Februari 2021
Selamat Pagi Televisi
Selamat pagi televisi, aku menjadi
dirimu seorang diri
Mencurimu adalah warna yang susah
kucari
Sebuah siaran memancar dari pagi.
Mengatasnamakan sepiring nasi
dalam mangkuk yang dibanting
dengan sekian permisi
Sudah sangat pagi rupanya, aku
menjadi bola lampu yang dipagari
di tepi layar sebuah pertanyaan
di kemudian hari.
Bagaimana kabarmu, bagaimana
makanmu hari ini.
Begitu katamu, menjadi seperti
tak kunjung kupahami lagi, dan lagi
Sebuah kesepian, ditanam di lutut
seorang bayi
Kau menatapku dengan penuh
percaya diri
Bagaimana esok hari, bagaimana
warna terbaik di antara kecupan pipi.
Semacam pertemuan yang berulang-ulang
disepakati
Bagaimana suasananya nanti, bagaimana
curah degupnya nanti
Saat kau dan aku bergandengan
di antara reruntuhan kabar media
yang berguguran di televisi
Kendal, Februari 2021
Pertanyaan Kemarin
Pertanyaan kemarin, diulang lagi
Saat aku dan kamu sedang asyik
menyendiri
Namun apakah itu aku, yang menempel
di kupingmu
Sedang kemarin, aku takut berusaha lagi
Sebagaimana semua yang telah menjadi
curiga dan benci yang menjadi-jadi
Pertanyaan kemarin, diulang lagi
Saat semua beralih peran, menjadi patung
Menjadi diskotik dan burung hantu
Lalu percayalah kamu, jika nanti pulang
pagi-pagi sekali di hari minggu
Jangan tanya lagi, ke mana perginya rindu
dan batu-batu
Pertanyaan kemarin, diulang lagi
Aku akan mengusahakanmu menjadi perahu
Tumbuh dan berkembang di air yang penuh
candaan lucu-lucu
Lalu aku pesan lagi; jangan melulu tanya,
ke mana perginya rindu dan batu-batu
yang sudah tak pernah menjadi aku
Kendal, Februari 2021
Lampu Minyak
Nyala itu pergi dari matamu
Seperti racun yang ditempel
di mulutmu
Pagi hari tak bergincu
Aroma wine menyengat
dari bibir yang menempel
di pipiku
Aku menyaksikan,
bangunan-bangunan berdiri
di sebelah cahaya
dari keningmu
Orang-orang berlari, mencari
kapan lagi suasana
akan kembali
Dan seperti itu yang berulang
kali menyesaki segala hayat
yang dibesarkan dan diberi
akal lagi
Menjadi seperti anak panah
yang kerap ditunggangi
para prajurit yang terombang-ambing
meronta
dan melarikan diri
Sungguh nyala itu, menjadi
seperti matamu sendiri
Benar-benar segala yang terjadi
Menjadi api, menjadi segala
yang berumur adalah ujung
dari segala nurani
Menjadi lampu, menjadi segala
omongan dari mulutmu
yang berbisa; meracuni
Namun tak begitu mematikan
itu
Kendal, Februari 2021
Setia Naka Andrian. Lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisi terbarunya Mendaki Dingin (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2020). Buku puisinya Kota yang Mukim di Kamar-Kamar (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019) memperoleh Nomine Antologi Puisi Terbaik Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Beritabaru.co menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke sastraberitabaru@gmail.com beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word. |