Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Stakeholder Engagement Manager Wildlife Works, Hadi Prayitno dalam Konferensi Nasional EFT 3 dengan tajuk “Konsilidasi Masyarakat Sipil untuk Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup dalam Agenda Pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan Pembangunan Rendah Karbon,” pada Senin (14/11). (Foto: Beritabaru.co)
Direktur The Reform Initiatives (TRI), Hadi Prayitno (Foto: Beritabaru.co)

Perdagangan Karbon Bantu Pendanaan Konservasi dan Penjagaan Hutan



Berita Baru, Yogyakarta – Stakeholder Engagement Manager Wildlife Works, Hadi Prayitno menyatakan bahwa perdagangan karbon dapat membantu pendanaan dalam kerja-kerja konservasi dan penjagaan hutan.

Hal tersebut  disampaikan Hadi saat menjadi narasumber dalam Konferensi Nasional EFT III dengan tajuk “Konsilidasi Masyarakat Sipil untuk Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup dalam Agenda Pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan Pembangunan Rendah Karbon,” pada Senin (14/11).

Hadi menegaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan perdagangan karbon, terutama dalam membiayai kerja-kerja konservasi lingkungan.

“Sektor kehutanan menjadi penting, Indonesia misalnya. Dengan hutan alam terbesar di dunia, memiliki potensi untuk mengurangi jumlah karbon dunia dengan melakukan kerja-kerja konservasi dan penjagaan hutan. Adapun kerja-kerja tersebut dapat didanai dari hasil perdagangan karbon,” tegas Hadi.

Hadi juga menuturkan bahwa transaksi dari perdagangan karbon juga memiliki potensi tidak tepat sasaran.

“Perdagangan karbon ada potensi ketidakadilan. Oleh sebab itu, program yang kami lakukan ialah dengan memperkuat dan memfokuskan kelompok masyarakat yang melakukan konservasi hutan, termasuk konservasi satwa-satwa yang hidup di hutan tersebut.”

“Dengan begitu, maka masyarakat adat dan lokal akan mendapatkan perlindungan dari semua projek perdagangan karbon di suluruh dunia,” imbuhnya.

Dalam rentang waktu dari tahun 2010 sampai 2020, permintaan kredit karbon memiliki peningkatan yang tajam, yang tentunya menjadi salah satu inisiasi dalam menggali pendanaan dan akselerasi dalam kerja-kerja konservasi.

Di saat yang sama, komunitas dari masyarakat yang melakukan kerja-kerja konservasi harus memiliki struktur dan perlindungan hukum yang kuat.

“Masyarakat sipil harus membangun kelompoknya secara terstruktur (terdaftar dalam perundang-undangan) agar memiliki legitimasi yang sah sehingga bisa mendapat manfaat dari hasil pemanfaatan perdagangan karbon.”

Dengan adanya perdagangan karbon, setidaknya menghasilkan tiga manfaat, yakni menambah penerimaan negara, sebagai upaya pendanaan bagi LSM dan masyarakat untuk konservasi alam, dan menjadi daya dorong bagi para pelaku usaha agar mau serta terlibat dalam memberikan kontribusi di kerja-kerja konservasi lingkungan.

“Skema perdagangan karbon ini juga untuk memantik para pelaku usaha agar mau bertanggung jawab terhadap usaha mereka yang telah menghasilkan emisi karbon,” pungkas Hadi.

Perlu diketahui, Konferensi Nasional EFT III diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Perlindungan Lingkungan (KMS-PPL) dengan tajuk ”Konsolidasi Masyarakat Sipil Untuk Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup Dalam Agenda Pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan Pembangunan Rendah Karbon”.