Praktik Co-Firing Biomassa PLN Dinilai Gagal Jawab Perubahan Iklim
Berita Baru, Jakarta – Praktik co-firing biomassa oleh PLN di 52 PLTU di Indonesia mendapat kritik tajam dari Forest Watch Indonesia (FWI). Menurut FWI, implementasi pencampuran biomassa dan batu bara di lapangan tidak berjalan mulus.
Anggi Putra Prayoga, Manager Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan FWI, menjelaskan dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), PLN berencana memanfaatkan berbagai jenis biomassa seperti sekam padi, kernel sawit, serbuk gergaji, wood pellet, dan serpihan kayu untuk menggantikan batu bara. PLN mengklaim langkah ini sebagai upaya pengurangan emisi dari sektor energi dan partisipasi aktif dalam pasar bebas karbon.
Namun, Anggi menyoroti adanya asimetris informasi dalam implementasi kebijakan ini. “Proyek biomassa sebagai energi terbarukan ibarat jauh panggang dari api, tidak menjawab apapun soal perubahan iklim, pengurangan emisi, dan bauran energi nasional,” katanya dalam rilis pada Senin (29/8/2024).
FWI menemukan bahwa praktik co-firing di beberapa PLTU, seperti PLTU Jeranjang dan PLTU Lontar, tidak sesuai dengan rencana dalam RUPTL. “Hingga Juli 2023 PLN telah mengklaim menerapkan co-firing biomassa di 40 PLTU dan berambisi di 2025 menjadi 52 PLTU. Tapi implementasi co-firing di lapangan, tidak bisa berjalan mulus,” kata Anggi.
Lebih lanjut, Anggi mengungkapkan adanya dugaan kongkalikong antara industri penyuplai biomassa dengan oknum PLN. Truk-truk pengangkut biomassa sengaja disiram air untuk meningkatkan tonase sebelum ditimbang di kawasan PLTU. “Praktik ini tentunya merugikan negara. Diperkirakan nilai tersebut dapat mencapai Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar dalam satu bulan co-firing di satu PLTU,” ujarnya.
Anggi juga menambahkan bahwa rantai pasok biomassa bermasalah, dengan PLN harus berebut sumber daya biomassa yang juga merupakan komoditas ekspor dan bahan bakar bagi usaha menengah kecil mikro (UMKM). “Kernel sawit dan wood pellet merupakan komoditas ekspor penting, sementara sekam padi digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan,” jelasnya.
PLN berambisi meningkatkan capaian bauran energi baru terbarukan hingga 12 persen melalui praktik co-firing, namun FWI menilai target tersebut tidak realistis dan justru merugikan negara. “Praktik co-firing ini sangat tidak realistis diimplementasikan di lapangan dan merugikan negara,” pungkas Anggi.