Peradaban Islam Rahmatan lil Alamin
Oleh: Nur Rofiah*
Selepas berdiskusi dengan adik-adik mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) angkatan 2021 Jumat malam kemarin, ingin rasanya kuberbagi poin-poin penting yang kami bahas bersama.
Ada empat (4) poin setidaknya yang penting ditengarai: jati diri manusia, kemaslahatan Islam, alam semesta seisinya sebagai Ayat Allah, Islam sebagai sistem dan proses.
Jati Diri Manusia
Manusia, laki-laki dan perempuan, sama-sama punya status melekat sebagai hanya hamba Allah (inti Tauhid) dan amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi, baik di ruang domestik atau pun publik.
Sebagai pemimpin di muka bumi, manusia dibekali akal dan hati nurani sehingga mampu memilah yang baik dari yang buruk dan memilih yang baik: tinggal mau atau tidak memakainya, baik kemauan manusia secara personal, kolektif, maupun sistemik.
Nilai manusia hanya tergantung pada Takwa, yaitu kemampuan membuktikan komitmen Tauhid pada Allah dengan tindakan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk-Nya, atau iman pada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dengan tindakan baik (amal saleh) pada makhluk-Nya.
Takwa adalah hubungan baik manusia dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama makhluk-Nya. I’dilu huwa aqrabu lit taqwa (adil pada sesama manusia adalah syarat takwa pada Allah). Iman adalah berkata baik atau diam, muliakan tetangga, tamu, berbakti pada orang tua, dan sebagainya. Inilah iman yang menggerakkan peradaban.
Kemaslahatan Islam
Kemaslahatan yang dikehendaki Islam pada manusia adalah kemaslahatan secara internal sekaligus eksternal, baik sebagai individu, Pasangan Suami Istri (Pasutri), keluarga, masyarakat, negara, maupun global, dan baik secara personal, kolektif, sosial, bahkan sebagai spesies manusia, maupun secara sistemik.
Alam semesta seisinya sebagai ayat Allah
Al-Quran adalah salah satu, bukan satu-satunya ayat Allah. Ia dikenal sebagai Ayat Qauliyyah dan disebut juga sebagai Ayat Kecil (Shughra). Ayat lainnya adalah alam semesta raya seisinya. Ia dikenal sebagai Ayat Kauniyyah dan disebut juga Ayat Besar (Kubra).
Al-Quran dipahami oleh ulama melahirkan tafsir yang berkembang menjadi ilmu agama. Sementara alam semesta raya seisinya diteliti oleh ilmuwan melahirkan teori yang berkembang menjadi ilmu umum (mohon pahami istilah ilmu agama dan ilmu umum ini sebagai istilah teknis untuk memudahkan saja)
Jadi, ilmu umum dan ilmu agama sejatinya sama-sama hasil pemahaman manusia atas ayat-ayat Allah. Dua-duanya sama-sama penting digunakan dalam merumuskan kemaslahatan bersama sambil disadari keterbatasannya sebagai ikhtiar manusia yang pengetahuannya terbatas, dinamis, dan bisa salah bisa pula benar.
Ilmu umum dengan demikian bisa bernilai spiritual jika jadi media kemaslahatan bersama. Sebaliknya, ilmu agama bisa hilang nilai spiritualnya jika disalahgunakan untuk kemafsadatan seperti fitnah, propaganda, hoaks, dan legitimasi atas tindakan kekerasan maupun kezaliman lainnya.
Islam sebagai sistem dan proses
Sebagai sistem, ajaran Islam terdiri dari tiga (3) hal yang tersusun secara hierarkis:
- Misi atau arah sistem ajaran Islam: sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta termasuk kelompok lemah (dluafa) dan kelompok yang rentan dilemahkan (mustadl’afin).
- Fondasi Moral: ajaran tentang prinsip dan nilai dasar seperti Tauhid, Takwa, Iman, keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan, keselamatan, kelestarian alam, dan nilai kebajikan universal lainnya yang muaranya adalah penyempurnaan akhlak mulia manusia, termasuk akhlak pada dluafa dan mustadl’afin.
- Cara: ajaran Islam tentang petunjuk untuk menggerakkan sistem kehidupan konkret menuju sistem kehidupan yang menjadi misi Islam. Mengubah sistem kehidupan minadz dzulimati ilan nur (dari kegelapan/kezaliman menuju cahaya/keadilan).
Ajaran Islam terkait misi dan fondasi moral tidak bisa dinegosiasikan karena ia menjadi arah dan jiwa Islam kapan dan di manapun, baik secara tekstual maupun kontekstual. Sementara yang terkait cara mengubah sistem kehidupan konkret kadang tidak hanya bisa bahkan harus dinegosiasikan.
Negosiasi diperlukan terutama saat sistem kehidupan di sini dan saat ini telah berbeda dengan sistem yang melatari turunnya ayat (asbabun nuzul) atau munculnya hadis (asbabul wurud) sehingga penerapannya secara tekstual justru berdampak menjauh dari misi dan bertentangan dengan fondasi moral Islam.
Misalnya petunjuk Islam tentang cara hadapi perang dan sistem perbudakan. Petunjuk tersebut jika diterapkan pada sistem kehidupan tanpa keduanya justru berdampak ajakan perang dan perbudakan yang hanya jadi anugerah bagi pihak kuat, tapi musibah bagi pihak lemah (dluafa) dan rentan (mustadlafin)
Islam sebagai Proses berarti Islam dipahami sebagai petunjuk untuk bergerak terus menerus dari sistem kehidupan yang zalim/jahiliah menuju sistem yang Islami.
Sistem kehidupan yang dimaksudkan meliputi sistem perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan global.
Sistem kehidupan juga meliputi sistem sosial budaya, ekonomi, politik, beragama, dan sendi kehidupan lainnya, sistem kehidupan manusia secara fisik, intelektual, maupun spiritual, sistem kehidupan flora-fauna, bumi maupun planet lainnya, bahkan sistem kehidupan di dunia dan akhirat!
Ciri sistem kehidupan zalim/jahiliah adalah hanya menjadi anugerah bagi pihak kuat atau dominan tapi menjadi musibah bagi pihak lemah (dluafa) atau pihak yang rentan dilemahkan (mustadlafin) karena dalam sistem ini keduanya mesti tunduk mutlak pada pihak yang kuat atau dominan.
Ciri sistem kehidupan Islami adalah pihak kuat dan lemah hanya tunduk mutlak pada Allah dengan hanya tunduk mutlak pada nilai kebaikan bersama. Kekuatan (power) dalam bentuk apa pun adalah amanah dari Allah untuk memberdayakan, bukan memperdaya, pihak lemah sehingga tidak ada pihak yang dilemahkan (mustadl’afin).
Tentu saja dalam mewujudkan kebaikan bersama mesti mempertimbangkan persamaan sekaligus perbedaan antara pihak kuat/dominan dengan pihak yang lemah (dluafa) dan rentan dilemahkan (mustadl’afin) agar kelompok kuat/ dominan tidak jadi standar tunggal kebaikan bagi pihak dluafa dan mustadl’afin.
Orang kaya tidak menjadi standar tunggal kebaikan bersama bagi orang miskin, orang sehat tidak bagi orang sakit, dewasa tidak bagi anak dan yang Lanjut Usia (Lansia), non-difabel tidak bagi difabel, mayoritas tidak bagi minoritas, dan laki-laki tidak bagi perempuan, maupun pihak-pihak lainnya.
Masing-masing dan setiap pihak dipertimbangkan sebagai manusia seutuhnya dengan segala persamaan dan keunikannya. Inilah yang disebut dengan Keadilan Hakiki Islam, bukan sekadar keadilan tekstual, formal, legal, prosedural Islam yang hanya mempertimbangkan persamaan tapi mengabaikan perbedaan.
Berislam (menyerahan diri secara total hanya pada Allah dengan hanya tunduk pada nilai kebaikan bersama) adalah proses berkelanjutan untuk mengubah sistem apa pun yang hanya jadi anugerah bagi segelintir pihak menjadi anugerah bagi semua pihak atau rahmat bagi semesta. Inilah Peradaban Islam Rahmatan Lil Alamin!
Kajian kututup dengan mengajak adik-adik mahasiswa baru UI untuk niat kuliah sebagai proses menjadi versi diri yang terbaik dan niat menjadikan ilmu apa pun yang akan diperoleh, profesi apa pun yang kelak ditekuni, jabatan apa pun yang kelak diduduki sebagai media kemaslahatan bersama agar bisa jadi anugerah bagi semesta.
Semoga kita semua bisa sama-sama terus ikhtiar untuk bisa manfaat seluasnya semampu kita, melalui media apa pun, sebagai apa pun, kapan pun, di mana pun, dengan cara apa pun yang baik atas dasar iman kepada Allah. Aamiin yra.
“Aku manfaat, maka aku ada!”
*Nur Rofiah, Dosen Pascasarjana Prodi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (Institut PTIQ) Jakarta dan Founder Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), Twitter: @n_rofiah