Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Perppu Cipta Kerja: Wajah Otoritarianisme Pemerintahan Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ibu Negara, Iriana Joko Widodo naik becak saat kampanye di Makassar (Foto: Istimewa)

Perppu Cipta Kerja: Wajah Otoritarianisme Pemerintahan Jokowi



Berita Baru, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada Jumat (30/12).

Perppu ini menggantikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Perppu Cipta Kerja itu lantas menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, salah satu alasannya karena MK memerintahkan pembentuk UU untuk merevisi UU Ciptaker, bukan menerbitkan perppu.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi Republik Indonesia.

“Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” kata ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur dalam siaran persnya, Jumat (30/12).

Bagi Isnur keputusan tersebut merupakan gejala yang menunjukkan wajah otoritarianisme pemerintahan Jokowi, karena diterbit pihak tanpa melibatkan DPR dan partisipasi masyarakat Indonesia.

“Penerbitan Perppu ini juga semakin melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain,” jelasnya.

Sentara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mengecam keras lahirnya Perppu Cipta Kerja. Bagi KontraS Perppu Ciptaker merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah.

KontraS menilai Perppu itu bertentangan dengan negara hukum karena membatalkan putusan MK. Selain itu juga menunjukkan pemerintah tidak menyetujui perintah MK agar membuat suatu regulasi sesuai dengan prinsip meaningful participation.

KontraS juga menilai bahwa alasan kegentingan diterbitkannya Perppu Ciptaker itu tidak berdasar. Ancaman global dan stagflasi hanya sebatas akal-akalan semata demi memuluskan agenda pemerintahan, utamanya dalam pembangunan dan investasi.

“Langkah penerbitan Perppu ini juga kembali menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi kian ambruk ditandai dengan sentralisasi kekuasaan Presiden. Hal ini sekaligus menandai Indonesia kian dekat pada negara otoritarian sebagaimana yang terjadi pada orde baru,” tegas KontraS.

Senada, pengamat politik Rocky Gerung menilai alasan pemerintah menekan Perppu Cipta Kerja saat ini justru memaksakan kegentingan agar korporasi bisa secara bebas mengambil aset di Indonesia.

Bagi Rocky, Perppu merupakan hal yang harus dihindari dalam sistem demokrasi lantaran keduanya saling bertentangan. Perppu hanya akan terbit dalam situasi yang betul-betul gawat darurat dengan kegentingan yang memaksa.

“Kalau sekarang apa kegentingannya dengan mengajukan Perppu. Jadi yang disebut kegentingan yang memaksa justru memaksakan kegentingan supaya korporasi, konglomerat tidak ada problem lagi untuk meneruskan ambisi mengeruk Indonesia,” kata Rocky dalam siaran Youtube, dikutip Senin (2/1).

Lebih lanjut, Rocky menyebut penerbitan Perppu ini merupakan tamparan keras bagi kaum buruh. Pasalnya, mereka selama ini telah sabar dengan penyesuaian UU Cipta Kerja yang inkonstitusional.

Namun, lanjutnya, Presiden Jokowi tak memiliki kesabaran untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dan enggan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya telah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional.

“Sekarang presiden enggak mau untuk mengikuti ke fatwa yang juga ada masalah dari Mahkamah Konstitusi. Dia enggak mau nunggu satu tahun untuk memperbaiki, dia mau langsung saja mengaktifkan undang-undang yang inkonstitusional itu,” ujarnya.

“Jadi mengaktifkan undang-undang yang inkonstitusional melalui Perppu itu artinya memperdalam inkonstitusionalitasnya,” sambung Rocky.