Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Puisi-puisi Rusydi Firdaus: Nai, Lihat Siapa yang Datang
Ilustrasi: lukisan Eddie Hara

Puisi-puisi Rusydi Firdaus: Nai, Lihat Siapa yang Datang



Biru

I
Aku pulang dari pengembaraanku
Dan bertanya pada biru
Bagaimana masa kecilku:
“Kau sungguh menakjubkan!” katanya.

Dari dadanya aku mencecap rasa kejayaan,
Merayakan kisah-kisah kerajaan laut.
“Inilah aku,” kataku dalam hati.
“Dengan mahkota dan kapal-kapal.”

Malam penuh bintang
Bulan menabur tembang
Angin utara berembus pelan lewat jendela
Aku dan biru menyaksikan langit begitu lapang

Aku pulang dari kekalahan
Meminta biru bercerita
Apakah benar masa kecilku penuh kemenangan
Dia mencium keningku dan berkata:
“Kau sungguh menakjubkan!”

Dari rambutnya aku menyisir hari
Kebahagiaan yang ditenggelamkan para pendatang.
Kebingungan mengguncang masa depan.
Aku dan biru menyaksikan matahari begitu muram

II

Aku adalah sekumpulan dongeng yang hilang
Tradisi yang gugup dan tahun-tahun yang memar

Aku adalah rumah lama yang kosong
Tanpa halaman, tanpa tukang kebun

Aku adalah bayanganmu yang tidak punya masa lalu
Hidup dengan banyak nama yang menyesatkan

Banyak jalan, banyak persimpangan

Biolaska, 22 Desember 2018

Tangan Perempuan

Aku hidup dari mata air
Perempuan yang terus menetes
Kucium tangannya
Dan jarinya yang dingin
Menghapus ketiadaanku.

Aku pun mengembara
Kisah-kisah lahir
Nyanyian-nyanyian ditembangkan

Aku kembali ke asal mula
Dan masuk ke dalam rumah tanpa pintu
Aku menemukan kertas keabadian
Kemudian kutulis tentang negeriku
Dengan tinta darah nenek moyang

Kata-kata
Menentukan masa depannya sendiri
Membangunkan angin
Yang tidur bertahun-tahun di mataku

Aku mendekapmu
Dari masa ke masa
Hingga tak lagi ada.

Hari ini,
Matahari terbit dari liang kekalahan
Wajah-wajah baru tumbuh dari tanah masa lalu.
Di sini anak-anak menabur bunga pada kata-kata.
Semerbak harap mekar di jalan-jalan

Aku hidup dari mata air
Perempuan yang senantiasa menetes

Kost Miniatur Semesta, 18/10/2018

Nai, Lihat Siapa yang Datang

Kau sudah bisa berjalan
Jika kau tumbuh besar nanti dan pindah rumah
Kenalilah dia, narasi yang gagal memahami manusia
Dia terus berdegup dalam ingatan atau buku-buku

Berabad-abad dia berkelana dari generasi ke generasi
Tak habis-habis mendongengi para pecandu yang kehausan
Dia adalah pembuat jalan melingkar-lingkar
Mengendalikan hasrat yang bersarang dalam dada manusia
Kenalilah dia sebagai narasi tak utuh
Yang entah siapa menciptanya

Rupanya kau sudah membaca dan pandai berlari
Kelak jika waktu mempertemukanmu dengannya
Kau jangan khawatir dan tak perlu bertanya
Memang begitulah narasi, gagal mencipta negeri ini

Suatu waktu dia datang ke rumahmu sebagai surat kabar
Kemudian bacalah di depan anjing-anjingmu
Kau tahu, bahwa anjing tak akan mengerti
Bagaimana narasi itu bermula

Berabad-abad dia mencari ibu kandungnya sendiri
Siang-malam dia terus terjaga di jalanan
Mengintai siapa saja yang berlalu

Nai, lihat siapa yang datang

Biolaska, Desember 2018

Aku

Aku membunuh diriku dengan pisau pemahat zaman
Mayatku bangkit, datang kepada tubuh-tubuh sunyi.

Malam berbaring dan menetaskan dingin
Aku berjalan di antara puing bahasa dan puing masa kini
Melewati tumbukan demi tumbukan kebinatanganku.

Layar televisi atau papan-papan iklan
Menebar impiannya masing-masing
Membuka jalan kemungkinan-kemungkinan
Yang berusaha memahamiku.
Ketukan-ketukan nada masa lalu
Menggedor ingatan kaum pemabuk
Aku mendekapnya, memikatnya sebagai kebenaran.

Aku membunuh diriku, mayatku bangkit serupa:
Para pemeluk teguh menggapai-gapai surga,
Para kuli bangunan membuat jalannya sendiri,
Para pelukis menggambar wajahnya sendiri,
Para pedagang menjual riwayatnya sendiri.

Aku adalah puing bahasa dan puing masa kini

2019

Tawanan

I
Bulu matamu adalah kavaleri
Begitu gagah dan perkasa
Aku tak bisa berpaling dari pengepungan ini.
Mereka mengikat seluruh diriku,
Menjadikan aku sebagai tawananmu.

Mereka berkuda sepanjang siang-malam
Seberangi bukit sunyi atau lembah waktu.

Mereka membawaku pada:
Pagi yang pertama kali rekah di bibirmu
Sumber mata air yang terus mengalir dari kelopak matamu
Segalanya menjadi hidup dan beragam

Bulu matamu adalah kavaleri
Mengepungku, mengikatku
Sebagai tawananmu

II
Malam adalah rambutmu terurai panjang
Bintang-bintang bertaburan di langit kerudungmu
Kemudian kuterjemahkan ke dalam puisi:
Kata-katanya menghibur para pecinta,
Membangunkan orang-orang putus asa, dan
Jadi pengantar tidur bagi anak-anak kecil

Aku bermula dari tanganmu, dan berakhir di kakimu

Aku merangkul Timur dan Barat
Ketika kedua payudaramu bergetar
Kemudian melebur dalam gelak-tawamu.
Aku melihat mereka lebih nyata melalui kacamatamu

III
Aku menyembunyikan diriku dalam saku bajumu,
Menemukan diriku yang lain ketika kau tidur.
Semua langkahmu sejarah panjang bangsaku
Tersimpan rapi dalam dokumen-dokumen ingatanmu

Aku membacamu di perpustakaan
Duduk di lantai dua dekat jendela matamu;
Kau telah kurengkuh.

Yogyakarta, 20a19

Masa Kecil

Layangan
Berasa hari tali yang memanjang
Pada masa kanak terus bermain dalam angan
Tetapi ibu selalu mendidikku pemenang

Burung
Kuburu sepanjang siang
Di mana ia bersarang ketika malam datang

Pohon
Tumbuh subur dan kuat dalam jiwaku
Aku akan datang padamu, aku akan datang padamu

Kelana
Waktu tiada guna bila aku memejam mata
Angin sangat cepat mengubah segala yang menyala
Meskipun hari selalu sama

Rumah
Masing-masing diri menggaris jalannya takdir

Yogyakarta, Juli, 2020


Rusydi Firdaus, merupakan seorang penata atau pengaduk kopi, pengkhusyuk sastra. Tinggal di Yogyakarta.