Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Popuieme Kanan

Populisme Kanan dan Sejarah Bencana Kemelaratan Umat Manusia



Populisme Kanan dan Sejarah Bencana Kemelaratan Umat Manusia

Oleh: Idrus Zaman


Akhir-akhir ini sebagian besar umat manusia hidup dalam tubir kemelaratan biologis, bukan sekedar kemiskinan yang menyebabkan banyak masalah kesehatan. Belum lama berselang, Bill Gates telah membuat ramalan mengerikan tentang kekhawatiran atas merebaknya virus, sebagaimana virus corona yang akhirnya ditemukan di Kota Wuhan, China. Corona virus disease 2019 (COVID-19) terbukti telah membuat panik seluruh penduduk bumi.

Bukan hal yang aneh bila 5 sampai 10 persen populasi di dunia akan musnah, ketika pemerintah terlalu jauh berjarak dan lemah dalam memberi bantuan pada masa-masa krisis seperti ini. Kemunculan populisme kanan dari para pemuka agama dan politisi bahkan menambah tingkat kepanikan umat manusia.

Sejarah Degradasi Populasi Manusia Akibat Epidemi Hitam

Setiap tahun kita selau dibayangi kecemasan oleh suatu ledakan epidemi atau wabah baru seperti SARS pada tahun 2002/2003, flu burung pada tahun 2005, flu babi pada tahun 2009/2010, dan Ebola pada tahun 2014. Sampai hari ini potensi epidemi terus tumbuh dan berpotensi meledak setiap tahunnya. Virus corona atau COVID-19 mungkin akan menjadi epidemi yang paling mengerikan di sepertiga pertama Abad 21.

Virus Corona yang disebut mirip dengan Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS) bukanlah peristiwa tunggal yang mengakibatkan kemelaratan biologis yang mengantarkan populasi manusia mengalami penurunan secara agregat, tetapi virus ini bisa dibilang wabah terburuk sepanjang sejarah. Wabah hitam atau epidemi-epidemi yang lebih dahsyat sebenarnya juga pernah melanda Amerika, Australia, dan Kepulauan Pasifik setelah kedatangan pertama bangsa Eropa.

Pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia Timur atau Asia Tengah, wabah paling terkenal yang dinamai maut hitam meletup dengan cepat dan menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika Utara. Lalu hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun telah mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik.

Hampir seperempat populasi Eurasia mati akibat penyebaran wabah hitam tersebut. Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati disudut-sudut kota. Di Inggris 1 juta orang mati, populasi pun susut dari 3,7 juta jiwa sebelum wabah, menjadi 2,2 juta setelah wabah. Kota Flourensia harus kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya. Masyarakat di abad pertengahan mengatakan Maut Hitam sebagai kekuatan iblis mengerikan yang melampui kendali atau pemahaman manusia.

Padahal wabah hitam tersebut adalah jasad renik bakteri “Yersina Pestis”. Renik bakteri gram-negatif yang dapat tumbuh tanpa oksigen atau dapat disebut sebagai anaerob. Renik bakteri ini menginfeksi manusia dengan indikasi tiga bentuk: pnumonik, septisemik, dan wabah bubonik. Ketiga bentuk infeksi ini yang mengakibatkan degradasi populasi global dalam sejarah manusia yang termasuk wabah justinan.

Pada 1520 wabah juga tiba di Lembah Meksiko. Pada bulan Oktober wabah itu telah memasuki gerbang-gerbang ibu kota Aztec, Tecnochtitlan, sebuah kota metropolitan yang berpenduduk 250.000 jiwa, yang pada akhirnya sepertiga dari angka tersebut musnah akibat wabah hitam.

Meskipun pada awal abad ke-20, lebih banyak kemungkinan manusiamati akibat junk-food sepeti McDonald ketimbang bencana kekeringan, Ebola, atau serangan al-Qaeda, namun epidemi menjadi wabah yang meresahkan dan terus menyebar. Memasuki Abad 20 tepatnya pada januari 1918, bala tentara di parit-parit Prancis utara mulai mati dalam jumlah ribuan akibat wabah hitam sebuah penyakit flu ganas yang dijuluki “Flu Spanyol”. Dalam waktu yang cepat setengah miliar manusia atau setara dengan sepertiga populasi global dibuat ambruk oleh virus itu.

Perdebatan Populisme Kanan dan Kepastian

Masyarakat yang dikenal dengan Kaum Maya di semenanjung Aztec menuduh dan meyakini bahwa tiga dewa jahat yaitu Ekzpect, Uzannkan, dan Sojakaka terbang dari desa ke desa pada malam hari, menulari orang orang dengan penyakit ganas. Masyarakat Aztec menyebutnya sebagai ulah dewa Tezcatlipoca dan Xipetotec, atau mungkin sihir hitam orang-orang kulit putih.

Perdebatan kaum populisme semacam ini nampak juga terjadi di belakangan ini, banyangkan para pemuka agama dan politisi juga turut membuat kepanikan dengan mengangkat bahu dan mengatakan: “Saya tidak takut Corona, hanya takut pada Allah”.

Sekilas, pernyataan tersebut terlihat seperti kebenaran dengan seakan-akan menginterpretasikan keimanan mereka yang tinggi. Namun sebenarnya “sarat akan paham Jabariyyah” dalam kajian aqidah.

Lalu bagaimana dengan keimanan Baginda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan: “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari singa” (HR. Bukhari). Dan sabda beliau seperti ini: “Tak mungkin Allah turunkan wabah kepada orang-orang shalih”. Bagaimana pula dengan seorang sahabat mulia bernama Muadz bin Jabal yang wafat karena wabah penyakit, apakah mungkin termasuk dari bagian orang kafir atau ahli maksiat?

Pandangan atas kalimat-kalimat di atas merupakan otoritas keilmuan yang tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun ilmu Sains. Tentu meningkatnya kematian umat manusia diakibatkan oleh kepanikan-kepanikan yang dianggap benar oleh sebagian kelompok yang dalam hal ini disebut populisme kanan. Nasib buruk atau kebodohan pada tingkat kolektif mengakibatkan bencana kematian masal.

Baiknya dalam situasi seperti ini setiap manusia saling berikhtiar untuk menjaga kesehatan pada dirinya sebagai kepedulian terhadap sesama manusia sebagai bentuk ketakwaan dan menyakini Firman Allah: “Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui”.

COVID-19 dan Upaya Pemerintah

Wabah virus corona memang bukan satu-satunya epidemi yang mengakibatkan kematian masal umat manusia. Beberapa epidemi yang sangat tragis pernah terjadi pada tahun1967 seperti cacar yang menjangkit 15 juta orang dan membunuh 2 juta diantaranya. Tetapi pada tahun 2014 seorang pun tidak terjangkit atau tewas oleh cacar.

Sebuah kampanye vaksinasi cacar begitu sukses, sehingga pada tahun 1979 Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan kemenangan manusai terhadap wabah cacar. Namun tragedi AIDS menjadi fenomena kegagalan medis terbesar dalam beberapa dekade terakhir.

Mungkin peran negara atau pemerintah dalam langkah-langkah penanggulangan melalui kebijakan atau melakukan riset yang melibatkan ilmuwan merupakan langkah yang efisien dalam menghadapi wabah hitam vius corona atau COVID-19 ini.

Dalam situasi krtis akibat wabah COVID-19, negara dapat dikatakan tidak siap menghadapi dampaknya. Kebijakan mengkarantina sebagian kelas sosial tertinggal seperti petani dan masyarakat pinggiran, namun tidak meliburkan buruh dan pekerja-pekerja yang rentan terjangkit oleh virus ini. Bagaimana mungkin sebagain kelas kecil harus terus tinggal di dalam rumah, sedangkan sebagian lainnya masih melakukan interaksi sosial dengan bekerja di pabrik ataupun Kawasan industri. Ketika pemerintah menghimbau agar tetap dirumah, kebijakan yang timpang itu direspon oleh para buruh dengan tetap melakukan kegiatan mereka sebagai pekerja.

Bagaimana bisa para petani tetap tinggal di dalam rumah, ketika lumbung-lumbung pangan pada akhirnya menjadi kosong melompong apalagi lumbung komune. Sedangkan bulog hanya menguasai 7% saja dari stok nasional, lainnya dikuasai pemodal.

Di sisi lain orang-orang kaya mematok harga tinggi secara gila-gilaan terhadap barang apapun yang bisa mereka timbun seperti masker dan hand-sanitezer. Adapun orang-orang miskin mati berbondong-bondong akibat ulah elite dan para penimbun tersebut.

Mungkin hari ini kita terjebak dalam dilemma, antara kehawatiran roda perekonomian yang tidak berputar dengan kecemasan wabah yang mengakibatkan degradasi manusia yang besar.


Populisme Kanan dan Sejarah Bencana Kemelaratan Umat Manusia

Idrus Zaman adalah Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

.

.

.


Referensi:
(1). “Cholera”, World Health Organization, Februari 2014,http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs107/en/index.html.
(2). David van Reybrouck, Congo: The Epic History of a People (New York: HarperCollins,2014).
(3). Edward Anthony Wrigley et at, English Population History From Family Recontution, 1580-1837 (Cambridge University Press,1997), 295-296, 303.
(4). Jeffery K. Taubenberger dan David M. Morens, “1918 influenza : The Mother of All Pandemics”, Emerging infectious Diseases 12:1 (2006).
(5). Robert S. Lopez, The Birth of Europe [tel Aviv: Dvir, 1990), 427.