Petani Tanjung Sakti Cari Keadilan Hingga ke Mahkamah Agung
Berita Baru, Jakarta – Tiga petani dari Tanjung Sakti, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, merasa diperlakukan tidak adil setelah dijatuhi vonis membayar Rp3 miliar oleh Pengadilan Tinggi Bengkulu dalam kasus sengketa lahan dengan PT DDP. Mereka memutuskan untuk mencari keadilan hingga ke Mahkamah Agung (MA).
“Masih adakah keadilan di negeri ini? Karena kedua putusan pengadilan ini mencerminkan bahwa keadilan itu jauh bagi kami rakyat kecil. Hukum di Indonesia ini benar-benar tumpul ke atas dan tajam ke bawah, itu yang saat ini kami rasakan,” ungkap Harapandi, salah satu dari tiga petani yang digugat PT DDP, pada Senin (27/5/2024) dikutip dari siaran resmi mereka.. Dua petani lainnya yang turut menggugat adalah Rasuli dan Ibnu Amin.
Pada 5 Maret 2024, PN Mukomuko mengeluarkan putusan Nomor: 6/PDT.G/2023/PN MKM yang menyatakan Harapandi, Rasuli, dan Ibnu Amin melakukan perbuatan melawan hukum. Kanopi Hijau Indonesia, organisasi yang mendampingi para petani, menilai putusan ini sangat merugikan petani dan terkesan menguntungkan perusahaan.
“Seharusnya hakim pada Pengadilan Negeri Mukomuko menolak gugatan dari PT DDP. Atas kekecewaan ini, petani akhirnya menyatakan Banding,” ujar Ali Akbar, Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia.
Namun, di tingkat banding, pada 14 Mei 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu dalam putusan Nomor Perkara: 8/PDT/2024/PT BGL menguatkan putusan PN Mukomuko dan menghukum petani untuk membayar ganti rugi sebesar Rp3 miliar kepada PT DDP. Ali Akbar menilai, putusan tersebut tidak sepatutnya dijatuhkan karena PT DPP tidak memiliki dasar yang cukup untuk dinyatakan memiliki kerugian.
Merasa tidak mendapatkan keadilan, Harapandi, Rasuli, dan Ibnu Amin kemudian mengajukan permohonan Kasasi ke MA melalui PN Mukomuko pada Senin, 27 Mei 2024. “Hari ini kami kembali datang ke PN Mukomuko untuk menyatakan kasasi sebagai bentuk kekecewaan yang telah berkali-kali kami rasakan atas putusan hakim Pengadilan Negeri Mukomuko dan Pengadilan Tinggi Bengkulu,” kata Harapandi.
Menurut Ali, konflik ini terjadi karena kurangnya perhatian dari Pemerintah Kabupaten Mukomuko dan Provinsi Bengkulu dalam menyelesaikan sengketa antara petani dan PT DDP. Sengketa ini telah berlangsung sekitar tiga tahun, bermula ketika para petani mempertanyakan status lahan yang tidak terurus dan dikelola mereka. Meskipun PT DDP mengklaim lahan tersebut milik mereka, mereka tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan yang sah.
Akibatnya, sering terjadi perdebatan dan bahkan bentrok antara karyawan perusahaan dan petani. PT DPP kemudian menggugat tiga petani dengan tuduhan perbuatan melawan hukum, yang berujung pada putusan yang merugikan petani.