Presiden Sarbumusi Dorong Pemerintah Terapkan Zero Migration Cost
Berita Baru, Jakarta – Memperingati Hari Buruh Migran Internasional (International Migrant Day) 2022, Presiden Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin meminta pemerintah memberlakukan beberapa aturan yang berpihak kepada para pekerja migran Indonesia. Ada empat poin yang disodorhan Irham. Salah satunya adalah menerapkan zero migration cost.
“Dalam momentum International Migrant Day 2022 ini, Konfederasi Sarbumusi mendorong pemerintah, pertama memberlakukan zero migration cost bagi buruh migran sepenuhnya, tanpa meletakkan beban pembiayaan kepada calon/pekerja migran,” kata Irham, Minggu (18/12/2022).
Kedua, meminta pemerintah untuk menginisiasi dan merealisasikan MoU bilateral dengan negara-negara tujuan yang mencakup jaminan perlindungan bagi buruh migran di semua sektor yang ada di negara penempatan.
Poin ketiga, lanjut Irham, mendesak pemerintah agar membuat strategi komprehensif dan terkoordinasi terkait dengan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi buruh migran dan anggota keluarganya agar mendapatkan akses terhadap pekerjaan dan pendapatan yang layak di negara sendiri.
“Sehingga keputusan bermigrasi nantinya lebih disandarkan pada pilihan sadar calon buruh migran,” jelasnya.
Keempat, Irham meminta pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Pekerja Rumah Tangga. Pasalnya sebagian besar buruh migran Indonesia bekerja di sektor rumah tangga dan Pemerintah Indonesia seolah memiliki posisi tawar yang rendah dalam upaya bilateral and multilateral agreements untuk perlindungam buruh migran, terutama di sektor domestik.
Irham menjelaskan, dengan estimasi 9 juta lebih buruh migran di luar negeri, Indonesia adalah negara pengirim buruh migran terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina.
“Negeri ini sudah memiliki pengalaman dalam tata kelola migrasi buruh migran selama lebih dari 3 dekade,” ungkapnya.
Namun demikian, ia menilai persoalan seolah masih kusut untuk diurai sepenuhnya, yang terjadi di ketiga siklus migrasi. Mulai dari fase pra keberangkatan, bekerja di negara tujuan, hingga kembali ke tanah air dan berkumpul kembali dengan keluarga.
“Undocumented migration hingga trafiking masih mewarnai tantangan pra migrasi, yang kemudian menjadi persoalan turunan di fase berikutnya. Demikian juga tantangan pembiayaan migrasi,” jelasnya.
Ia menilai, lemahnya aspek pengawasan dan pelayanan di negara tempat bekerja juga menjadi tantangan tersendiri. Termasuk akses terhadap layanan jaminan sosial tatkala terjadi risiko kerja.
Selanjutnya, reintegrasi sosial dan ekonomi buruh migran ketika kembali ke tanah air juga menjadi aspek lemah berikutnya.
“Hal ini kemudian sering kali menimbulkan repeated migration atau migrasi berulang, yang kadang kita tidak tahu akan sampai kapan seseorang terus bekerja di luar negeri. Bila ada strategi dan kebijakan yang tepat tentang reintegrasi sosial-ekonomi, meskinya repeated migration bisa dimitigasi oleh pemerintah,” tandasnya.