Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Panggung Rakyat di Posko Perjuangan Petani, Dusun Sunggumanai, Desa Pa’bentengang, Gowa (Foto: LBH Makassar)
Panggung Rakyat di Posko Perjuangan Petani, Dusun Sunggumanai, Desa Pa’bentengang, Gowa (Foto: LBH Makassar)

Petani Takalar dan Gowa Tuntut Keadilan dalam Panggung Rakyat



Berita Baru, Jakarta – Ratusan petani dari Takalar dan Gowa, bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT), mengadakan Panggung Rakyat di Posko Perjuangan Petani, Dusun Sunggumanai, Desa Pa’bentengang, Gowa. Acara ini bertujuan memperkuat solidaritas dan gerakan petani. Meskipun telah 79 tahun merdeka, para petani masih merasa tidak aman karena tanah mereka bisa tiba-tiba diambil oleh pemerintah dengan alasan kurangnya bukti kepemilikan.

Panggung rakyat dimulai dengan kesaksian dari petani yang menghadapi ancaman perampasan tanah oleh Pemerintah Kabupaten Gowa untuk perluasan Bumi Perkemahan Caddika. Selanjutnya, perwakilan dari tujuh desa di Polongbangkeng Takalar mengungkapkan kasus perampasan tanah mereka untuk perkebunan di Pabrik Gula Takalar.

“Nakke mi inne korban rinne ri Gowa, ero nialle buttaku, eroni gusur, mingka kukana, langkahi dulu mayatku (Saya ini korban di Gowa, mau diambil tanahku, mau digusur, tapi saya bilang langkahi dulu mayat saya),” ungkap Mama Ati, seorang pemilik lahan seperti dikutip dari rilis LBH Makassar, Senin (19/8/2024).

Salasari Dg Ati adalah salah satu dari sembilan keluarga petani yang memiliki lahan di Dusun Sunggumanai, Desa Pa’bentengang, Bajeng, Gowa. Mereka telah menguasai lahan tersebut secara turun-temurun sejak 1930-an, jauh sebelum Indonesia merdeka. Panggung Ekspresi juga menampilkan kesaksian dari petani di Polongbangkeng Takalar yang tanahnya dirampas oleh PTPN-Pabrik Gula Takalar.

Idris Dg Nyaling, seorang petani dari Ko’mara, menegaskan, “Insya Allah besok tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79, tapi kita sebagai petani sampai sekarang belum merasakan kemerdekaan. Kita masih terjajah, bukan oleh Belanda atau Jepang, tapi oleh bangsa kita sendiri. Petani adalah penyangga negara, tetapi kenapa tidak diperhatikan? Tanah kita malah dirampas.”

Setelah semua kesaksian disampaikan, acara dilanjutkan dengan tanggapan dari berbagai perspektif. Taufik Kasaming dari Perserikatan Petani Sulawesi Selatan menyatakan pentingnya solidaritas antar petani untuk memperluas dukungan dan memperkuat gerakan tani. “Hanya melalui solidaritas dan penguatan gerakan tani, petani dapat berdaulat atas tanahnya,” kata Kasaming.

Menurut Melisa Ervina Anwar, Koordinator Bidang Hak Ekosob YLBHI-LBH Makassar, petani di Takalar dan Gowa memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya. “Para petani memiliki hak atas tanah yang dilindungi oleh Konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia. Negara harus hadir untuk melindungi hak warganya, termasuk dalam hal ini, aparat penegak hukum harus menjaga netralitas dan tidak melakukan tindakan represif,” ungkap Melisa.

Acara Panggung Rakyat juga diisi dengan Panggung Bebas Ekspresi dan kegiatan kesenian. Petani menampilkan gendang dan sinrili, kesenian tradisional Takalar, serta puisi dan teater oleh Forum Diskusi Mahasiswa Topoyo (FDMT). Teater bertema “Tanda Tanya Untuk Rakyat” menyoroti berbagai masalah seperti perampasan tanah dan korupsi. Kegiatan ditutup dengan Pernyataan Sikap dari Petani Pa’bentengang Gowa dan Polongbangkeng Takalar sebagai refleksi kemerdekaan, menegaskan hak berdaulat atas tanah mereka.