Pidato Hari Tani, Sekjend KPA Ajak Refleksikan Perjuangan Kaum Tani dan Rakyat Tak Bertanah
Berita Baru, Jakarta – Dewi Kartika, Sekjend Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), sampaikan pidatonya pada peringatan Hari Tani Nasional ke 60 tahun pada 20 September 2020. Dalam pidatonya, Dewi Kartika sebut tak ada penghormatan negara terhadap harinya kaum tani sebab berbagai konflik agraria dan perampasan tanah masih berkelindan di seluruh negeri.
“Kepada seluruh komponen gerakan reforma agraria, mari kita refleksikan perjuangan kaum tani dan rakyat tak bertanah selama 60 tahun. Hari ini kita diingatkan kembali bahwa UUPA tidak dijalankan dengan setia bahkan diselewengkan oleh kekuasaan,” kata Kartika.
Menurut Dewi Kartika, terbengkalainya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebabkan berbagai ketimpangan sosial dan kemiskinan secara struktural. Kapitalisme agraria, yang disetir oleh modal dan didorong penuh oleh negara telah merambah ke berbagai sendi dan ke pelosok-pelosok kampung.
Monopoli tanah atau penguasaan tanah oleh segelintir kelompok konglomerat, badan usaha swasta dan negara di atas kampung dan tanah garapan rakyat telah menjadi penyebab berbagai konflik agrarian di seluruh negeri.
Dalam satu dekade terakhir, catat Kartika, sebanyak 3447 konflik agraria telah terjadi di seluruh penjuru negeri dengan 1,5 juta warga telah terdampak. Konflik-konflik tersebut ada di semua sektor pembangunan berbasis agraria seperti, perkebunan, perhutanan, industri pertanian pangan, pertambangan, properti dan pesisir lautan.
“Di masa pandemi saja dan penerapan psbb, letusan konflik agraria dan kekerasan terhadap rakyat tetap terjadi..Perusahaan bersama pasukan keamanan negara tetap bekerja merampas, mengintimidasi, menangkapi rakyat yang memperjuangkan tanah airnya.”
Berbagai konflik yang terjadi jelas menunjukkan terjadinya praktik perampasan tanah rakyat yang disetir oleh pemodal dan dijalankan atas nama hukum serta didorong penuh oleh negara dan komponen keamanannya.
Perampasan tanah rakyat menurut Kartika juga menjadi sebab hilangnya kedaulatan petani dan komunitas masyarakat adat yang menjadi pintu terjadinya krisis pangan dan gizi buruk rakyat. Namun demikian, negara selalu menjawab persoalan tersebut dengan membuka seluas-luasnya importasi pangan dan liberalisasi pertanian.