Politik Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Berita Baru, Yogyakarta – Taman Pembelajar Rawamangun (TPR) kembali menggelar diskusi Kelas Membaca Ki Hajar Dewantara (KHD) pertemuan ke-7 pada Sabtu, 14 Maret di Kedai Candlestick Rawamangun. Kali ini, tema yang diangkat adalah “Politik Pendidikan” yang termuat di dalam kumpulan tulisan KHD Bagian I Pendidikan.
Hadir sebagai pembedah yaitu pegiat Pedagogik Hendro Rahmandhani, Pengajar Sejarah SMA Diponegoro Rawamangun Muhammad Zulkarnain dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah.
Membuka pembicaraan, Zulkarnain mengatakan ada tiga hal yang diajukan KHD dalam membuat arah baru sistem pendidikan nasional.
Pertama, menurutnya, pengajaran berupaya mendorong bangsa Indonesia dapat memiliki banyak pengetahuan/kepandaian umum. Kedua, anggaran pendidikan mesti menjadi prioritas utama suatu Negara. Ketiga, sistem pendidikan mesti menjunjung semangat ketimuran yang berasas pada keluhuran budi, nilai kebatinan/mental kultur, kecerdasan pekerti, dan berasas kekeluargaan.
“Sistem pendidikan yang diarahkan KHD berdasarkan semangat kebudayaan yang cenderung menjauhkan sikap individualisme,” kata Zulkarnain.
Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa ada sifat khusus dari kebudayaan yang harus selalu dilibatkan dan diutamakan dalam hal pendidikan dan pengajaran.
“Sifat khusus yang dimaksud adalah sifat kebangsaan dari kebudayaan itu sendiri. Pendidikan merupakan bagian konstitusional dari kebudayaan dan bukan sebaliknya. Sebab proses pendidikan ialah mentransmisikan nilai-nilai, sedangkan kebudayaan adalah juga nilai-nilai tersebut dan ide vital yang kita hayati sehari-hari,” ujarnya dengan semangat.
Penekanannya pada kebudayaan tidak berarti KHD melupakan pendidikan yang bersifat keahlian. Menurut Hendro, selain ada sekolah tinggi kesusastraan, ada pula sekolah rakyat bagi yang tidak bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi.
“Ada sekolah masyarakat yang lebih ke kejuruan/vokasi. Di masa itu sudah sevisioner itu. Udah keren banget. Sekolah berdasar vokasi bukan barang baru. Faktanya, ada gagasan KHD pada masa itu tahun 1920-an.” ujar Hendro,
Akan tetapi, menurut alumnus UNJ Jurusan Bahasa Arab tersebut, sistem vokasi yang dibangun dan digagas KHD bertujuan untuk membangun perekonomian rakyat kecil.
“Sekarang pemerintah bikin vokasi untuk kepentingan pengusaha. Bukan rakyat. Cita-cita yang bertentangan dengan keinginan KHD,” ucapnya penuh sesal.
Semantara itu, Anggi yang mengaku senang diundang sebagai pembicara kali ini, juga kagum terhadap sosok KHD.
“Integritasnya luar biasa. Dia (KHD) bisa saja menjadi pejabat di Belanda, tapi dia memilih berjuang dan hidup sederhana,” ucapnya.
Dia pun melihat bahwa KHD sosok yang terlupakan.. “Jarang ya yang bicara Ki Hajar sekarang. Itu juga taunya hanya Tut Wuri Handayani saja,” katanya.
Itu disebabkan, kata dia, cita-cita KHD ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, khususnya pemerintah. “Kalah narasi Ki Hajar di negeri ini soal pendidikan kebudayaan. Selain itu, masa KHD menjadi menteri sangat pendek,” ujarnya menambahkan.
Dalam paparannya, Anggi menggarisbawahi ada enam bagian penting dari 39 tulisan KHD bagian I Pendidikan. “KHD sangat visioner bicara pendidikan. Musuhnya sama aja bagaimana membangun pendidikan apakah cuma untuk kerja saja, link and match?,” ucapnya.
Menurut dia, gagasan pendidikan KHD justru berangkat pada pendidikan kolonial yang mengecewakan. Karena pendidikan yang dihasilkan membuat rakyat tercerabut dari kehidupan sosialnya.
“Itu yang relevan sampe sekarang, KHD menganjurkan pendidikan nilai kultural. Itu sangat penting. Saya yakin (Indonesia) akan sangat maju. Apalagi otonomi daerah sekarang,” katanya.
“Meskipun pejabat daerah ketika ditanya soal pendidikan hanya bicara soal BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tapi tidak tahu visi pendidikan daerahnya apa,” tambah Anggi.
Sebagai periset, Anggi kerap menemukan di lapangan program pendidikan pemerintah jauh panggang dari api.
“Saya banyak menemukan SMK Kelautan di Yogyakarta yang lulusannya justru menganggur atau jadi sekuriti. Karena ketika sekolah ternyata yang lebih kental dididik secara militer,” ujarnya.
Sehingga, dia berani menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia tanpa tujuan. “Pragmatik enggak, apalagi filosofis,” ucapnya.
Upaya memperbaiki pendidikan menurut Anggi memang tidak sederhana. Dia mencontohkan Finlandia yang saat ini sebagai negara yang kualitas pendidikannya sangat baik.
“Di sana selain pendidikannya, sistem sosial atau jaminan sosialnya juga diperbaiki. Pendidikan, kesehatan dan transportasi murah,” tuturnya. [*]