Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Napi Korupsi
Fajri Nursyamsi, Peneliti Senior di PSHK.

PSHK: Pelarangan Mantan Napi Korupsi Ikut Pilkada Harus Berbasis Kajian Matang



Berita Baru, Jakarta – Wacana pelarangan mantan Narapidana (Napi) kasus korupsi untuk mengikuti gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak tahun 2020 kembali mendapat tanggapan. Kali ini peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi menilai bahwa isu tersebut perlu pertimbangan yang matang dan berbasis kepada bukti atau penelitian, karena berkaitan dengan pembatasan hak akan berdampak kepada tujuan penghukuman terhadap seseorang yang dijamin dalam Konstitusi.

Warga negara yang akan dibatasi haknya, lanjut Fajri, adalah mereka yang sudah melalui masa hukumannya, sehingga seharusnya sudah dianggap dapat kembali ke masyarakat dan hak-haknya dipulihkan, termasuk hak ikut dalam pemerintahan, selama tidak ada putusan pengadilan yang membatasi haknya tersebut.

“Setelah menjalani hukuman, mantan Napi haknya telah kembali, termasuk hak untuk ikut mencalonkan sebagai Kepala Daerah. Kecuali kalau ada putusan pengadilan yang membatasi hak tersebut”. Tutur Fajri kepada Beritabaru.co melalui pesan Whatsapp pada Senin (2/9).

Fajri menegaskan, apabila kebijakan pelarangan Mantan Napi Kasus Korupsi untuk ikut Pemilukada 2020 tersebut akan diterapkan oleh pemerintah, maka harus dituangkan dalam UU, yaitu dalam UU yang mengatur penyelenggaraan Pilkada.

“Pengaturan dalam bentuk Peraturan Presiden apalagi Perppu tidak cukup”. Tandasnya.

Selain itu, imbuhnya, pencantuman ketentuan larangan pada mantan narapidana maju sebagai calon dalam Pilkada harus mempertimbangakan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Nomor 4/PUU-VII/2009, yang menyatakan bahwa larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk maju menjadi calon dalam Pilkada adalah inkonstitusional bersyarat, selama yang bersangkutan mengakui secara jujur dan terbuka.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bawaslu RI mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilukada. Klausul revisi tersebut berkaitan dengan larangan bagi mantan Napi kasus korupsi ikut dalam Pemilukada serentak 2020 mendatang.

KPU RI dan Kementerian Dalam Negeri juga menegaskan sikapnya untuk mendukung wacana tersebut. (*)