Petani Muda di Rwanda Raih Keuntungan Besar dari Budidaya Jamur dengan Teknologi Juncao Asal China
Berita Baru, China – Cuaca di Rwanda pada awal Agustus terasa hangat dan kering, dan para petani muda di Provinsi Selatan merayakan panen yang melimpah. Tangan mereka tidak menggenggam jagung atau padi, tetapi jamur, yang dibudidayakan dengan bantuan teknologi yang ditransfer dari sebuah negara yang lokasinya sangat jauh ke “negeri seribu bukit” di Afrika tersebut.
Turut hadir dalam perayaan itu adalah Profesor Lin Zhanxi. Sejak 1980-an, ilmuwan berusia 80-an tahun tersebut telah memimpin tim penelitian terkait teknologi Juncao di Provinsi Fujian, China tenggara. Teknologi rumput hibrida ini memungkinkan jamur tumbuh di atas substrat berbasis rumput alih-alih pohon yang telah ditebang, sebuah solusi bagi ancaman industri jamur terhadap hutan.
Dilansir dari laman Xinhua News pada Rabu (28/8/2024), nama tanaman itu berarti “jamur” dan “rumput” dalam bahasa Mandarin. Keserbagunaannya merupakan fitur utama, yang memungkinkannya ditanami jamur yang dapat dikonsumsi, menyediakan pakan ternak, dan membantu memerangi desertifikasi. Berkat promosi yang aktif dan visioner oleh Presiden China Xi Jinping, Juncao berkembang pesat di dalam dan luar China, meningkatkan taraf hidup, dan mendorong pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang di seluruh Asia-Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.
Jalan Keluar dari Kemiskinan
Sebelum dikenal sebagai “bapak Juncao”, Lin dibesarkan di daerah pedesaan yang miskin di pegunungan di Fujian. Pengalaman pribadinya terkait kemiskinan sangat menentukan komitmennya terhadap teknologi Juncao.
Setelah puluhan tahun bekerja, Lin dan timnya berhasil dalam menyeleksi dan membudidayakan jenis tanaman herba dengan hasil panen yang tinggi dan tahan terhadap kekeringan dan salinitas yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu untuk ditanami jamur yang dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan sebagai obat-obatan.
Pada acara Konferensi Tinjauan Bantuan untuk Perdagangan Global (Aid-for-Trade Global Review Conference) kesembilan yang diselenggarakan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa pada Juni, Lin merefleksikan bagaimana teknologi Juncao mengawali perjalanan globalnya. Pada 1992, Lin mempresentasikan Juncao untuk pertama kalinya kepada khalayak luas di sebuah pameran penemuan internasional, yang juga diadakan di Jenewa. Di Swiss, Lin menerima banyak panggilan untuk mempelajari lebih lanjut soal teknologi tersebut.
Lin mengenang bagaimana Xi dengan penuh semangat mendukung penggunaan sarana ilmiah dan teknologi untuk memerangi kemiskinan.
Pada 1997, Xi, yang saat itu menjabat sebagai wakil sekretaris Komite Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) Provinsi Fujian, mencantumkan teknologi Juncao sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan di provinsi itu bersama Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia di China barat laut. Setelah menerima penugasan tersebut, Lin segera mengajak timnya, serta membawa benih rumput dan jamur, ke Xihaigu, daerah yang dilanda kemiskinan di Ningxia.
Saat ini, teknologi Juncao digunakan di 31 provinsi di seluruh China dan berkontribusi signifikan dalam mengentaskan kemiskinan dan merevitalisasi area-area pedesaan.
Dengan dukungan Xi, sebuah proyek percontohan untuk memperkenalkan teknologi Juncao di Papua Nugini diluncurkan pada tahun 2000, menjadikan proyek itu sebagai salah satu penerapan teknologi Juncao pertama di luar negeri.
Didorong oleh dedikasi dan semangat kepeloporan mereka, Lin dan peneliti China lainnya sejak saat itu memperkenalkan teknologi tersebut ke 106 negara dan kawasan di seluruh dunia.
Berbekal misi untuk mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia, para ilmuwan China telah menerapkan teknologi Juncao pada beberapa lingkungan yang menantang. Di Dataran Tinggi Timur di Papua Nugini, mereka menyaksikan suku-suku yang masih mempraktikkan metode pertanian tebang dan bakar. Di Rwanda, keluarga yang tidak memiliki akses ke hewan ternak atau traktor bekerja di ladang berlumpur dengan hanya menggunakan cangkul. Di Republik Afrika Tengah, mereka mengamati dampak buruk kelaparan pascakonflik.
Selama tahun-tahun tersebut, Lin menghadapi perampokan dengan todongan senjata, malaria, penyakit ketinggian (altitude sickness), dan tinggal di pos-pos terdepan di daerah terpencil tanpa listrik atau air dalam periode yang lama. Menyaksikan kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang semakin menguatkan komitmen Lin terkait Juncao.
“Kami pergi ke lokasi-lokasi paling miskin dengan niat yang tulus untuk membantu masyarakat,” ujar Lin.
Tanaman Kemakmuran
Agnes Ayinkamiye merupakan koordinator pertama proyek Juncao di Rwanda. “Salah satu hal yang membuat saya sangat senang adalah bagaimana kami membantu orang lain. Proyek ini diterima dengan baik, dan kami melatih banyak orang, khususnya koperasi perempuan dan kelompok pemuda,” katanya. “Saya sangat menikmati pekerjaan saya dan gembira bisa bekerja sama dengan para ahli.”
“Orang-orang dapat memperoleh penghasilan melalui teknologi Juncao, dan teknologi ini menjadi cukup populer,” tambah Ayinkamiye. Lin menyebutkan bahwa sekitar 4.000 rumah tangga di Rwanda telah memperoleh manfaat dari teknologi ini, dengan beberapa di antaranya mengalami peningkatan pendapatan sebanyak dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat selama beberapa tahun.
“Teknologi Juncao terjangkau … Teknologi ini diterapkan sedemikian rupa sehingga membuatnya terjangkau bagi masyarakat di tingkat yang sangat lokal, yang saya yakini merupakan manfaat utamanya,” ujar Earle Courtenay Rattray, chef de cabinet Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Seruwaia Kabukabu, seorang wirausahawan di Desa Serea, Provinsi Naitasiri, Fiji, merupakan salah satu perempuan yang dilatih di pusat demonstrasi Juncao di Nadi, kota terbesar ketiga di Fiji. “Setelah pelatihan, kami semua menerima beberapa kantong substrat jamur secara gratis dari pusat itu. Di bawah bimbingan para ahli teknis, kami mulai memanen dan menjual jamur dalam waktu 7-10 hari, menghasilkan uang untuk keluarga kami,” ujar Kabukabu.
Pendapatan dari proyek Juncao memungkinkannya untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya dengan membeli peralatan esensial, membangun sebuah toilet dan kamar mandi beton, dan bahkan berkontribusi bagi proyek air bersih di komunitasnya. “Fiji menghadapi banyak masalah mulai dari isolasi geografis, kerentanan terhadap bencana alam akibat perubahan iklim yang menghambat pertanian, serta pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan,” sebut Kabukabu.
Selama satu dekade terakhir, lebih dari 2.400 orang di Fiji telah menerima pelatihan tentang teknologi Juncao, dengan area budi daya Juncao di Fiji melampaui 2.000 hektare. “Mudah dipelajari dan efektif diterapkan,” tutur Lin, seraya menekankan bahwa teknologi Juncao harus menurunkan ambang batas penerapan teknisnya di luar negeri “sehingga petani yang paling miskin sekalipun dapat terlibat.” Hingga saat ini, hampir 350 lokakarya internasional telah melatih lebih dari 14.000 orang dalam teknologi Juncao, dengan makalah pengantar kini tersedia dalam 18 bahasa untuk penggunaan global.
Eksperimen yang Tidak Pernah Berakhir
Selain membudidayakan jamur, teknologi Juncao terus berinovasi, memperluas produksinya hingga mencakup pakan dan pupuk.Sejak menggunakan Juncao sebagai pakan ternak, Tahiya Massawe, seorang petani di Bumbwi Sudi, Tanzania, mengamati adanya peningkatan kepadatan dan nutrisi susu serta peningkatan produksi susu. “Juncao juga menghemat uang saya,” ungkapnya kepada Xinhua, “karena anggaran yang sebelumnya saya keluarkan untuk pakan lain kini dapat dihemat dengan menggunakan rumput ini.”
Para petani memperbanyak Juncao dan menggunakannya di lahan pertanian mereka. Banyak testimoni menunjukkan bahwa para petani telah menerima teknologi ini hanya karena pakannya kaya, ujar Makame Kitwana, direktur Perencanaan, Kebijakan, dan Penelitian di Kementerian Pertanian Tanzania. “Dalam sejumlah hal, secara ilmiah, telah (terbukti) bahwa kandungan protein serta kandungan karbonnya tinggi, membuat ternak lebih puas saat mengonsumsi rumput Juncao dibandingkan dengan rumput lainnya,” sebutnya.
Juncao juga dapat membantu pengelolaan ekologis. Erosi tanah telah menjadi masalah serius di negara-negara seperti Rwanda. Para pejabat Rwanda dahulu khawatir bahwa jika masalah tanah tidak dapat diatasi, Rwanda tidak akan memiliki lahan untuk ditanami. Lin selalu mengingat kekhawatiran mereka.
Dia masih ingat data eksperimental di Rwanda dalam kunjungannya lebih dari satu dekade lalu. Pada suatu hari, curah hujan selama dua setengah jam mencapai 51,4 milimeter. Semua hujan ditangkap oleh rumput raksasa (Juncao), dan itu sangat efektif dalam konservasi air dan retensi tanah.
Pada Februari di Fiji, Lin juga berupaya menerapkan teknologi Juncao untuk pengelolaan tanah salin, yang bertujuan untuk mencari solusi tambahan guna memerangi perubahan iklim bagi negara-negara berkembang, termasuk negara-negara Kepulauan Pasifik. “Hasil eksperimentalnya sangat menjanjikan,” papar Lin. “Juncao adalah rumput kebahagiaan, hadiah dari China untuk semua.”