Persada UB: RKUHP Memiliki Kekurangan Fundamental dan Kontraproduktif
Berita Baru, Jakarta – Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya mengatakan bahwa proses pembaruan KUHP memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Sebab itulah, pihaknya mendukung dan mengapresiasi perubahan positif dalam RKUHP yang berhasil dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR.
“Namun demikian, RKUHP masih memiliki beberapa kekurangan yang bersifat fundamental dan justru kontraproduktif dengan tujuan awal pembentukannya, yakni semangat untuk melakukan dekolonialisasi, harmonisasi, humanisasi, dan demokratisasi hukum pidana,” kata Direktur Persada UB, Fachrizal Afandi, dalam siaran persnya, Senin (31/5).
Menurutnya, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi harus menjadi patokan dasar dalam pembaruan KUHP. Rancangan KUHP tidak boleh bertentangan dengan semangat konstitusi, terkhusus pada aturan-aturan pidana yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi negara Republik Indonesia.
“Pembentuk undang-undang, dalam pembaruan KUHP, harus memperhatikan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 serta menetapkan kebijakan pembatasan hak asasi manusia dengan yang terjustifikasi berdasarkan standar-standar hak asasi manusia,” tutur Fachrizal.
Asas legalitas, menurut Afrizal juga merupakan asas pertama dan utama dalam hukum pidana yang bertujuan agar memastikan tidak ada peluang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Negara, sehingga pengaturan yang tidak jelas sebaiknya dikaji ulang.
“Secara khusus, perlu untuk memastikan ‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ tidak bertentangan dengan asas legalitas, konsep hak asasi manusia, baik yang telah tertuang dalam Konstitusi maupun Putusan MK, dan berpotensi melanggar (diskriminatif) terhadap keberadaan masyarakat adat,” terangnya.
Afrizal juga menuturkan, masalah RKUHP bukan hanya terdapat dalam Buku II. Buku I RKUHP pun menyisakan persoalan yang besar, kompleks dan inkonsisten dengan tujuan pemidanaan dalam RKUHP itu sendiri.
Penyusunan norma pemidanaan, lanjutnya, ditemukan masih belum sistematis sehingga diperlukan penyusunan kembali dengan melihat pada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penyusun RKUHP sendiri.
“Perlu dipikirkan kembali, penormaan asas terkait dalam pasal-pasal yang mengatur pedoman pemidanaan, apakah sebaiknya ditempatkan di dalam Buku I RKUHP atau karena sifatnya yang sangat teknis, sehingga lebih baik diatur secara khusus diluar RKUHP,” terangnya.
Afrizal menyebut, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam RKUHP memang penting, tetapi hal penting lain yang juga perlu diperhatikan adalah metode penegakan hukumnya yang sesuai dengan bentuk atau karakteristik korporasi agar metode penjatuhan pidana menjadi sesuatu yang efektif.
Menurut dia diluar persoalan menjatuhkan pidana bagi korporasi, alternatif penghukuman lain juga perlu dipikirkan karena tujuan menjatuhkan pidana pada korporasi bukan semata-mata menghukum korporasi, namun lebih jauh dari itu bertujuan mengubah budaya atau kultur korporasi dari budaya kriminal menjadi budaya patuh hukum.
“Sementara itu, besaran pidana denda yang tepat untuk korporasi juga perlu disesuaikan. Sebagai contoh, apabila mengacu pada pidana denda Kategori IV dalam RKUHP, pidana denda tersebut dianggap terlalu kecil bagi korporasi dengan skala usaha yang besar,” ungkap Afrizal.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa peniadaan pembedaan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) dalam RKUHP memiliki konsekuensi pula bagi pemidanaan korporasi. Korporasi menjadi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika dilakukan dengan kealpaan dan akan muncul kesulitan pembuktian untuk membuktikan kesalahan korporasi.
Sistem pemidanaan korporasi dalam RKUHP, tuturnya, juga berpotensi menambah kompleksitas dan kerumitan tersendiri karena ada begitu banyak undang-undang diluar RKUHP yang juga mengatur mengenai sistem pemidanaan korporasi secara berbeda dengan apa yang diatur dalam RKUHP.
“Dengan demikian, harmonisasi berbagai aturan ini termasuk hukum acara pidananya dinilai sangat penting dan harus lebih memadai guna menjamin kepastian hukum,” jelas Afrizal.
Persada juga mendapati pengaturan proteksi bagi warga masih lebih rendah dibandingkan dengan kriminalisasi yang dirumuskan dalam RKUHP. Beberapa ketentuan RKUHP justru mengancam demokrasi, khususnya kebebasan sipil.
“Oleh karena itu, harus dilakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan tafsir berlebih dan menghapus ketentuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia,” katanya.
Menurut Afrizal, pengaturan RKUHP yang dirumuskan oleh Negara harus mampu menyeimbangkan kepentingan pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang komprehensif dengan kepentingan perlindungan hak asasi manusia, dengan tidak berorientasi pada penghukuman sebagai satu-satunya jalan keluar dari problem kriminalitas di Indonesia.
Dia menegaskan, pemerintah dan DPR harus memastikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKUHP diakomodasi sebagai pertimbangan yang serius agar RKUHP memperoleh legitimasinya dengan baik.
“Kewajiban pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya dimaknai menjadi dua hal, yakni hak untuk didengar (right to be heard) dan hak untuk dipertimbangkan (right to be considered),” terangnya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, pemerintah dan DPR juga harus mengantisipasi berbagai perubahan dan penyesuaian terkait substansi RKUHP yang berhasil disusun hingga saat ini untuk menyempurnakan pembaruan hukum pidana Indonesia.
“Maka, pedoman kodifikasi harus disusun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, utamanya untuk menjaga nilai keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya hukuman. RKUHP harus dirujuk sebagai pedoman utama dalam pembentukan ketentuan pidana agar perkembangan dan pertumbuhan aturan-aturan pidana terjaga dalam kerangka kodifikasi yang ajeg,” terangnya.
Menurut dia pembaruan di RKUHP harus diselaraskan dengan perubahan pada sisi hukum acara pidana. Sudah terlalu banyak inisiatif baik dalam undang-undang yang tidak bisa berjalan karena perumusan hukum acara pidana yang tidak sempurna.
“Pemerintah perlu memikirkan secara utuh hal-hal tersebut hingga level yang paling teknis sekalipun agar pembaruan yang diharapkan bisa berjalan dengan baik,” tukas Afrizal.
Diakhir pernyataannya, Direktur Persada UB itu mengungkap bahwa sikap tersebut dibuat bersama oleh empat perguruan tinggi yang tergabung sebagai Penyelenggara Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021.
“Diantaranya, Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan dan Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera,” tukasnya.
Atas dasar itulah, empat perguruan tinggi tersebut, bersama-sama merekomendasikan 6 langkah yang harus dikakukan Pemerintah Indonesia dalam melakukan perbaikan RKUHP yang telah berhasil dirumuskan bersama DPR.
Pertama: Pemerintah harus memahami dan mengimplementasikan politik hukum penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang telah tercantum dalam konstitusi maupun putusan yang telah dibangun oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua: Hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak perlu dipertentangkan oleh Negara, namun justru harus diintegrasikan ke dalam tata hukum yang baru.
Ketiga: Dalam pembaruan KUHP, pembentuk RKUHP tidak bisa menggunakan pendekatan dari aspek legal formal saja, tapi juga harus menggunakan pendekatan filsafat, sosial, ekonomi/bisnis, kriminologi, viktimologi, psikologi/psikiatrik, kesehatan masyarakat, pemasyarakatan dan sebagainya.
Keempat: Karena RKUHP akan berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia, maka sudah semestinya pembahasan RKUHP bersifat inklusif dan melibatkan kalangan yang lebih luas, khususnya kelompok masyarakat yang rentan dan paling terdampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut.
Kelima: Kajian dan evaluasi terhadap penormaan asas pidana, pedoman pemidanaan dan alternatif pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk memperkuat konsep keadilan restoratif dan pemasyarakatan adalah hal yang mutlak dan penting untuk dilakukan.
Keenam: Mempersiapkan hal-hal teknis maupun peraturan pelaksana RKUHP, termasuk melakukan Revisi terhadap Undang-undang No.12 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan mempertimbangkan ulang hal-hal yang tidak logis untuk dijalankan agar rekodifikasi yang telah dilakukan tidak sia-sia.