Pimpinan Hizbullah Geram, Otoritas Prancis Keras Kepala
Berita Baru, Internasional – Hassan Nasrallah, pimpinan kelompok militan Syiah Hizbullah yang bermarkas di Lebanon, peringatkan Presiden Emmanuel Macron terkait sikapnya yang keras kepala dalam menghadapi konflik tentang karikatur Nabi Muhammad.
“Jangan biarkan ejekan ini, agresi ini berlanjut, dan seluruh dunia akan berdiri bersamamu,” kata Nasrallah pada hari Sabtu (31/10), sambil terus mendesak Prancis untuk bersikap adil.
Seperti dilansir dari Sputnik News, Nasrallah menambahkan bahwa alih-alih memperbaiki masalah, otoritas Prancis justru keras kepala mengenai kebebasan berekspresi yang diusungnya, dan bahwa Prancis harus memperbaikinya.
Meski demikian, pemimpin Hizbullah itu juga mengutuk aksi penikaman mematikan baru-baru ini di kota Nice Prancis, Nasrallah menekankan bahwa “Islam melarang pembunuhan orang tak berdosa”.
“Bahkan jika pelakunya adalah seorang Muslim, tidak ada yang harus meminta pertanggungjawaban Islam atas kejahatan ini”, tambah Nasrallah, memperingatkan Prancis agar tidak melulu mendoktrin kebijakan anti-Muslim.
Pekan lalu, Presiden Emmanuel Macron bersumpah bahwa Prancis akan terus memperjuangkan kebebasan. Hal tersebut disampaikan Macron upacara penghormatan kepada Samel Paty, guru Prancis yang dipenggal oleh seorang muslim setelah dia menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya.
“Otoritas Prancis telah menyeret diri mereka sendiri dan seluruh Prancis – mereka ingin menyeret seluruh Eropa – ke dalam pertempuran dengan Islam dan Muslim untuk alasan yang lemah dan terkadang tidak diketahui”, kata Nasrallah menegaskan.
Pernyataan tersebut menyusul pernyataan pejabat kehakiman Tunisia, Mohsen Dali, pada Jumat (30/10) bahwa Brahim al-Aouissaoui, tersangka Tunisia dalam serangan mematikan Nice, ditangkap karena kekerasan pada tahun 2016.
Dalam pernyataan lain pada hari Jumat, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, mengatakan bahwa dia tidak mengecualikan lebih banyak serangan teroris di wilayah Prancis karena negara itu terlibat dalam “perang melawan ideologi Islam”.
Pada hari Kamis (29/10), Presiden Emmanuel Macron, mengatakan kepada wartawan bahwa Prancis “berada di bawah serangan teroris lagi” setelah penusukan fatal di Nice, dan bahwa negara itu tidak akan menyerah dalam mempertahankan nilai-nilai yang dijunjungnya karena “serangan teroris Islam”. Presiden juga berjanji akan mengerahkan 7.000 tentara untuk melindungi situs-situs utama di seluruh negeri karena peringatan keamanan nasional Prancis telah berada di situasi yang darurat.
Dalam upacara penghormatan kepada Paty, Macron berjanji bahwa Prancis akan terus berjuang demi kebebasan.
“Kami akan lanjutkan, Profesor. Kami akan mempertahankan kebebasan yang Anda ajarkan dengan baik dan kami akan menjadi sekuler, kami tidak akan melepaskan karikatur, ilustrasi, bahkan jika orang lain mundur”, kata presiden dalam pidatonya di luar Universitas Sorbonne di Paris. Kamis lalu.
Menurut Macron, guru itu adalah korban dari “persekongkolan fatal, [sebuah] penggabungan” dari “kebencian terhadap yang lain”.