Peringati Hari Anti Tambang 2023, JATAM: Pertahankan Ruang Hidup, Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif!
Berita Baru, Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang (HATAM) 2023, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mengajak warga di seluruh kepulauan Indonesia untuk terus melawan dan menandingi kolonialisme industri ekstraktif.
Selain itu JATAM juga mengajak segenap masyarakat Indonesia untuk menuntut pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menghentikan segala tipu-tipu narasi transisi energi untuk memuluskan ekstraksi tambang dan penghancuran ruang hidup warga.
JATAM melihat, hingga kini ekstraktivisme masih menjadi warna dominan, bahkan makin menguat, tercermin dari lahirnya berbagai regulasi yang memperkuat kendali oligarki atas Negara. Oligarki bisnis dan politik dalam episode mutakhirnya saat ini telah mampu menguasai struktur negara.
“Operasi kejahatan tersebut juga ditopang oleh pengerahan aparat keamanan negara untuk menciptakan kekerasan terbuka yang telah berlangsung jauh lebih lama,” kata Kepala Divisi Hukum JATAM Muh. Jamil dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/5).
Menurut Jamil, investasi industri ekstraktif telah menjadi pilihan yang dianggap paling mudah oleh pemerintah, sehingga peraturan yang diterbitkan justru menyasar kepentingan industri ekstraktif. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 142 tentang Kawasan Industri.
“Di mana salah satu pasalnya memungkinkan industri dikecualikan dari izin lingkungan sebagai kewajiban perizinan,” katanya.
Kemudian, PP Nomor 24 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, atau dikenal dengan Online Single Submission (OSS), yang memungkinkan korporasi mendapat perizinan terlebih dahulu, sementara penyelesaian izin lingkungan dapat dilakukan menyusul secara bertahap.
Ditegaskan Jamil, karpet merah investasi ini juga ditandai dengan revisi UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No 3 tahun 2020, serta UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya. Infrastruktur hukum yang bias kepentingan ini kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri, memiskinkan warga dan merusak lingkungan.
“Akibatnya, pembangunan nasional yang lebih identik dengan pertumbuhan ekonomi justru semakin jauh dari pemerataan. Konsep pembangunan seperti ini hanya melahirkan konglomerasi baru yang terisolasi dari sebagian besar masyarakat serta tidak ramah terhadap keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Sejarah Hari Anti Tambang
Tragedi bencana sosial-ekologis semburan Lumpur Panas Lapindo, yang hari ini genap telah berlangsung 17 tahun, menjadi salah satu penanda penting, bahwa model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraktivisme, alih-alih mensejahterakan warga, justru memicu bencana sosial ekologis yang nyaris tak terpulihkan.
Tragedi ini seharusnya menjadi dasar alasan yang kuat bagi pengurus Negara untuk mulai menghentikan ketergantungan pada industri ekstraktif, baik sebagai sumber pemenuhan energi maupun penopang ekonomi.
Semburan Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, menenggelamkan 1.143 hektar lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Bahkan, derita warga korban Lumpur Lapindo masih berlangsung hingga saat ini, dimana sumber-sumber air warga tercemar logam berat dari dan warga yang setiap hari menghirup gas beracun dari Lumpur Panas Lapindo.
Bahkan warga terancam dirampas hak sipil-politiknya akibat rencana penghapusan administrasi empat desa yang terdampak semburan Lumpur Lapindo, yakni Desa Renokenongo, Desa Besuki, Desa Kedung Bendo dan Desa Ketapang.
Tragedi bencana industri tambang ini menjadi tonggak awal penetapan Hari Anti Tambang (HATAM) yang mulai diperingati sejak 29 Mei 2011 lalu. HATAM adalah sebuah peringatan nyata atas daya rusak industri ekstraktif yang tak berhenti menuai bencana sosial-ekologi.
Cengkraman Kolonialisme Tambang
Dalam keterangannya, JATAM menyebut bencana sosial ekologis yang muncul dari industri ekstraktif pertambangan ini, tak hanya terjadi di kasus Lumpur Lapindo, bencana yang serupa juga terjadi dan semakin meluas di berbagai tempat, tidak peduli pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Bahkan penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif ini, dilakukan dengan mendompleng narasi-narasi krisis iklim – krisis yang jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri; membungkus operasi-operasi industri tambang dengan jargon transisi energi, ekonomi rendah karbon, teknologi ramah lingkungan, hingga klaim energi bersih dan berkelanjutan,” ujarnya.
Sebagaimana yang terjadi dalam industri geothermal alias pertambangan panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih dan berkelanjutan. Teror atas hidup warga sehari-hari terus berlangsung, dimulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.
“Situasi ini tengah dialami oleh lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia. Seluruh berantai operasi bisnis pembangkitan listrik dengan penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya ini, menuntut kesuka-relaan rakyat untuk dibatalkan kemerdekaannya, dicabut hak-haknya, bahkan meregang nyawa,” ungkap Jamil.
Dalam catatan JATAM, sebagaimana yang terjadi di Sorik Marapi pada 25 Januari 2021 lalu, dimana lima warga, dua diantaranya anak-anak, meregang nyawa akibat keracunan gas H2S dari operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power.
Namun begitu, upaya perlawanan warga tambang panas bumi ini juga semakin menguat di berbagai wilayah. Di Wae Sano dan Poco Leok, Flores, hingga kini PLTP gagal beroperasi karena penolakan dan perlawanan warga. Hal yang sama juga dilakukan warga di Padarincang, Kabupaten Serang, yang sejak 2013 berhasil menghadang operasi PT Sintesa Banten Geothermal yang berencana menambang panas bumi di Gunung Prakasak.
“Upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal. Hal yang serupa juga dilakukan oleh korporasi tambang di industri nikel,” ujarnya.
“Dengan dalih pengembangan ekosistem kendaraan listrik, yang dipromosi habis-habisan oleh pengurus Negara saat ini, industri nikel menghancurkan ruang hidup warga khususnya di kawasan timur Indonesia. Belum lagi ratusan ribu ton batu bara yang terus dikeruk dan dipasok ke smelter-smelter di kawasan industri pengolahan nikel, yang memperparah penghancuran di Kalimantan,” tambah Jamil.
Bahan, ekspansi industri nikel atas nama kendaraan listrik, yang diklaim ramah lingkungan dan rendah karbon ini, di antaranya terjadi di Pulau Obi di Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, yang keduanya terhubung dengan jejak buruk salah satu raksasa korporasi tambang di Indonesia, Harita Group.
Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.
Di Pulau Obi, hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar.
Di sisi lain, perusahaan juga menggunakan siasat licik, dengan menerobos lahan terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan.
Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak. Ironisnya, proses perampasan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.
Sama halnya yang terjadi di wilayah penambangan nikel lainnya milik Harita Group di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang dioperasikan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Sejak beroperasi di pulau Wawonii, PT GKP telah berulang kali menerobos lahan-lahan warga para penolak tambang. Penerobosan lahan itu terjadi sejak 9 Juli 2019, 16 Juli 2019, 22 Agustus 2019, 19 Februari 2023, dan terbaru pada 9 Maret 2023.
Penerobosan yang berakibat pada kerusakan tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, cengkeh, pala, dan kakao, hingga kelapa itu, seringkali dikawal aparat keamanan bersenjata lengkap.
Ironisnya, warga yang menolak melepaskan lahannya, justru dihadapkan dengan tindakan represif aparat keamanan. Hingga saat ini tercatat setidaknya sudah 35 orang warga yang dikriminalisasi oleh PT GKP. Mereka dijerat dengan berbagai pasal, mulai tuduhan pengrusakan, perampasan kemerdekaan, menghalangi operasi tambang, hingga pasal pencemaran nama baik menggunakan UU ITE.
“Operasi PT GKP juga telah mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya, yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan air minum ini, kondisinya berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan. Warga terpaksa mencari sumber air lain yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dengan kualitas yang tidak lebih baik,” tegas Jamil.