Puisi-Puisi Faisal Kamandobat: Burung Akhir Zaman
Burung Akhir Zaman
Burung akhir zaman telah berkicau
Di ranting-ranting jiwa
Di setiap huruf kitab-kitab
Perihal waktu, perihal debu
Ilmu telah begitu tua
Pula bumi, pula surga
Ruh-ruh mereka yang keriput
Terus mengelupas dari segala ada
Lapis demi lapis
Hingga ke inti nyanyian
Puisi ini
Di ranting-ranting jiwa
Di setiap huruf yang kita baca
Waktu adalah Musafir
Waktu adalah musafir
Yang melintas wajah-wajah
Menggulung nama-nama
Mengubur jasad mereka
Dalam kesunyian cerita
Mari kita nyanyikan kefanaan ini
Dengan seni adi luhung yang patah
Serupa nisan-nisan dan angan-angan
Rupa-rupa kemanusiaan
Kita nyanyikan
Dengan filsafat dan roket-roket
Yang membumbung tinggi
Serta kesunyian dan kehampaan abadi
Yang membentang di atasnya
Mereka Menyambut Hari Kiamat
Siapa tersenyum di tengah kabut?
Siapa bernyanyi di beranda?
Siapa menari dengan wajah ceria
Menghadap langit penuh badai?
Hari kiamat akan segera tiba
Kita mesti menyambut dengan penuh suka cita
Akhir semua waktu
Di mana semua kata kerja akan membeku
Menjadi kata benda
Dan tindakan-tindakan tak berguna
Tertunda untuk selamanya
Mereka yang lolos dari akhir zaman
Akan melanjutkan pekerjaan mereka
Di rumah, di kantor atau di pabrik
Menghidupi keluarga dengan rizki yang baik
Menanti datangnya juru selamat
Dengan kerja keras dan tanggung jawab
Pada kebun kecil di belakang rumah
Bunga-bunga bermekaran
Menanti akhir zaman
Benih-benih masih bermunculan
Untuk mengisi kehidupan baru
Dan burung-burung berterbangan
Menuju dahan-dahan pohon
Seorang ilmuwan tua
Yang telah lama berdiam di laboratorium
Keluar rumah sambil membawa temuannya
Sebuah jam tua dengan setumpuk kertas
Berisi teori baru tentang pembiakan waktu
Dengan kelipatan tak terhingga
Yang dapat menyebar seperti wabah
Khayalannya segera disambut
Orang-orang yang terlalu banyak menanggung
Kesedihan sepanjang hidupnya
Dipenuhi kisah-kisah tentang para juru selamat
Dan persekongkolan orang-orang besar
Yang mengendalikan dunia
Semua berakhir ketika bocah
Yang baru pulang dari sekolah
Menghampiri kerumunan mereka
Dan bertaruh sambil memasang koin
Bahwa nanti malam hujan akan turun
Dan esok matahari akan terbit
Seperti biasanya
“Tapi jam tuamu akan tetap mati
Sampai juru selamat menghidupkan
Kembali,” katanya.
Esok hari, jalanan dipenuhi orang-orang
Mereka tak sedang menunggu
Penyelamat akhir zaman
Tapi berangkat ke tempat kerja
Bertemu teman, kolega atau sekadar
Makan di sebuah kafe
Beberapa orang bernyanyi di alun-alun
Menyambut para pejalan yang lalu-lalang
Dengan perasaat hebat dan syahdu
Mereka membawakan lagu-lagu cinta
Dan petualangan ke tempat-tempat jauh
Yang indah dan misterius
Hari kiamat yang dinanti-nanti
Tak jadi tiba pada hari itu
Mungkin ia sedang dalam perjalanan
Dan selalu seperti itu
Sesuai batas waktu yang telah ditentukan
Seperti Tuhan
malam ini namamu
kutanggung sebagai doa
yang gagal kupanjatkan
dengan mataku yang padam
dan lidahku yang patah
aku kehilangan peta
menuju tuhan
sudah lama aku tidak bicara
dengan langit dan planet-planet
sudah lama aku tak bicara
dengan diriku
segalanya adalah engkau
yang mencintaiku bagaikan tuhan
enggan dibagi atau terbagi
dengan apa dan siapa pun:
aku pun menyaksikan segalanya
setelah kau butakan mataku
maka kutinggalkan kau
dalam saat yang duka ini
aku ingin kau gembalakan sendiri
cinta dan bayang-bayangnya
sepanjang jalan yang dingin
dan penuh hantu
maafkan atas setiap dosa
yang belum kulakukan
karena cinta dalam diriku
tak punya ikatan dengan apa pun
Faisal Kamandobat adalah penyair, prosais dan eseis kelahiran Cigaru, Majenang, Cilacap. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa, majalah, jurnal, dan antologi bersama. Ia bergiat sebagai redaktur di Jurnal Puisi Indonesia Rumah Lebah, humas di Bale Sastra Kecapi Jakarta, pembina Jaringan Komunitas Sastra Pesantren Matapena dan Komunitas Kebun Makna, serta peneliti madya di Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta. Sekarang sedang belajar di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta.