Sejarah Bangsa Tartar; Merawat Ingatan "Keganasan" Bangsa Mongol
Oleh, Moh. Sihabuddin
(Pegiat Literasi di Komunitas Kita Sama)
Serangan bangsa Mongol terhadap wilayah kekuasaan Kerajaan-Muslim membekas kuat dalam ingatan para penulis dan punjaga Muslim di zamannya, atau yang hidup setelahnya. Orang Mongol dicerminkan sebagai sosok mosnter yang cukup kejam dan menakutkan.
Kedatangan Bangsa Mongol bagaikan segerombolan makhlauk asing yang ingin menghancurkan umat manusia. Dalam literatur sejarah Islam, kedatangan mereka dianggap sebagai fitnah kedua.
Anggapan demikian tidak berlebihan. Mengingat kehadiran sekelompok orang bermata sipit itu mampu meruntuhkan kekhalifahan Abbasiyah yang sudah ompong dan tidak lagi memiliki kekuatan penuh sebagai pemimpin tertinggi umat Islam.
Persis setelah itu, khalifah terakhir Abbasiyah tidak bisa meneruskan kekuasaannya di Baghdad dan estafet kepemimpinan kekhalifahan berpindah ke Kesultanan Mamluk di Mesir.
Memori kekejaman bangsa Mongol terus dipelihara oleh beberapa cendekiawan, khususnya cendekiawan Muslim berlatar belakang Arab-Persia. Kedatangan mereka ke wilayah Muslim telah (dianggap) memporakporandakan peradaban Arab-Persia.
Mereka menjajah dan membunuh penduduk kota, merusak kota-kota indah yang pernah dibangun sebelumnya, dan yang paling penting “menghentikan” kepemimpinan orang Arab-Persia atas seluruh dunia Islam.
Jelas saja, pasca serangan Mongol kepemimpinan kekhalifahan beralih ke kesultanan Mamluk dan kemudian “diserahkan” ke Kesultanan Utsmani di Istanbul, Turki.
Dalam buku setebal 599 berjudul Sejarah Bangsa Tartar inilah Raghib as-Sirjani menguatkan pendapat para cendekiawan Arab-Persia tentang pandangan kekejaman bangsa Mongol yang menyerang kekuasaan kerajaan Muslim.
Mereka senantiasa melakukan pengrusakan dan pembakaran. Mayoritas rumah penduduk di kota Baghdad dibakar hingga rata dengan tanah. Asap mengepul kemana-mana; sampai kota Baghdad menjadi kota mati dan tidak ada yang tertinggal selain puing-puing berserakan.
Kejadian ini, operasi pengrusakan, pembakaran dan pembantaian manusia, berlangsung selama empat puluh hari.
Jalan-jalan utama dan lorong-lorong jalan di Baghdad dipenuhi oleh pemandangan menyayat hati, jasad manusia yang mulai membusuk banyak ditemukan di sana-sini.
Badan jalan dan sekitarnya berubah menjadi warna merah oleh darah manusia, dan bau amis darah menyengat hidung (hal. 230).
Raghib telah mewakili sebagian besar cendekiawan yang telah memberikan stereotip negatif terhadap kedatangan bangsa Mongol (Tartar) di wilayah Muslim, tidak hanya memberikan keterangan yang begitu keras atas kekejaman yang telah dilakukan namun juga menyejajarkan bangsa Mongo dengan imajinasi tentang sosok Dajjal.
Kendati didukung dengan data-data yang cukup lengkap dari literatur kuno dan kontemporer, argumentasi Raghib terkesan memposisikan “umat Islam” sebagai orang yang tertindas dan terjajah.
Baginya, tidak ada keuntungan apa-apa dari kedatangan bangsa Mongol ke wilayah Muslim di Asia Tengah dan Barat Daya, kecuali kehancuran dan kerusakan.
Apalagi saat ia mengulas bergabungnya beberapa tentara dan cendekiawan Syiah diantara pasukan Mongol, semakin menegaskan bahwa keterangan Raghib lebih pada menaruh kebencian terhadap orang-orang syiah dari pada memaparkan sejarah secara objektif.
Selain itu, adanya keterangan yang menggabungkan antara kondisi masa lalu dan masa kini, membuat penjelasan cenderung “provokatif”. Narasi ini memantik komunitas Muslim Dunia untuk membangkitkan semangat “Khilafah Islamiyah”.
Keterangan menyamakan kondisi itu lebih pada pemaksaan sebuah kondisi yang berbeda dari pada memaparkan sebuah argumentasi sejarah yang lebih transparan.
Apalagi jika disertai dengan menghubung-hubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan memposisikan bangsa Mongol sebagai sosok makhluk “beradzab”. Justru menjadikan karya Raghib bukan karya sejarah atau buku sejarah.
Buki ini lebih mirip sebuah pidato atau orasi yang berupaya untuk membangkitkan “kemarahan” dan menebar “kebencian” terhadap masa lalu demi kepentingan politis di masa kini.
Ia menciptakan kebencian terhadap kondisi penyerangan di masa lalu. Ia berharap masyarakat muslim hari ini terketuk hatinya untuk bersatu padu “melakukan balas dendam” atas keterpurukan hari ini.
Dengan kata lain, karya Raghib ini lebih seperti alat propaganda. Ia berupaya untuk membangun motivasi kebangsaan-Muslim (Internasionalisasi Muslim atau Khilafah Islamiyah ala Hizbut Tahrir) untuk bersama-sama melihat kondisi peperangan yang dialami di negara-negara Arab dewasa ini, baik di Palestina, di Irak, Suriah, Yaman, hingga di Libya.
Kontan saja, membaca karya Raghib ini lebih banyak menghadirkan kebencian, kemarahan, dorongan untuk balas dendam. Lahir semnagat untuk berperang dan memerangi bangsa “Kafir”, keberanian untuk “jihad” dan kecenderungan untuk bergabung dengan “milisi jihad” di tanah Arab yang tidak jelas.
Jangan berharap membaca buku ini akan melihat banyak temuan baru, fakta yang ada selama kepemimpinan bangsa Mongol, dan kondisi umat Islam pasca-Baghdad.
Namun demikian, sisi keuntungan dan kebaikan penjelasan Raghib adalah pada kronologis yang cukup ringan dan tidak banyak argumentasi yang diperpanjang.
Ia menceritakan secara kronologis perjalanan bangsa Tartar dari penyerangan ke wilayah Khawarizmi, kota-kota penting di Asia Tengah, penyebab peperangan, strategi peperangan, koalisi yang terjadi diantara mereka, jatuhnya Baghdad, hingga kegagalan operasi bangsa Mongol di Ain Jalut.
Beberapa sebab-sebab atau hal-hal yang perlu diperinci telah mendapatkan porsinya secara berurutan yang menyebabkan item demi item bisa dipahaminya.
Terlepas dari semua kelemahan dan keunggulannya. Karya Raghib ini paling tidak gambaran secara umum, yakni kondisi kedua belah pihak. Wilayah Muslim yang diserang dan bangsa Tartar yang menyerang saling mendapatkan porsi penjelasan yang cukup memadai.
Sehingga kondisi keduanya benar-benar bisa diketahui sepanjang terjadi proses penyerangan wilayah Muslim.
Hal paling menonjol dari wilayah Muslim di Asia Tengah dan Barat Daya adalah kelemahan kerajaan-kerajaan Muslim waktu itu. Kekuatan muslim tidak saling mendukung antara satu penguasa kota (amir) dengan penguasaan kota lainnya.
Alasan inilah yang memudahkan Mongol untuk menaklukkan satu kota Muslim secara bertahap dan meneruskan penaklukkan kota Muslim lainnya di lain waktu.
Selain itu, kerjasama yang erat, antara musuh-musuh kekhalifahan Abbasiyah, terutama rakyat jelata yang muak dengan kehidupan istana di kota-kota Muslim juga turut menyumbangkan kehancuran. Belum lagi bergabungnya beberapa pasukan bayaran Arab-Persia di pihak bangsa Mongol.
Kemewahan para raja, amir dan gubenur adalah salah satu hal yang cukup membuat marah rakyat kekhalifahan Abbasiyah atau di kerajaan Muslim lainnya.
Tidak heran jika dengan “kemarahan” yang memuncak itu kedatangan bangsa Tartar menjadi peluang yang cukup membantu untuk meruntuhkan kekhalifahan yang sudah rapuh dan tidak lagi berwibawa.
Kedatangan bangsa Tartar atau Mongol di wilayah Muslim bukan tanpa sebab. Mereka menjadi salah satu penyebab rotasi peradaban mulim harus ditata ulang agar tidak mencapai titik kejenuhan.
Kehadiran kekhalifahan Abbasiyah yang sudah sekian abad lamanya menyebabkan berbagai kerusakan yang tiada bandingnya.
Kekhalifahan Abbasiyah di zaman serangan bangsa Mongol hanyalah sebuah wilayah yang cukup sempit, lebih luas negara Irak saat ini.
Kerajaan Khwarizmi membentuk kerajaan sendiri di Iran dan Asia Tengah, kota-kota di Suriah saling berperang antara satu dengan lainnya, kehadiran kerajaan latin (Bangsa Frank, pasukan Salib) di kota-kota di Suriah dan Anatolia juga memperumit dunia perpolitikan saat itu.
Dinasti Ayyubiyah secara independen membangun kekuasaan sendiri terlepas dari kekhalifahan. Di Mesir ada dinasti Mamluk yang juga tidak terikat dengan kekhalifahan.
Islam di kala itu sudah menjadi identitas hedonistik yang hanya sebagai label kekayaan dan kehidupan mewah kota-kota metropolitan di negeri-negeri Muslim, bukan sebagai amalan dan ajaran yang menyatu dengan jiwa.
Di jazirah Arab, banyak kabilah-kabilah yang tidak bersatu dan lebih suka secara independen menjadi kerajaan terpisah dengan Baghdad.
Demikian dengan Hijaz, hanya dikelolah oleh keturunan Rasulullah yang tidak mempunyai otoritas apapun secara politis di dunia Muslim.
Walhasil, kedatangan bangsa Tartar di wilayah Muslim dan mengakhiri masa kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad tidak terlalu membutuhkan kekuatan besar untuk melumpuhkannya.
Banyak kaum muslimin yang bergabung dengan tentara Tartar, bekerja sebagai bagian dari kemiliteran Mongol, serta menata administrasi pemerintahan Tartar di tanah Iran dan Asia tengah.
Ketika Bahgdad dilumpuhkan maka untuk selanjutnya orang-orang muslim juga mendapatkan mandat untuk menata ulang kota kembali.
Kehadiran dinasti Mamluk yang mampu mengalahkan dan menghentikan serangan Mongol di Ain jalut mendapatkan tempat yang istimewa dalam kajian ini. Termasuk pula ekspedisi pasukan Salib yang bersamaan dengan peristiwa ini. (*)
]]>Sejarah Bangsa Tartar; Merawat Ingatan "Keganasan" Bangsa Mongol
Oleh, Moh. Sihabuddin
(Pegiat Literasi di Komunitas Kita Sama)
Serangan bangsa Mongol terhadap wilayah kekuasaan Kerajaan-Muslim membekas kuat dalam ingatan para penulis dan punjaga Muslim di zamannya, atau yang hidup setelahnya. Orang Mongol dicerminkan sebagai sosok mosnter yang cukup kejam dan menakutkan.
Kedatangan Bangsa Mongol bagaikan segerombolan makhlauk asing yang ingin menghancurkan umat manusia. Dalam literatur sejarah Islam, kedatangan mereka dianggap sebagai fitnah kedua.
Anggapan demikian tidak berlebihan. Mengingat kehadiran sekelompok orang bermata sipit itu mampu meruntuhkan kekhalifahan Abbasiyah yang sudah ompong dan tidak lagi memiliki kekuatan penuh sebagai pemimpin tertinggi umat Islam.
Persis setelah itu, khalifah terakhir Abbasiyah tidak bisa meneruskan kekuasaannya di Baghdad dan estafet kepemimpinan kekhalifahan berpindah ke Kesultanan Mamluk di Mesir.
Memori kekejaman bangsa Mongol terus dipelihara oleh beberapa cendekiawan, khususnya cendekiawan Muslim berlatar belakang Arab-Persia. Kedatangan mereka ke wilayah Muslim telah (dianggap) memporakporandakan peradaban Arab-Persia.
Mereka menjajah dan membunuh penduduk kota, merusak kota-kota indah yang pernah dibangun sebelumnya, dan yang paling penting “menghentikan” kepemimpinan orang Arab-Persia atas seluruh dunia Islam.
Jelas saja, pasca serangan Mongol kepemimpinan kekhalifahan beralih ke kesultanan Mamluk dan kemudian “diserahkan” ke Kesultanan Utsmani di Istanbul, Turki.
Dalam buku setebal 599 berjudul Sejarah Bangsa Tartar inilah Raghib as-Sirjani menguatkan pendapat para cendekiawan Arab-Persia tentang pandangan kekejaman bangsa Mongol yang menyerang kekuasaan kerajaan Muslim.
Mereka senantiasa melakukan pengrusakan dan pembakaran. Mayoritas rumah penduduk di kota Baghdad dibakar hingga rata dengan tanah. Asap mengepul kemana-mana; sampai kota Baghdad menjadi kota mati dan tidak ada yang tertinggal selain puing-puing berserakan.
Kejadian ini, operasi pengrusakan, pembakaran dan pembantaian manusia, berlangsung selama empat puluh hari.
Jalan-jalan utama dan lorong-lorong jalan di Baghdad dipenuhi oleh pemandangan menyayat hati, jasad manusia yang mulai membusuk banyak ditemukan di sana-sini.
Badan jalan dan sekitarnya berubah menjadi warna merah oleh darah manusia, dan bau amis darah menyengat hidung (hal. 230).
Raghib telah mewakili sebagian besar cendekiawan yang telah memberikan stereotip negatif terhadap kedatangan bangsa Mongol (Tartar) di wilayah Muslim, tidak hanya memberikan keterangan yang begitu keras atas kekejaman yang telah dilakukan namun juga menyejajarkan bangsa Mongo dengan imajinasi tentang sosok Dajjal.
Kendati didukung dengan data-data yang cukup lengkap dari literatur kuno dan kontemporer, argumentasi Raghib terkesan memposisikan “umat Islam” sebagai orang yang tertindas dan terjajah.
Baginya, tidak ada keuntungan apa-apa dari kedatangan bangsa Mongol ke wilayah Muslim di Asia Tengah dan Barat Daya, kecuali kehancuran dan kerusakan.
Apalagi saat ia mengulas bergabungnya beberapa tentara dan cendekiawan Syiah diantara pasukan Mongol, semakin menegaskan bahwa keterangan Raghib lebih pada menaruh kebencian terhadap orang-orang syiah dari pada memaparkan sejarah secara objektif.
Selain itu, adanya keterangan yang menggabungkan antara kondisi masa lalu dan masa kini, membuat penjelasan cenderung “provokatif”. Narasi ini memantik komunitas Muslim Dunia untuk membangkitkan semangat “Khilafah Islamiyah”.
Keterangan menyamakan kondisi itu lebih pada pemaksaan sebuah kondisi yang berbeda dari pada memaparkan sebuah argumentasi sejarah yang lebih transparan.
Apalagi jika disertai dengan menghubung-hubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan memposisikan bangsa Mongol sebagai sosok makhluk “beradzab”. Justru menjadikan karya Raghib bukan karya sejarah atau buku sejarah.
Buki ini lebih mirip sebuah pidato atau orasi yang berupaya untuk membangkitkan “kemarahan” dan menebar “kebencian” terhadap masa lalu demi kepentingan politis di masa kini.
Ia menciptakan kebencian terhadap kondisi penyerangan di masa lalu. Ia berharap masyarakat muslim hari ini terketuk hatinya untuk bersatu padu “melakukan balas dendam” atas keterpurukan hari ini.
Dengan kata lain, karya Raghib ini lebih seperti alat propaganda. Ia berupaya untuk membangun motivasi kebangsaan-Muslim (Internasionalisasi Muslim atau Khilafah Islamiyah ala Hizbut Tahrir) untuk bersama-sama melihat kondisi peperangan yang dialami di negara-negara Arab dewasa ini, baik di Palestina, di Irak, Suriah, Yaman, hingga di Libya.
Kontan saja, membaca karya Raghib ini lebih banyak menghadirkan kebencian, kemarahan, dorongan untuk balas dendam. Lahir semnagat untuk berperang dan memerangi bangsa “Kafir”, keberanian untuk “jihad” dan kecenderungan untuk bergabung dengan “milisi jihad” di tanah Arab yang tidak jelas.
Jangan berharap membaca buku ini akan melihat banyak temuan baru, fakta yang ada selama kepemimpinan bangsa Mongol, dan kondisi umat Islam pasca-Baghdad.
Namun demikian, sisi keuntungan dan kebaikan penjelasan Raghib adalah pada kronologis yang cukup ringan dan tidak banyak argumentasi yang diperpanjang.
Ia menceritakan secara kronologis perjalanan bangsa Tartar dari penyerangan ke wilayah Khawarizmi, kota-kota penting di Asia Tengah, penyebab peperangan, strategi peperangan, koalisi yang terjadi diantara mereka, jatuhnya Baghdad, hingga kegagalan operasi bangsa Mongol di Ain Jalut.
Beberapa sebab-sebab atau hal-hal yang perlu diperinci telah mendapatkan porsinya secara berurutan yang menyebabkan item demi item bisa dipahaminya.
Terlepas dari semua kelemahan dan keunggulannya. Karya Raghib ini paling tidak gambaran secara umum, yakni kondisi kedua belah pihak. Wilayah Muslim yang diserang dan bangsa Tartar yang menyerang saling mendapatkan porsi penjelasan yang cukup memadai.
Sehingga kondisi keduanya benar-benar bisa diketahui sepanjang terjadi proses penyerangan wilayah Muslim.
Hal paling menonjol dari wilayah Muslim di Asia Tengah dan Barat Daya adalah kelemahan kerajaan-kerajaan Muslim waktu itu. Kekuatan muslim tidak saling mendukung antara satu penguasa kota (amir) dengan penguasaan kota lainnya.
Alasan inilah yang memudahkan Mongol untuk menaklukkan satu kota Muslim secara bertahap dan meneruskan penaklukkan kota Muslim lainnya di lain waktu.
Selain itu, kerjasama yang erat, antara musuh-musuh kekhalifahan Abbasiyah, terutama rakyat jelata yang muak dengan kehidupan istana di kota-kota Muslim juga turut menyumbangkan kehancuran. Belum lagi bergabungnya beberapa pasukan bayaran Arab-Persia di pihak bangsa Mongol.
Kemewahan para raja, amir dan gubenur adalah salah satu hal yang cukup membuat marah rakyat kekhalifahan Abbasiyah atau di kerajaan Muslim lainnya.
Tidak heran jika dengan “kemarahan” yang memuncak itu kedatangan bangsa Tartar menjadi peluang yang cukup membantu untuk meruntuhkan kekhalifahan yang sudah rapuh dan tidak lagi berwibawa.
Kedatangan bangsa Tartar atau Mongol di wilayah Muslim bukan tanpa sebab. Mereka menjadi salah satu penyebab rotasi peradaban mulim harus ditata ulang agar tidak mencapai titik kejenuhan.
Kehadiran kekhalifahan Abbasiyah yang sudah sekian abad lamanya menyebabkan berbagai kerusakan yang tiada bandingnya.
Kekhalifahan Abbasiyah di zaman serangan bangsa Mongol hanyalah sebuah wilayah yang cukup sempit, lebih luas negara Irak saat ini.
Kerajaan Khwarizmi membentuk kerajaan sendiri di Iran dan Asia Tengah, kota-kota di Suriah saling berperang antara satu dengan lainnya, kehadiran kerajaan latin (Bangsa Frank, pasukan Salib) di kota-kota di Suriah dan Anatolia juga memperumit dunia perpolitikan saat itu.
Dinasti Ayyubiyah secara independen membangun kekuasaan sendiri terlepas dari kekhalifahan. Di Mesir ada dinasti Mamluk yang juga tidak terikat dengan kekhalifahan.
Islam di kala itu sudah menjadi identitas hedonistik yang hanya sebagai label kekayaan dan kehidupan mewah kota-kota metropolitan di negeri-negeri Muslim, bukan sebagai amalan dan ajaran yang menyatu dengan jiwa.
Di jazirah Arab, banyak kabilah-kabilah yang tidak bersatu dan lebih suka secara independen menjadi kerajaan terpisah dengan Baghdad.
Demikian dengan Hijaz, hanya dikelolah oleh keturunan Rasulullah yang tidak mempunyai otoritas apapun secara politis di dunia Muslim.
Walhasil, kedatangan bangsa Tartar di wilayah Muslim dan mengakhiri masa kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad tidak terlalu membutuhkan kekuatan besar untuk melumpuhkannya.
Banyak kaum muslimin yang bergabung dengan tentara Tartar, bekerja sebagai bagian dari kemiliteran Mongol, serta menata administrasi pemerintahan Tartar di tanah Iran dan Asia tengah.
Ketika Bahgdad dilumpuhkan maka untuk selanjutnya orang-orang muslim juga mendapatkan mandat untuk menata ulang kota kembali.
Kehadiran dinasti Mamluk yang mampu mengalahkan dan menghentikan serangan Mongol di Ain jalut mendapatkan tempat yang istimewa dalam kajian ini. Termasuk pula ekspedisi pasukan Salib yang bersamaan dengan peristiwa ini. (*)
]]>Berita Baru, Resensi Film - Sekuel kedua dari film animasi garapan Disney, Frozen II akhirnya tayang di Indonesia pada 20 November 2019 lalu. Besarnya Animo masyarakat, membuat beberapa bioskop menambah jam tayang untuk film yang dirilis 6 tahun lalu itu. Mereka berharap fantasi yang disajikan oleh film ke 58 Walt Disney ini, mampu memikat penggemarnya.
Sebagaimana Frozen pertama (Frozen 2013), yang meraih sukses besar dengan menyabet beberapa penghargaan box office, Frozen II ini pun diharapkan mengikuti jejak kesuksesan sekuel pertamanya. Sebagai penggemar film Disney, saya pun antusias menonton dan membayangkan para penggemar berbondong-bondong mengantre tiket.
Tak sabar, dada saya pun berdegup menanti berbagai kejutan yang disajikan difilm ini. Jika pada serial pertama (Frozen 2013) saya sampai menonton berulang kali, hadirnya film Frozen II ini apakah akan membuat saya datang berulang kali ke bioskop atau malah cukup sekali saja?.
Setelah menemukan jadwal yang cocok, saya akhrinya menonton film ini pada hari minggu, 24 November 2019, pukul 19.00 WIB. Waktu yang tepat untuk menikmati film sembari menyaksikan keriuhan bocah-bocah berdandan ala-ala Queen Elsa atau Princess Anna. Tapi di luar dugaan, ternyata bioskop sepi, hanya penuh di bangku (A-F). Padahal ini hari minggu.
Entah karena jam malam atau karena besok sudah hari senin dan orang tua mempersiapkan anak-anak mereka untuk bersekolah dan atau karena baru 4 hari dari tanggal penayangannya. Banyak pertanyaan yang menyelimuti saya ketika film akan diputar.
Masuk ke bioskop jam 19.00 WIB, penayangan Frozen 2 ini rupanya berbeda dengan film Disney yang tayang sebelumnya. Jam tayang Iklan sebelum film diputar, kurang lebih berdurasi 30 menit. Bisa dibayangkan, duduk 30 menit hanya untuk menonton iklan yang melelahkan--untuk tidak mengatakan bosan.
Baik, mari lupakan iklan dan bayangan-bayangan saya sebelum duduk menyaksikan Frozen II. Mari kita masuk pada tema tulisan ini.
Dari referensi yang saya baca, film besutan sutradara Chris Buck ini sebelumnya memang tidak direncakn untuk dibuat sekuel keduanya. Tapi melihat sukses besar film ini (Box Office) dan seolah ada keinginan untuk menuntaskan cerita yang belum terjawab; kenapa Elsa (Ratu Kerajaan Arendelle) mempunyai kekuatan yang bisa membekukan apa saja yang dia inginkan, maka tercetuslah sekuel film kedua Frozen.
Sebagaimana kita tahu, di sekuel pertama, cerita film menampilkan kekuatan cinta kedua saudari (yatim-piatu), Elsa dan Anna. Kebekuan hati Ana mencair setelah Elsa memeluknya karena takut kehilangan dirinya. Kerajaan Arendelle pun dipimpin oleh Ratu Elsa yang bijaksana dan princes Ana sebagai saudara yang selalu ada disampingnya dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Akhir film yang manis dan tentunya bahagia.
Sekuel Frozen kedua ini ingin mengangkat cerita bagaimana elsa mendapatkan kekuatan tersebut. Pada awal film kita akan melihat betapa makmurnya kerajaan Arendelle, rakyatnya hidup bahagia karena dipimpin oleh Ratu yang bijaksana, tidak memberikan sekat dan jarak kepada rakyat. Pemimpin dan Rakyat hidup damai dan sejahtera.
Namun hal ini berubah ketika Elsa seolah mendapatkan panggilan dari utara (Northulda).
Diketahui, Raja Agnarr (Bapak Elsa dan Anna) dan Queen Iduna (Ibu Elsa dan Ana) meninggal dalam perjalanan ke Laut Utara (Northuldra) untuk mencari penyebab kekuatan sihir/gaib putrinya. Tapi sampai di sana, badai besar menerjang kapal yang ditumpangi Raja dan Ratu, kapal pun pecah yang kemudian menyebabkan keduanya meninggal dalam insiden tersebut.
Pengungkapan kekuatan Elsa dalam Frozen II tersebut, juga diceritakan melalui sejarah kerajaan Arendelle dimasa lalu yang masih misterius. Entah (kesalahan) apa yang telah dilakukan para pendahulu Elsa, sehingga muncul kekuatan aneh yang dimilikinya. Kekuatan yang dimiliki Elsa bisa jadi Anugerah atau Kutukan.
Penceritaan itu sebagaimana yang ramalkan oleh Troll (makhluk mitologi yang hidup dalam gua disebuah pegunungan, sebenarnya ini lebih dekat ke Drawf/troll mini) mereka (baca: troll). Tapi ia tidak mampu membaca masa depan Arendelle seperti yang sudah biasa mereka lakukan. Sehingga jalan keluar dari masalah yang menimpa Arendelle murni karena kesalahan masa lalu dan harus ada yang menuntaskan.
Sebelum Queen Elsa menemui Troll kerajaan Arendelle mengalami musibah, yakni bencana alam, gempa bumi dan kelangkaan air, sehingga rakyat Arendelle diungsikan ke tebing gunung.
Sebenarnya film berjalan kurang lebih 40 menitan kita sudah bisa menebak alur kisahnya kemana bahkan endingnya sudah bisa terbaca. Karena akhir-akhir ini film Disney mengangkat keterkaitan alam manusia dan sihir, termasuk film sejenis seperti Maleficent.
Ternyata Frozen 2 tidak jauh berbeda, dengan Maleficent. Konfliknya sama, bagaimana alam memberikan keselarasan dan keseimbangan. Kekuatan yang dimiliki Elsa adalah bentuk anugerah yang diberikan oleh Dewa Ra (Matahari) kepada Iduna (Ibu Elsa) karena dengan tanpa pamrih menolong Agnar (Bapak Elsa) dari kesepakatan damai yang dikhinati oleh Raja Runeard (Kakek elsa), sehingga muncullah konflik dari kedua suku tersebut.
Kedengkian atas selarasnya bangsa Northuldra dan sihir yang membuat Raja Runeard gelap mata. Ia membangun jembatan atau bendungan dengan dalih sebagai hadiah atas persekutuan mereka. Namun dibalik itu, bendungan tersebut nyatanya hanya untuk kepentingan kerajaan Arendelle.
Konflik berlanjut sampai dengan perang yang diakibatkan oleh Raja Runeard membunuh Raja Northuldra yang dalam keadaan tidak bersenjata. Fakta selanjutnya Kedua orang tua Elsa ternyata berasal dari bangsa yang berbeda, berbeda alam (alam Sihir dan alam Manusia ; Northuldra & Arendelle)
Dari latar belakang inilah akhir cerita tersebut bisa ditebak, sepanjang alur cerita tidak banyak kejutan yang diberikan seperti sekuel Frozen pertama (2013). Karena tetap saja Olaf (Manusia Salju) mati kemudian dihidupkan kembali oleh Elsa. Dan Kristoff kemudian juga menikah dengan Anna.
Film ini mengajarkan pentingnya strategi diplomasi untuk menjaga stabilitas keamanan, yakni Anna ketika menikah dengan Kristoff, diamanahkan untuk memimpin Kerajaan Arendelle.
Kemudian Elsa dengan segala bakatnya memimpin Northuldra yang sangat sesuai (kondisi masyarakatnya) dengan kemampuan yang dimilikinya. Sihir es-nya merupakan keadaan alam yang dimiliki oleh Northulda.
Akhir yang manis cukup bagi sebuah penyatuan dunia sihir dan dunia manusia.
Oleh: Siti Faykhiyatul Jannah.
Artikel Asli
Berita Baru, Resensi Film - Sekuel kedua dari film animasi garapan Disney, Frozen II akhirnya tayang di Indonesia pada 20 November 2019 lalu. Besarnya Animo masyarakat, membuat beberapa bioskop menambah jam tayang untuk film yang dirilis 6 tahun lalu itu. Mereka berharap fantasi yang disajikan oleh film ke 58 Walt Disney ini, mampu memikat penggemarnya.
Sebagaimana Frozen pertama (Frozen 2013), yang meraih sukses besar dengan menyabet beberapa penghargaan box office, Frozen II ini pun diharapkan mengikuti jejak kesuksesan sekuel pertamanya. Sebagai penggemar film Disney, saya pun antusias menonton dan membayangkan para penggemar berbondong-bondong mengantre tiket.
Tak sabar, dada saya pun berdegup menanti berbagai kejutan yang disajikan difilm ini. Jika pada serial pertama (Frozen 2013) saya sampai menonton berulang kali, hadirnya film Frozen II ini apakah akan membuat saya datang berulang kali ke bioskop atau malah cukup sekali saja?.
Setelah menemukan jadwal yang cocok, saya akhrinya menonton film ini pada hari minggu, 24 November 2019, pukul 19.00 WIB. Waktu yang tepat untuk menikmati film sembari menyaksikan keriuhan bocah-bocah berdandan ala-ala Queen Elsa atau Princess Anna. Tapi di luar dugaan, ternyata bioskop sepi, hanya penuh di bangku (A-F). Padahal ini hari minggu.
Entah karena jam malam atau karena besok sudah hari senin dan orang tua mempersiapkan anak-anak mereka untuk bersekolah dan atau karena baru 4 hari dari tanggal penayangannya. Banyak pertanyaan yang menyelimuti saya ketika film akan diputar.
Masuk ke bioskop jam 19.00 WIB, penayangan Frozen 2 ini rupanya berbeda dengan film Disney yang tayang sebelumnya. Jam tayang Iklan sebelum film diputar, kurang lebih berdurasi 30 menit. Bisa dibayangkan, duduk 30 menit hanya untuk menonton iklan yang melelahkan--untuk tidak mengatakan bosan.
Baik, mari lupakan iklan dan bayangan-bayangan saya sebelum duduk menyaksikan Frozen II. Mari kita masuk pada tema tulisan ini.
Dari referensi yang saya baca, film besutan sutradara Chris Buck ini sebelumnya memang tidak direncakn untuk dibuat sekuel keduanya. Tapi melihat sukses besar film ini (Box Office) dan seolah ada keinginan untuk menuntaskan cerita yang belum terjawab; kenapa Elsa (Ratu Kerajaan Arendelle) mempunyai kekuatan yang bisa membekukan apa saja yang dia inginkan, maka tercetuslah sekuel film kedua Frozen.
Sebagaimana kita tahu, di sekuel pertama, cerita film menampilkan kekuatan cinta kedua saudari (yatim-piatu), Elsa dan Anna. Kebekuan hati Ana mencair setelah Elsa memeluknya karena takut kehilangan dirinya. Kerajaan Arendelle pun dipimpin oleh Ratu Elsa yang bijaksana dan princes Ana sebagai saudara yang selalu ada disampingnya dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Akhir film yang manis dan tentunya bahagia.
Sekuel Frozen kedua ini ingin mengangkat cerita bagaimana elsa mendapatkan kekuatan tersebut. Pada awal film kita akan melihat betapa makmurnya kerajaan Arendelle, rakyatnya hidup bahagia karena dipimpin oleh Ratu yang bijaksana, tidak memberikan sekat dan jarak kepada rakyat. Pemimpin dan Rakyat hidup damai dan sejahtera.
Namun hal ini berubah ketika Elsa seolah mendapatkan panggilan dari utara (Northulda).
Diketahui, Raja Agnarr (Bapak Elsa dan Anna) dan Queen Iduna (Ibu Elsa dan Ana) meninggal dalam perjalanan ke Laut Utara (Northuldra) untuk mencari penyebab kekuatan sihir/gaib putrinya. Tapi sampai di sana, badai besar menerjang kapal yang ditumpangi Raja dan Ratu, kapal pun pecah yang kemudian menyebabkan keduanya meninggal dalam insiden tersebut.
Pengungkapan kekuatan Elsa dalam Frozen II tersebut, juga diceritakan melalui sejarah kerajaan Arendelle dimasa lalu yang masih misterius. Entah (kesalahan) apa yang telah dilakukan para pendahulu Elsa, sehingga muncul kekuatan aneh yang dimilikinya. Kekuatan yang dimiliki Elsa bisa jadi Anugerah atau Kutukan.
Penceritaan itu sebagaimana yang ramalkan oleh Troll (makhluk mitologi yang hidup dalam gua disebuah pegunungan, sebenarnya ini lebih dekat ke Drawf/troll mini) mereka (baca: troll). Tapi ia tidak mampu membaca masa depan Arendelle seperti yang sudah biasa mereka lakukan. Sehingga jalan keluar dari masalah yang menimpa Arendelle murni karena kesalahan masa lalu dan harus ada yang menuntaskan.
Sebelum Queen Elsa menemui Troll kerajaan Arendelle mengalami musibah, yakni bencana alam, gempa bumi dan kelangkaan air, sehingga rakyat Arendelle diungsikan ke tebing gunung.
Sebenarnya film berjalan kurang lebih 40 menitan kita sudah bisa menebak alur kisahnya kemana bahkan endingnya sudah bisa terbaca. Karena akhir-akhir ini film Disney mengangkat keterkaitan alam manusia dan sihir, termasuk film sejenis seperti Maleficent.
Ternyata Frozen 2 tidak jauh berbeda, dengan Maleficent. Konfliknya sama, bagaimana alam memberikan keselarasan dan keseimbangan. Kekuatan yang dimiliki Elsa adalah bentuk anugerah yang diberikan oleh Dewa Ra (Matahari) kepada Iduna (Ibu Elsa) karena dengan tanpa pamrih menolong Agnar (Bapak Elsa) dari kesepakatan damai yang dikhinati oleh Raja Runeard (Kakek elsa), sehingga muncullah konflik dari kedua suku tersebut.
Kedengkian atas selarasnya bangsa Northuldra dan sihir yang membuat Raja Runeard gelap mata. Ia membangun jembatan atau bendungan dengan dalih sebagai hadiah atas persekutuan mereka. Namun dibalik itu, bendungan tersebut nyatanya hanya untuk kepentingan kerajaan Arendelle.
Konflik berlanjut sampai dengan perang yang diakibatkan oleh Raja Runeard membunuh Raja Northuldra yang dalam keadaan tidak bersenjata. Fakta selanjutnya Kedua orang tua Elsa ternyata berasal dari bangsa yang berbeda, berbeda alam (alam Sihir dan alam Manusia ; Northuldra & Arendelle)
Dari latar belakang inilah akhir cerita tersebut bisa ditebak, sepanjang alur cerita tidak banyak kejutan yang diberikan seperti sekuel Frozen pertama (2013). Karena tetap saja Olaf (Manusia Salju) mati kemudian dihidupkan kembali oleh Elsa. Dan Kristoff kemudian juga menikah dengan Anna.
Film ini mengajarkan pentingnya strategi diplomasi untuk menjaga stabilitas keamanan, yakni Anna ketika menikah dengan Kristoff, diamanahkan untuk memimpin Kerajaan Arendelle.
Kemudian Elsa dengan segala bakatnya memimpin Northuldra yang sangat sesuai (kondisi masyarakatnya) dengan kemampuan yang dimilikinya. Sihir es-nya merupakan keadaan alam yang dimiliki oleh Northulda.
Akhir yang manis cukup bagi sebuah penyatuan dunia sihir dan dunia manusia.
Oleh: Siti Faykhiyatul Jannah.
Artikel Asli
Langkah Benar Musthafa Kemal Membubarkan Kekhalifahan Utsmani
(oleh : Siti Fatkhiyatul Jannah)
Kekhalifahan Utsmani dibubarkan pada tahun 1922 yang mengakhiri kekuasaan sebuah sistem negara terkuat di zamannya sejak abad ke-14 M. Karena mendapatkan dukungan penuh dari majelis nasional yang dibentuknya Mustafa Kemal dengan kekuatannya sebagai presiden langsung menjadikan warga Utsmani menjadi bangsa baru dengan identitas baru, Turki. Pada saat itulah kekhalifahan Utsmani mulai berubah dan berganti nama menjadi Republik Turki.
Ustmani adalah sebuah bangsa yang besar yang disegani dan menjadi teladan peradaban di zamannya bagi orang Eropa, Arab, Persia, dan juga Amerika. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dennise A. Spillberg melalui penelitiannya bahwa berdirinya negara Amerika Serikat yang baru (diawal berdirinya) dibentuk oleh gagasan dan pemikiran dari Ustmani dan al-Qur’an. Melalui stabilitas yang ada di negara kesultanan Ustmani dan ketinggian al-Qur’an sebagai kitab suci Thomas Jefferson memulai bangunan Amerika Serikat mengikuti model yang diterapkan oleh Ustmani.
Di zaman keemasan dan kejayaannya bangsa Eropa lebih bangga menjadi warga Ustmani, kendati itu harus diproses menjadi budak terlebih dahulu dengan cara bergabung dengan Jannisary. Orang Arab, Persia dan India juga merasa bangga dengan kebesaran kekuatan negara Muslim yang semakin memperkokoh eksistensi kehidupan bernegaranya tersebut. Semua bangsa di dunia datang ke kota-kota yang dipoles dan dipercantik di kawasan Utsmani, membentang dari Balkan, Kaukasia, Anatolia, Arabia dan Afrika Utara. Kota Istanbul, Izmir, Bursa, Sarajevo, Damaskus, Kut, Gazza, dan juga Tunis menjadi rujukan dalam belajar dan melihat kecantikan sebuah peradaban.
Kemajuan Kekhalifahan Utsmani tidak bisa lepas dari kepemimpinan para sultan yang cakap dan cerdas, memiliki insting politik yang tajam, analisis yang sesuai perkembangan zaman, dan didukung oleh birokrasi yang sehat dan profesional. Sejak Bayazid I, Muhammad al-Fatih, Sulayman al-Qanuni, hingga Abdul Majid perkembangan Ustmani senantiasa bisa dipantau dan dijadikan teladan oleh bangsa lain.
Ustmani Tua yang Sakit
Namun seiring berjalannya waktu kemajuan Kekhalifahan Utsmani semakin redup, dimulai dari korupsi, perebutan kekuasaan, orientasi jabatan dan harta, pesta pora, serta pembunuhan antar keturunan dan bobroknya institusi-intitusi tradisional yang sudah lama berkembang.
Saat Eropa bangkit melalui industrialisasi dan revolusi bentuk negara (sistem demokrasi, nasionalisme), kesultanan Ustmani masih berkutat pada ueforia kemajuan dan kekayaan yang dimilikinya. Tidak sadar dengan ancaman yang terus berdatangan, dari Rusia, Spanyol, Italia, Inggris dan juga pemberontakan dari dalam lambat laun memperlemah kepemimpinan Ustmani di beberapa tingkatan.
Di Mesir, sejak dipimpin oleh gubenur Muhammad Ali merasa lebih independen alih-alih bagian dari Ustmani Raya di Anatolia. Di Afrika utara, beberapa tokoh sudah mulai membentuk kekuasaannya sendiri yang independent tanpa ada ikatan dengan Ustmani secara politik. Di Balkan, perpecahan dan balas dendam bangsa Slavia terhadap orang Muslim Turki terus menghantui dan menjadi ancaman nyata bagi kekuasaan Ustmani di Rumelia (Eropa Tenggara). Orang Yunani, semakin menunjukkan taringnya dan mulai menggerogoti Ustmani Raya yang kaya menjadi negara Tua yang sakit.
Dalam kesakitan yang dialaminya itu musuh-musuh Ustmani mulai kuat dan menjadi raksasa yang bangkit. Inggris dan Perancis berlomba-lomba menguasai lautan. keTsaran Rusia mulai menciptakan model kekuasaan yang lebih sesuai dengan lokasinya, dan beberapa kerajaan kecil mulai meminta wilayah yang lepas dari pengaruh Utsmani.
Perang Balkan I dan Perang Balkan II semakin menjadikan Ustmani bangkrut dan lemah. Tidak mampu membiayai kehidupan masyarakat dan pegawainya. Mulailah negara mengajukan hutang ke luar negeri dengan bunga yang cukup mencekik dari bangkir Yahudi. Tentara di garnisum-garnisum Ustmani di seluruh provinsi kehilangan pemimpin yang kharismatik, yang berpotensi menimbulkan pemberontakan dan pelemahan negara.
Di dalam pemerintahan Kekhalifahan Utsmani sendiri kekuasaan Sultan semakin lemah karena Janissray semakin memperkaya diri dan Syaikhul Islam tidak lagi menjaga harga dirinya sebagai lembaga yang berwibawa, menyebabkan sultan mudah dikendalikan dan digantikan oleh penggantinya yang tidak kalah lemah.
Puncaknya, ketika pemerintahan yang dibentuk oleh sekelompok komunitas yang menyatakan diri sebagai Utsmani Muda dan Turki Muda melibatkan diri dalam Perang Besar (Perang Dunia I) dengan mengikuti barisan di Blok Sentral bersama kekaisaran Prussia-Jerman, Kerajaan Bulgaria dan Kekaisaran Astro-Hungaria. Keterlibatan Amerika Serikat dalam perang tersebut menjadi blok yang diikuti oleh Utsmani kalah dan menjadikan posisi Utsmani sebagai negara yang harus menerima genjatan senjata.
Kekalahan dan Kehancuran Ustmani
Kekalahan Ustmani yang paling berpengaruh dengan kehancurannya sebagai negara besar tidak dikarenakan kalah dalam berperang. Pada beberapa kasus pertempuran pasukan Ustmani tergolong kuat dan sulit untuk ditaklukkan. Inggris-Prancis selama bertempur di front Timur Tengah cukup kesulitan menghadapi kegigihan pasukan Ustmani yang dipimpin dengan cukup baik oleh komandan yang cakap. Bahkan keganasan pertempuran di Gazza dianggap sebagai neraka yang lebih ganas dibandingkan di Front Barat.
Adalah pemberontakan di provinsi Arab yang paling menjadikan Ustmani lemah dan tidak berdaya. Dengan dukungan Inggris, kaum Sa’ud-Wahabisme dan klan Hasyimiyah sangat berperan sekali membantu Inggris mengalahkan garnisum-garnisum Ustmani yang ada di Arab, baik di Suriah Raya, Hijaz maupun di Mesir.
Sebagai negara yang kalah dalam perang maka Utsmani harus menerima semua perjanjian yang dibuat oleh Etente atau Sekutu. Khalifah dan Saikhul Islam menerima segala perjanjian yang dibuat oleh Etente yang menyebabkan beberapa wilayah Ustmani menjadi hak bagi Italia, Rusia, dan Yunani. Alhasil, wilayah Ustmani semakin menyempit, hanya menyisahkan beberapa kawasan Istanbul, Anatolia tengah dan Timur. Pada intinya perjanjian yang dibuat untuk Ustmani merupakan sebuah kebijakan yang sangat menghancurkan Ustmani sebagai sebuah kesultanan Muslim yang besar.
Mustafa Kemal Pasha seorang pahlawan Galipoli, yang menggagalkan operasi amfibi terbesar angkatan laut Inggris-Australia di front timur (di zamannya), tidak menerima kepetusan Sekutu dan menolak semua perjanjian yang dibuat untuk Turki. Penolakan tersebut menyebabkan Mustafa dituduh sebagai penghianat negara dan dihukumi hukuman mati oleh Saikhul Islam.
Tuduhan dan vonis dari Khalifah tidak menyurutkan upaya Mustafa Kemal dalam mempertahankan tanah Ustmani agar tetap utuh. Mulailah dia bersama kawan-kawannya membentuk Majelis Nasional di Ankara, membentuk kembali pasukannya dan siap menghadapi segala kemungkinan tindakan dari para penjajah sekutu di tanah Ustmani, termasuk opsi militer.
Mustafa Pahlawan Turki
Langkah Mustafa Kemal mendapatkan respon dari Yunani, Italia dan Rusia. Di beberapa front yang dianggap sebagai rampasan perang oleh Sekutu Mustafa Kemal berperang dengan gigih yang menyebabkan semua negara-negara penjajah itu terlempar keluar dari wilayah Ustmani. Itali gagal memiliki beberapa wilayah di Anatolia, Yunani berhasil dilempar menuju ke tanahnya, dan Rusia angkat kaki dari kawasan Anatolia Utara.
Kemenangan Mustafa Kemal menguatkan posisinya sebagai pememipin negara Ustmani baru yang lepas dari perpecahan dan penjajahan. Mulailah narasi bangsa Turki dimunculkan untuk menggantikan narasi lama Ustmani. Dan untuk memperkuat keberadaan narasi baru, negara-bangsa Turki, maka narasi lama harus dihapus dan dijadikan sebagai kenangan yang harus dikubur dalam catatan sejarah. Mulailah dia memplokamirkan dirinya sebagai presiden negara Ustmani baru dengan nama Republik Turki, menghapus kesultanan, membubarkan Saikhul Islam, dan pada gilirannya di tahun 1922 kekhalifahan di hapus untuk selamanya dimuka bumi.
Pembubaran kekhalifahan Ustmani oleh Mustafa Kemal bukan tanpa alasan. Ada banyak alasan yang menyebabkan Mustafa harus bergerak cepat mengubah Usmani menjadi Republik Turki. (1) Manajemen yang bobrok, (2) birokrasi yang kurang efektif, (3) militer yang kalah kuat dengan Eropa, (4) kemajuan tehnologi yang tidak dimiliki, (5) sistem pemerintahan tradisional (kesukuan) yang tidak lagi relevan, (6) maraknya nasionalisme di tanah Arab, dan (7) kekayaan yang semakin menyusut dengan mengandalkan pertanian adalah sederet alasan Mustafa harus membubarkan kesultanan Ustmani. Dan tentunya masih ada banyak fakta yang menyebabkan Mustafa harus membubarkan kekhalifahan.
Ancaman bagi rakyat Utsmani dan umat islam jelas, akan merugikan—jika saja langkah pembubaran kekhalifahn tidak dilakukan oleh Mustafa. Jika kekhalifahan tetap ada maka tanah Ustmani yang terjajah akan semakin menyempit (tidak seluas wilayah Republik Turki Modern saat ini), institusi kekhalifahan akan ketinggalan zaman, kemajuan Turki akan terhambat dan segala bentuk korupsi dan kebobrokan akan tetap menjadi penyakit bagi negara Ustmani yang karam itu.
Langkah Progresif Mustafa
Langkah Mustafa Kemal terbukti benar dengan membubarkan kekhalifahan Ustmani dan menggantinya dengan bentuk negara yang baru mengikuti model yang berkembang, Republik Turki.
Di tahun 1940 Pada saat Perang Dunia II semakin berkobar di beberapa front, para pemimpin Turki didekati oleh beberapa diplomat dari Jerman, Inggris, dan Amerika. Semua mengajak Turki untuk bergabung di masing-masing bloknya, antara Axis atau Sekutu. Atas wasiat Mustafa Kemal sebelum wafat, yang mencegah Turki agar tidak terlibat konflik dengan kepentingan segelintir penguasa Eropa maka Turki berhasil memposisikan diri sama sekali tidak terlibat dalam perang.
Bisa jadi, seandainya kekhalifahan masih ada pasti akan berpihak pada salah satu blok yang berpotensi menjadi perpecahan bagi wilayahnya. Hal itu juga akan melahirkan banyak kekhalifahan di negeri-negeri Muslim. Raja Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab pasti mengklaim sebagai khalifah, syah Iran juga mengklaim sebagai khalifah, dan mungkin pula Mesir juga akan mengklaim sebagai khalifah.
Inilah pelajaran penting dari Mustafa Kemal yang sering dikaburkan oleh beberapa pengamat yang subjektif terhadap realita sejarah peradaban manusia. (*)
]]>Langkah Benar Musthafa Kemal Membubarkan Kekhalifahan Utsmani
(oleh : Siti Fatkhiyatul Jannah)
Kekhalifahan Utsmani dibubarkan pada tahun 1922 yang mengakhiri kekuasaan sebuah sistem negara terkuat di zamannya sejak abad ke-14 M. Karena mendapatkan dukungan penuh dari majelis nasional yang dibentuknya Mustafa Kemal dengan kekuatannya sebagai presiden langsung menjadikan warga Utsmani menjadi bangsa baru dengan identitas baru, Turki. Pada saat itulah kekhalifahan Utsmani mulai berubah dan berganti nama menjadi Republik Turki.
Ustmani adalah sebuah bangsa yang besar yang disegani dan menjadi teladan peradaban di zamannya bagi orang Eropa, Arab, Persia, dan juga Amerika. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dennise A. Spillberg melalui penelitiannya bahwa berdirinya negara Amerika Serikat yang baru (diawal berdirinya) dibentuk oleh gagasan dan pemikiran dari Ustmani dan al-Qur’an. Melalui stabilitas yang ada di negara kesultanan Ustmani dan ketinggian al-Qur’an sebagai kitab suci Thomas Jefferson memulai bangunan Amerika Serikat mengikuti model yang diterapkan oleh Ustmani.
Di zaman keemasan dan kejayaannya bangsa Eropa lebih bangga menjadi warga Ustmani, kendati itu harus diproses menjadi budak terlebih dahulu dengan cara bergabung dengan Jannisary. Orang Arab, Persia dan India juga merasa bangga dengan kebesaran kekuatan negara Muslim yang semakin memperkokoh eksistensi kehidupan bernegaranya tersebut. Semua bangsa di dunia datang ke kota-kota yang dipoles dan dipercantik di kawasan Utsmani, membentang dari Balkan, Kaukasia, Anatolia, Arabia dan Afrika Utara. Kota Istanbul, Izmir, Bursa, Sarajevo, Damaskus, Kut, Gazza, dan juga Tunis menjadi rujukan dalam belajar dan melihat kecantikan sebuah peradaban.
Kemajuan Kekhalifahan Utsmani tidak bisa lepas dari kepemimpinan para sultan yang cakap dan cerdas, memiliki insting politik yang tajam, analisis yang sesuai perkembangan zaman, dan didukung oleh birokrasi yang sehat dan profesional. Sejak Bayazid I, Muhammad al-Fatih, Sulayman al-Qanuni, hingga Abdul Majid perkembangan Ustmani senantiasa bisa dipantau dan dijadikan teladan oleh bangsa lain.
Ustmani Tua yang Sakit
Namun seiring berjalannya waktu kemajuan Kekhalifahan Utsmani semakin redup, dimulai dari korupsi, perebutan kekuasaan, orientasi jabatan dan harta, pesta pora, serta pembunuhan antar keturunan dan bobroknya institusi-intitusi tradisional yang sudah lama berkembang.
Saat Eropa bangkit melalui industrialisasi dan revolusi bentuk negara (sistem demokrasi, nasionalisme), kesultanan Ustmani masih berkutat pada ueforia kemajuan dan kekayaan yang dimilikinya. Tidak sadar dengan ancaman yang terus berdatangan, dari Rusia, Spanyol, Italia, Inggris dan juga pemberontakan dari dalam lambat laun memperlemah kepemimpinan Ustmani di beberapa tingkatan.
Di Mesir, sejak dipimpin oleh gubenur Muhammad Ali merasa lebih independen alih-alih bagian dari Ustmani Raya di Anatolia. Di Afrika utara, beberapa tokoh sudah mulai membentuk kekuasaannya sendiri yang independent tanpa ada ikatan dengan Ustmani secara politik. Di Balkan, perpecahan dan balas dendam bangsa Slavia terhadap orang Muslim Turki terus menghantui dan menjadi ancaman nyata bagi kekuasaan Ustmani di Rumelia (Eropa Tenggara). Orang Yunani, semakin menunjukkan taringnya dan mulai menggerogoti Ustmani Raya yang kaya menjadi negara Tua yang sakit.
Dalam kesakitan yang dialaminya itu musuh-musuh Ustmani mulai kuat dan menjadi raksasa yang bangkit. Inggris dan Perancis berlomba-lomba menguasai lautan. keTsaran Rusia mulai menciptakan model kekuasaan yang lebih sesuai dengan lokasinya, dan beberapa kerajaan kecil mulai meminta wilayah yang lepas dari pengaruh Utsmani.
Perang Balkan I dan Perang Balkan II semakin menjadikan Ustmani bangkrut dan lemah. Tidak mampu membiayai kehidupan masyarakat dan pegawainya. Mulailah negara mengajukan hutang ke luar negeri dengan bunga yang cukup mencekik dari bangkir Yahudi. Tentara di garnisum-garnisum Ustmani di seluruh provinsi kehilangan pemimpin yang kharismatik, yang berpotensi menimbulkan pemberontakan dan pelemahan negara.
Di dalam pemerintahan Kekhalifahan Utsmani sendiri kekuasaan Sultan semakin lemah karena Janissray semakin memperkaya diri dan Syaikhul Islam tidak lagi menjaga harga dirinya sebagai lembaga yang berwibawa, menyebabkan sultan mudah dikendalikan dan digantikan oleh penggantinya yang tidak kalah lemah.
Puncaknya, ketika pemerintahan yang dibentuk oleh sekelompok komunitas yang menyatakan diri sebagai Utsmani Muda dan Turki Muda melibatkan diri dalam Perang Besar (Perang Dunia I) dengan mengikuti barisan di Blok Sentral bersama kekaisaran Prussia-Jerman, Kerajaan Bulgaria dan Kekaisaran Astro-Hungaria. Keterlibatan Amerika Serikat dalam perang tersebut menjadi blok yang diikuti oleh Utsmani kalah dan menjadikan posisi Utsmani sebagai negara yang harus menerima genjatan senjata.
Kekalahan dan Kehancuran Ustmani
Kekalahan Ustmani yang paling berpengaruh dengan kehancurannya sebagai negara besar tidak dikarenakan kalah dalam berperang. Pada beberapa kasus pertempuran pasukan Ustmani tergolong kuat dan sulit untuk ditaklukkan. Inggris-Prancis selama bertempur di front Timur Tengah cukup kesulitan menghadapi kegigihan pasukan Ustmani yang dipimpin dengan cukup baik oleh komandan yang cakap. Bahkan keganasan pertempuran di Gazza dianggap sebagai neraka yang lebih ganas dibandingkan di Front Barat.
Adalah pemberontakan di provinsi Arab yang paling menjadikan Ustmani lemah dan tidak berdaya. Dengan dukungan Inggris, kaum Sa’ud-Wahabisme dan klan Hasyimiyah sangat berperan sekali membantu Inggris mengalahkan garnisum-garnisum Ustmani yang ada di Arab, baik di Suriah Raya, Hijaz maupun di Mesir.
Sebagai negara yang kalah dalam perang maka Utsmani harus menerima semua perjanjian yang dibuat oleh Etente atau Sekutu. Khalifah dan Saikhul Islam menerima segala perjanjian yang dibuat oleh Etente yang menyebabkan beberapa wilayah Ustmani menjadi hak bagi Italia, Rusia, dan Yunani. Alhasil, wilayah Ustmani semakin menyempit, hanya menyisahkan beberapa kawasan Istanbul, Anatolia tengah dan Timur. Pada intinya perjanjian yang dibuat untuk Ustmani merupakan sebuah kebijakan yang sangat menghancurkan Ustmani sebagai sebuah kesultanan Muslim yang besar.
Mustafa Kemal Pasha seorang pahlawan Galipoli, yang menggagalkan operasi amfibi terbesar angkatan laut Inggris-Australia di front timur (di zamannya), tidak menerima kepetusan Sekutu dan menolak semua perjanjian yang dibuat untuk Turki. Penolakan tersebut menyebabkan Mustafa dituduh sebagai penghianat negara dan dihukumi hukuman mati oleh Saikhul Islam.
Tuduhan dan vonis dari Khalifah tidak menyurutkan upaya Mustafa Kemal dalam mempertahankan tanah Ustmani agar tetap utuh. Mulailah dia bersama kawan-kawannya membentuk Majelis Nasional di Ankara, membentuk kembali pasukannya dan siap menghadapi segala kemungkinan tindakan dari para penjajah sekutu di tanah Ustmani, termasuk opsi militer.
Mustafa Pahlawan Turki
Langkah Mustafa Kemal mendapatkan respon dari Yunani, Italia dan Rusia. Di beberapa front yang dianggap sebagai rampasan perang oleh Sekutu Mustafa Kemal berperang dengan gigih yang menyebabkan semua negara-negara penjajah itu terlempar keluar dari wilayah Ustmani. Itali gagal memiliki beberapa wilayah di Anatolia, Yunani berhasil dilempar menuju ke tanahnya, dan Rusia angkat kaki dari kawasan Anatolia Utara.
Kemenangan Mustafa Kemal menguatkan posisinya sebagai pememipin negara Ustmani baru yang lepas dari perpecahan dan penjajahan. Mulailah narasi bangsa Turki dimunculkan untuk menggantikan narasi lama Ustmani. Dan untuk memperkuat keberadaan narasi baru, negara-bangsa Turki, maka narasi lama harus dihapus dan dijadikan sebagai kenangan yang harus dikubur dalam catatan sejarah. Mulailah dia memplokamirkan dirinya sebagai presiden negara Ustmani baru dengan nama Republik Turki, menghapus kesultanan, membubarkan Saikhul Islam, dan pada gilirannya di tahun 1922 kekhalifahan di hapus untuk selamanya dimuka bumi.
Pembubaran kekhalifahan Ustmani oleh Mustafa Kemal bukan tanpa alasan. Ada banyak alasan yang menyebabkan Mustafa harus bergerak cepat mengubah Usmani menjadi Republik Turki. (1) Manajemen yang bobrok, (2) birokrasi yang kurang efektif, (3) militer yang kalah kuat dengan Eropa, (4) kemajuan tehnologi yang tidak dimiliki, (5) sistem pemerintahan tradisional (kesukuan) yang tidak lagi relevan, (6) maraknya nasionalisme di tanah Arab, dan (7) kekayaan yang semakin menyusut dengan mengandalkan pertanian adalah sederet alasan Mustafa harus membubarkan kesultanan Ustmani. Dan tentunya masih ada banyak fakta yang menyebabkan Mustafa harus membubarkan kekhalifahan.
Ancaman bagi rakyat Utsmani dan umat islam jelas, akan merugikan—jika saja langkah pembubaran kekhalifahn tidak dilakukan oleh Mustafa. Jika kekhalifahan tetap ada maka tanah Ustmani yang terjajah akan semakin menyempit (tidak seluas wilayah Republik Turki Modern saat ini), institusi kekhalifahan akan ketinggalan zaman, kemajuan Turki akan terhambat dan segala bentuk korupsi dan kebobrokan akan tetap menjadi penyakit bagi negara Ustmani yang karam itu.
Langkah Progresif Mustafa
Langkah Mustafa Kemal terbukti benar dengan membubarkan kekhalifahan Ustmani dan menggantinya dengan bentuk negara yang baru mengikuti model yang berkembang, Republik Turki.
Di tahun 1940 Pada saat Perang Dunia II semakin berkobar di beberapa front, para pemimpin Turki didekati oleh beberapa diplomat dari Jerman, Inggris, dan Amerika. Semua mengajak Turki untuk bergabung di masing-masing bloknya, antara Axis atau Sekutu. Atas wasiat Mustafa Kemal sebelum wafat, yang mencegah Turki agar tidak terlibat konflik dengan kepentingan segelintir penguasa Eropa maka Turki berhasil memposisikan diri sama sekali tidak terlibat dalam perang.
Bisa jadi, seandainya kekhalifahan masih ada pasti akan berpihak pada salah satu blok yang berpotensi menjadi perpecahan bagi wilayahnya. Hal itu juga akan melahirkan banyak kekhalifahan di negeri-negeri Muslim. Raja Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab pasti mengklaim sebagai khalifah, syah Iran juga mengklaim sebagai khalifah, dan mungkin pula Mesir juga akan mengklaim sebagai khalifah.
Inilah pelajaran penting dari Mustafa Kemal yang sering dikaburkan oleh beberapa pengamat yang subjektif terhadap realita sejarah peradaban manusia. (*)
]]>Wacana Bentuk Negara Dalam Masyarakat Muslim (Perspektif Michale Faulcolt)
Oleh : Siti Fatkhiyatul Jannah
(Pengamat Politik Dan Praktisi Kepemimpinan Muslim)
Kitasama.or.id - Ibnu Khaldun Melalui karyanya, Muqodimah berpandangan bahwa landasan awal pembentukan negara (dawlah) adalah ashabiyah (tribalisme), yaitu hubungan pertalian se-darah dalam suku atau sub-suku, atau yang semakna dengannya, misalnya sahabat yang mendapatkan perlindungan atau orang-orang yang terikat perjanjian. Tujuan dari tribalisme adalah superioritas kekuasaan (al-taghallub mulki). Karena wataknya yang seperti itu maka invansi terhadap tribalisme yang lain sering dilakukan untuk memperebutkan tanah dan superioritas kekuasaan tadi, demikian seterusnya hingga terbentuklah sebuah Negara (Dawlah).[1]
Namun demikian ibnu Khaldun belum memberikan tahapan-tahapan yang jelas mengenai proses pembentukan negara secara kronologis. Ia hanya memberikan penegasan pada kebutuhan dan unsur-unsur yang akan membentuk suatu negara.
Elman R. Service meletakkan pembentukan negara pada proses institusionalisasi kepemimpinan pusat. Kepemimpinan merujuk pada kemampuan relatif seseorang atau suatu kelompok untuk memerintahkan kepatuhan dan menundukkan perlawanan. Agar sebuah institusionalisasi berjalan maka organisasi politik harus berkembang sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan tidak hanya hidup didasarkan pada hubungan otoritas hierarkis tapi juga oleh otoritas hukum yang mengendalikan monopoli kekuatan fisik.
Institusionalisasi tersebut terbentuk dari sebuah masyarakat yang egaliter (band atau tribe) yang tidak mengenal hierarki, kecuali pucuk pimpinan misalnya kepala suku menuju ke bentuk chiefdom yang telah mengenalkan hierarki kepemimpinan yang fungsional bagi pembagian kerja, harta, dan jasa. Bentuk negara tercapai ketika hierarki pembagian kepemimpinan fungsional semakin komplek, diferensiasi semakin banyak, teritorial semakin luas, dan kekuatan fisik dikuasai oleh kepemimpinan. Fred Halliday menyebut proses ini sebagai pembentukan negara awal.
Secara kronologis Service menegaskan bahwa proses institusionalisasi tersebut berjalan melalui empat tahap[2];
Mengkaji Negara tidak bisa dilepaskan dengan masalah pemerintahan. Pemerintah menurut Shively adalah sekelompok rakyat yang didalamnya Negara mempunyai otoritas tertinggi menjalankan aktifitas atas nama Negara[3]. Negara mempresentasikan konsep abstrak sedangkan pemerintah mempresentasikan bentuk kongkret. Otoritas Negara dijalankan oleh pemerintah, fungsi Negara ditegakkan oleh pemerintah, hukum Negara yang dibuat, dideklarasikan dan dilaksanakan pemerintah.[4]
Relasi islam dan Negara menurut Ahmed Vaezi mengemukakan dua aliran terkait relasi Negara atau politik dengan islam, pertama, pendukung relasi islam dan Negara. Sebuah sistem hukum membutuhkan pemerintahan yang akan mengadopsidan seperangkat-seperangkat aparat yang akan mengimplementasikan serta menegakkan sanksi-sanksi. Hukum islam sebagai sistem hukum tentu membutuhkan Negara untuk menegakkannya sehingga dibutuhkan pemerintahan islam[5].
Kedua, aliran yang menolak pemerintahan islam. Ada dua argumentasi yang melandasi penolakannya yaitu pertama, nabi memang membentuk tertib politik di madinah tetapi itu bukan merupakan hubungan instrinsic antara islam dan politik, melainkan karena peristiwa historis semata karena situasi social politik pada saat itu menghendaki terbentuknya tertib politik. Kedua Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan sistem social politik tertentu karena nabi hanyalah seorang Rasul.[6]
Negara Islam kerap kali didefinisikan sebagai sistem hukum yang mengarahkan kualitas hidup dalam masyarakat politik dan organisasi politik menuju pengejawantahan nilai-nilai islam[7]. Vaezi mendefinisikan pemerintahan islam sebagai pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas absolute dalam islam. Pemerintahan islam berupaya membentuk tertib sosial yang islami, pelaksanaan syariat, sembari terus menerus mengarahkan keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai islam.[8]
Awal kemajuan umat Islam ditandai pada tahun 1921 atas gagasan Musthafa Kemal Pasha Kekhalifahan Turki Ustmani yang menjadi kiblat kepemimpinan umat Islam resmi telah runtuh, beberapa wilayah provinsinya terpecah-pecah menjadi beberapa bagian negara kecil yang berbentuk nasionalisme.[9] Pada tahun 1923 Kemal Pasha telah membentuk wilayah disekitar ibukota Ustmani Istanbul, menjadi negara Turki modern.[10] Sedangkan wilayah-wilayah yang lain terpecah-pecah menjadi negara-negara yang didasarkan pada suku bangsanya.
Menjelang keruntuhannya, pada tahun akhir abad 19 M kekhalifahan Turki Ustmani telah menghadapi berbagai tekanan dari dalam maupun luar negeri. Disatu sisi ikut terlibat bersama Jerman di Blok Sentral melawan Blok Sekutu dalam peang Dunia[11], dan di sisi lain menghadapi pemberontakan dari beberapa provinsinya. Salah satunya, wilayah Hijaz dan Nejed berhasil mengalami pergolakan dengan dasyat[12]. Saat itulah terjadi beberapa kali pertempuran antara tentara Ustmani namun pada akhirnya wilayah tersebut berhasil dikuasai oleh klan Saud yang merupakan pemimpin gerakan politik Wahabisme.[13]
Dengan kemenangan tersebut Klan Saud berusaha menghapus tradisi keagamaan yang sudah lama berjalan di tanah Hijaz dengan ajaran baru versi Salafi-wahabi. Beberapa kegiatan keagamaan yang dipandang “tidak murni” Islam dibumi hanguskan. Para ulama hingga mencapai ratusan yang memiliki keyakinan berbeda dengan mereka dibantai[14], penduduk Muslim yang tidak bersalah dibunuh dengan sadis dan beberapa situs bersejarah dan perpustakaan dibakar dan dirusak[15]. Nampaknya suksesi kepemimpinan yang dilakukan Klan Saud lebih banyak melahirkan kehancuran dan kerusakan.
Dibeberapa wilayah lain, Mesir, Syiria, Iran, Iraq, anak benua India dan di asia tenggara mengalami invansi oleh negara-negara barat. Terutama Inggris dan Perancis[16]. Wilayah-wilayah tersebut menjadi medan pertempuran bagi kedua negara dalam memperebutkan sumber daya alam sekaligus wilayah jajahan. Praktis dalam kondisi yang terjajah wilayah-wilayah muslim mengalami kemunduran dan ketertinggalan dari bangsa-bangsa eropa. Persatuan hilang, keefektifan kepemimpinan tidak ada, dan muncul berbagai pergolakan yang mengakibatkan wilayah-wilayah itu semakin terpuruk.[17]
Pada kondisi yang karut marut tersebut di beberapa wilayah Muslim telah melahirkan berbagai pemikir yang berlatar modern, dalam arti mempunyai wawasan Eropa karena Eropa dianggap modern. Mulai dari Muhammad Abduh (w.1905) dan lain-lain. Mereka menawarkan gagasan baru dalam membentuk negara Islam baru. Gagasan-gagasan mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai gerakan fundamentalisme oleh kalangan barat.[18]
Di awal abad 20 M wilayah-wilayah muslim telah bangkit dengan lahirnya nasionalisme, beberapa tokoh menawarkan gagasan ideal untuk menentukan bentuk negara. Karena waktu itu bangsa barat dianggap sebagai modern, maka pemikiran-pemikiran baratlah yang dianggap ideal untuk menentukan bentuk ideal dunia Islam. Lahirlah pemikiran Nasionalisme, sebuah pemikiran politik yang didasarkan pada kesamaan suku-bangsa.
Nasionalisme membentuk sebuah negara berdasarkan suku-bangsa yang menduduki suatu wilayah, dan disatukan oleh pemikiran sedarah dan se-tanah air. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan wilayah-wilayah muslim jajahan negara barat melakukan gerakan merdeka dan mendirikan negara bangsa. Munculah India, Iraq, Iran, syiria, Mesir, Maroko, Libya, sudan, Saudi Arabia, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain sebagai bentuk negara-bangsa yang didasarkan atas nasionalisme suku-bangsa.
Sayyid Ahmad Khan dari Aligard, seorang intelektual India berpendidikan Inggris berhasil menelurkan ide-ide nasionalisme india. Ia menawarkan gagasan negara Ideal adalah negara Inggris, sehingga ia membentuk India sebuah imitasi dari kerajaan Inggris. Di Aligard ia mendirikan sebuah Universitas yang berkiblat pada Cambrige of University.[19]
Beberapa dekade kemudian muncul tokoh-tokoh yang se-ide dan mempunyai kesamaan gagasan dengan para fundamentalis, gerakannya dikenal sebagai gerakan neofundamentalis atau fundamentalisme kontemporer. Diantaranya Hasan Al-Banna, Sayydi Qutbh, dan Abu ‘Ala al-Maududi. Mereka berpikir bahwa umat Islam harus memiliki negara sendiri yang jauh dari pengaruh pemikiran barat, misalnya Nasionalisme-sekulerisme. Gagasan itu kemudian oleh Maududi diwujudkan dalam bentuk negara Pakistan yang memisahkan diri dari India. Maududi menamakannya demokrasi berdasar ketuhanan.
Namun dalam perjalanannya gagasan negara nasional versi Islam dianggap tidak mampu menjawab kemunduran umat Islam kontemporer. Ide Nasionalisme dianggap sebagai ide barat yang menyesatkan dan perlu ada prototype baru untuk mencari gagasan negara Islam ideal bagi umat Islam. Lahirlah Nasyiruddin an-Nabhani dengan organisasinya, Hizbut Tahrir yang menawarkan gagasan khilafah Islamiyah. Gagasan itu bermaksud mengembalikan bentuk pemerintahan Islam seperti yang pernah dijalankan oleh sejarah peradaban Islam, khusus sistem pemerintahan kekhalifahan.
Mereka beranggapan bahwa terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa negara-Bangsa merupakan faktor utama kekalahan dunia Islam vis a vis barat-Kristen. Dengan khilafah maka martabat dan persatuan umat Islam akan kembali pulih dan mampu bersaing dengan bangsa barat. Khilafah adalah jawaban yang tepat untuk mengembalikan kebesaran Islam seperti yang telah dibangun oleh Bani Abbasiyah dan Bangsa Utsmani.
Hizbut Tahrir mendefinisikan Negara Islam sebagai eksistensi politik praktis yang menerapkan Islam serta menyebaraknnya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad[20]. Alasan perlunya Negara Islam, menurut al-Maududi berpijak pada tesis bahwa manusia harus berbakti kepada Allah dalm semua bidang kehidupan. Perintah-perintah Allah dalam Al-Quran yang terdiri dari prinsip-prinsip etika, sosial, politik, ekonomi, Pidana dan sebagainya tidak akan dapat di eksekusi secara menyeluruh kecuali di wilayah Negara Islam.[21]
Bertentangan dengan pendapat HTI, Ali Abdur Raziq mengatakan bahwa sistem khilafah bukan merupakan sebuah hal yang diharuskan untuk ditegakkan. Dalam artia khilafah merupakan bentuk negara yang sama dengan bentuk negara/sistem pemerintahan yang lain. Syari’at Islam tidak memberikan penekanan terhadap kewajiban—sebgaimana HTI untuk diwujudkan sebagai bagian dari syari’at Islam, atau sejajar dengan kewajiban rukun Islam.
“Hampir tidak dapat ditemukan adanya orang yang berpendapat tentang tidak wajibnya khilafah ini, baik secara logika maupun secara syar’i, walaupun ada yang tidak menentukan sikap seperti kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan lain sebagainya. Wajib disini berarti melaksanakan hukum syara’. Dan apabila umat secara menyeluruh telah mampu merealisasikan keadilan dan melaksanakan syari’at Islam, maka tidak perlu lagi ada seorang imam dan fungsi khilafah”.[22]
Oleh karena itu, Ali Abdur Raziq lebih nekankan pada aspek rasionalitas dan efektivitas penerapan sistem pemerintahan. Artinya bahwa setiap muslim diberi hak untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri tanpa harus berkewajiban untuk menegakkan syari’at Islam.
Orang Muslim boleh menerapkan sisitem khilafah dan boleh pula mengambil bentuk negara yang lain, dengan catatan umat Islam mampu menjalankan syari’at Islam secara benar dan konsisten tanpa harus mendapatkan perlawanan dari pemerintah. Sepanjang umat Islam bisa menjalankan agama, maka bentuk pemerintahan bukan menjadi persoalan yang integral dan urgen untuk dijalankan.
Bahkan menurut Abdullahi Ahmed an-naim, Hubungan antara Islam, negara, dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya (agama) dari institusi negara.[23] Oleh karena itulah, usaha untuk menjadikan khilafah sebagai solusi bagi umat Islam secara logis dan rasional sah-sah saja, akan tetapi itu bukan merupakan sebuah bentuk idela yang harus diusahakan dan dipaksakan. Dalam hal ini Khilafah murni sebuah sistem pemerintahan yang terpisah dari agama dan kewajiban syariat Islam.
Kekuasaan menurut foucault tidak hanya sekedar terbatas pada sudut pandang Negara dan hukum saja. Manuver-manuver kekuasaan kadang menurutnya justru secara efektif mampu mengekstensifkan dan mengintensifkan penetrasinya pada masyarakat sampai unsure-unsurnya yang paling privat dan sensitive, justru apabila kekuasaan diapropisasi individu bukan sebagai penderitaan tapi sebagai sebuah kenikmatan atau sebagai sesuatu yang sifatnya enjoyed. Bukan sebagai ancaman yang menakutkan, tetapi sebaliknya menurut Foucault sebagai sesuatu yang familiar yang bahkan diharapkan dan dinanti-nantikan kedatangannya.[24]
Foucault berpendapat bahwa individu adalah produk kekuasaan. Foucault mengumumkan bahwa pertumbuhan diri atau individu tidak dapat dikatakan hasil pertumbuhan natural atau pertumbuhan organism murni secara biologis, tapi hasil dari persilangan terus menerus dari berbagai konvensi, kode-kode dan diskursus-diskursus sebuah standar wacana tertentu. Baginya subyek maka dari itu tidak lebih dari sebuah a figment of discourse yakni sebuah omong kosong diskursus yang muncul sementara dari sebuah sistem representasi tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak dimaknai dalam istilah “kepemilikan” dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikan dalam suatu ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.[25]
Kekuasaan menurut Foucault selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relsi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tersebut kemudian menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan pula konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. disini setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.[26]
Menurut Foaucalt setiap ada diskursus resmi, maka ada diskursus alternative. Diskursus muncul dari dua bentuk. Pertama, within the dominan discourse yakni mengkonter diskursus dominan tetapi masih dalam diskursif field atau wilayah yang sama. Kedua outside the dominan discourse yakni membuat diskursif alternatif, di luar ideology dominan[27]. Berdasarkan hal tersebut maka pada kontestasi di Indonesia Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi terbesar menempati wilayah diskursus dominan yang penerapan model Negara berpacu pada keadaan Indonesia pada saat ini. Sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai kelompok yang menempatkan pada posisi diskursus alternative dengan mengusung konsep Negara islam dengan pemerintahan di pimpin oleh khalifah di Indonesia sebagi Negara yang mayoritas beragama Islam.
[1] Abdul Azis. 2011. Chiefdom Madinah. Salah Satu Paham Negara Islam. Jakarta; pustaka Alfabeta. hal.25
[2] Didasarkan pada hasil penelitiannya di Afrika dan Amerika selatan, lihat Abdul Azis, Chiefdom Madinah, hal 56
[3] W. Philips shively. Power and choice.(new York; McGraw-hill,1993) hlm 29
[4] Mahajan, political theory. Hlm. 134, 136-139
[5] Ahmed, Vaezi. 2006. Agama politik, Nalar politik Islam, terj. Ali syahab Jakarta;citra. Hlm. 8
[6] Ibid. hlm 23
[7] Louay M. safi. “The Islamic state; A conceptual Framework” dalam The American Journal of Islamic Sosial Science,Vol 8 no 2 hlm 223
[8] Op. Cit halaman 10-11
[9] Tamim, Ansary. 2010. Dari puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman hal. 397.
[10]Sebelumnya belum pernah di kenal Istilah Turki sebagai negara. Turki pada awal perkembangannya yang berakulturasi dengan budaya Islam hanyalah dikenal sebagai suku-suku yang sedarah dengan bangsa Mongol. Sedangkan bangsa Ustmani yang sekarang menjadi negara-bangsa Turki merupakan penggabungan berbagai etnis yang dulu menjadi warga negara kekhalifahan Ustmani, mereka terdiri atas keturunan Turki, Yunani, Arab, Armenia, Persia, Albania dan lain-lain. Ibid, hal 478.
[11] Di dunia Islam, perang dunia I dipandang sebagai konflik kecil eropa yang tidak memiliki dampak apapun bagi wilayah-wilayah Islam. Kebanyakan negeri-negeri Islam memandang sebagai konflik kecil bangsa Eropa yang sudah lama bermusuhan. Namun dengan keterlibatan Utsmani di perang tersebut membuat beberapa wilayahnya menjadi sasaran bagi pihak sekutu sebagai wilayah jajahan, terutama Inggris dan Perancis.
[12] Dalam kasus inilah seorang orientalis Inggris, Lawrence si orang Arab sangat berperan mengobarkan fitnah dan propaganda terhadap penduduk Hijaz agar mendukung Inggris, sekaligus membantu pemerintahan kerajaan Inggris untuk melakukan penetrasi ke wilayah tersebut.
[13] Syaikh Idaram, Sejarah Brdarah Sekte Salafi-Wahabi, Jogjakarta:Lkis hal. 120. Gerakan wahabisme muncul sebelum terjadinya perang dunia I dan pada saat Ustmani mani dalam posisi kuat. Mereka terus melakukan pemberontakan dan seringkali menimbulkan kerusuhan dan teror bagi umat Islam
[14] Ibid, 96
[15] Ibid, 93
[16] Perancis dan Inggris memang selalu berseteru dalam memperebutkan wilayah jajahan, terutama negara-negara yang berada dibawah kekuasaan kakhalifahan Utsmani
[17] Eropa melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah muslim sudah sejak abad 17 M, kendati secara de jure mereka belum sepenuhnya bisa mengontrol. Namun secara de facto mereka telah menguasai semua kendali sumberdaya dan kelemahan kepemimpinan beberapa sultan-sultan kecil.
[18] Rubaidi. 2010. Radikalisme Islam, NU dan masa depan moderatisme Islam di Indonesia. Jogja, hal.48
[19] Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad.
[20] Ainur Rofiq. 2012. Membongkar Proyek Khilafah Ala HTI. Yogyakarta; Lkis
[21] Abul A’la al-maududi. Sistem politik islam. Menurut HT pemerintahan Islam memiliki 4 pilar yaitu, pertama kedaulatan di tangan syara’, bukan di tangan ummat; kedua, kekuasaan di tangan umat; ketiga, diangkatnya satu orang khalifah; keempat hanya khalifah yang berhak mentabbani hukum syara’. Tesis.
[22] Ali Abdur Raziq, 1985. Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam. Pustaka Bandung.
[23] Lihat Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Sekulerisme. Bandung Mizan, hal. 84.
[24] Suyono,seno joko. 2002. Tubuh yang rasis. Yogyakarta:pustaka pelajar Offset .halaman 56
[25] Eriyanto, 2001. Analisis wacana pengantar teks media. Lkis. Yogyakarta. Halaman 65
[26] Ibid, hal 66-67
[27] M. Jacky. 2003. Konsep dan teori diskursus. Jurnal paradigma Vol.I no 2 Juli 2003 halaman 19
Sumber : kitasama.or.id]]>
Wacana Bentuk Negara Dalam Masyarakat Muslim (Perspektif Michale Faulcolt)
Oleh : Siti Fatkhiyatul Jannah
(Pengamat Politik Dan Praktisi Kepemimpinan Muslim)
Kitasama.or.id - Ibnu Khaldun Melalui karyanya, Muqodimah berpandangan bahwa landasan awal pembentukan negara (dawlah) adalah ashabiyah (tribalisme), yaitu hubungan pertalian se-darah dalam suku atau sub-suku, atau yang semakna dengannya, misalnya sahabat yang mendapatkan perlindungan atau orang-orang yang terikat perjanjian. Tujuan dari tribalisme adalah superioritas kekuasaan (al-taghallub mulki). Karena wataknya yang seperti itu maka invansi terhadap tribalisme yang lain sering dilakukan untuk memperebutkan tanah dan superioritas kekuasaan tadi, demikian seterusnya hingga terbentuklah sebuah Negara (Dawlah).[1]
Namun demikian ibnu Khaldun belum memberikan tahapan-tahapan yang jelas mengenai proses pembentukan negara secara kronologis. Ia hanya memberikan penegasan pada kebutuhan dan unsur-unsur yang akan membentuk suatu negara.
Elman R. Service meletakkan pembentukan negara pada proses institusionalisasi kepemimpinan pusat. Kepemimpinan merujuk pada kemampuan relatif seseorang atau suatu kelompok untuk memerintahkan kepatuhan dan menundukkan perlawanan. Agar sebuah institusionalisasi berjalan maka organisasi politik harus berkembang sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan tidak hanya hidup didasarkan pada hubungan otoritas hierarkis tapi juga oleh otoritas hukum yang mengendalikan monopoli kekuatan fisik.
Institusionalisasi tersebut terbentuk dari sebuah masyarakat yang egaliter (band atau tribe) yang tidak mengenal hierarki, kecuali pucuk pimpinan misalnya kepala suku menuju ke bentuk chiefdom yang telah mengenalkan hierarki kepemimpinan yang fungsional bagi pembagian kerja, harta, dan jasa. Bentuk negara tercapai ketika hierarki pembagian kepemimpinan fungsional semakin komplek, diferensiasi semakin banyak, teritorial semakin luas, dan kekuatan fisik dikuasai oleh kepemimpinan. Fred Halliday menyebut proses ini sebagai pembentukan negara awal.
Secara kronologis Service menegaskan bahwa proses institusionalisasi tersebut berjalan melalui empat tahap[2];
Mengkaji Negara tidak bisa dilepaskan dengan masalah pemerintahan. Pemerintah menurut Shively adalah sekelompok rakyat yang didalamnya Negara mempunyai otoritas tertinggi menjalankan aktifitas atas nama Negara[3]. Negara mempresentasikan konsep abstrak sedangkan pemerintah mempresentasikan bentuk kongkret. Otoritas Negara dijalankan oleh pemerintah, fungsi Negara ditegakkan oleh pemerintah, hukum Negara yang dibuat, dideklarasikan dan dilaksanakan pemerintah.[4]
Relasi islam dan Negara menurut Ahmed Vaezi mengemukakan dua aliran terkait relasi Negara atau politik dengan islam, pertama, pendukung relasi islam dan Negara. Sebuah sistem hukum membutuhkan pemerintahan yang akan mengadopsidan seperangkat-seperangkat aparat yang akan mengimplementasikan serta menegakkan sanksi-sanksi. Hukum islam sebagai sistem hukum tentu membutuhkan Negara untuk menegakkannya sehingga dibutuhkan pemerintahan islam[5].
Kedua, aliran yang menolak pemerintahan islam. Ada dua argumentasi yang melandasi penolakannya yaitu pertama, nabi memang membentuk tertib politik di madinah tetapi itu bukan merupakan hubungan instrinsic antara islam dan politik, melainkan karena peristiwa historis semata karena situasi social politik pada saat itu menghendaki terbentuknya tertib politik. Kedua Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan sistem social politik tertentu karena nabi hanyalah seorang Rasul.[6]
Negara Islam kerap kali didefinisikan sebagai sistem hukum yang mengarahkan kualitas hidup dalam masyarakat politik dan organisasi politik menuju pengejawantahan nilai-nilai islam[7]. Vaezi mendefinisikan pemerintahan islam sebagai pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas absolute dalam islam. Pemerintahan islam berupaya membentuk tertib sosial yang islami, pelaksanaan syariat, sembari terus menerus mengarahkan keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai islam.[8]
Awal kemajuan umat Islam ditandai pada tahun 1921 atas gagasan Musthafa Kemal Pasha Kekhalifahan Turki Ustmani yang menjadi kiblat kepemimpinan umat Islam resmi telah runtuh, beberapa wilayah provinsinya terpecah-pecah menjadi beberapa bagian negara kecil yang berbentuk nasionalisme.[9] Pada tahun 1923 Kemal Pasha telah membentuk wilayah disekitar ibukota Ustmani Istanbul, menjadi negara Turki modern.[10] Sedangkan wilayah-wilayah yang lain terpecah-pecah menjadi negara-negara yang didasarkan pada suku bangsanya.
Menjelang keruntuhannya, pada tahun akhir abad 19 M kekhalifahan Turki Ustmani telah menghadapi berbagai tekanan dari dalam maupun luar negeri. Disatu sisi ikut terlibat bersama Jerman di Blok Sentral melawan Blok Sekutu dalam peang Dunia[11], dan di sisi lain menghadapi pemberontakan dari beberapa provinsinya. Salah satunya, wilayah Hijaz dan Nejed berhasil mengalami pergolakan dengan dasyat[12]. Saat itulah terjadi beberapa kali pertempuran antara tentara Ustmani namun pada akhirnya wilayah tersebut berhasil dikuasai oleh klan Saud yang merupakan pemimpin gerakan politik Wahabisme.[13]
Dengan kemenangan tersebut Klan Saud berusaha menghapus tradisi keagamaan yang sudah lama berjalan di tanah Hijaz dengan ajaran baru versi Salafi-wahabi. Beberapa kegiatan keagamaan yang dipandang “tidak murni” Islam dibumi hanguskan. Para ulama hingga mencapai ratusan yang memiliki keyakinan berbeda dengan mereka dibantai[14], penduduk Muslim yang tidak bersalah dibunuh dengan sadis dan beberapa situs bersejarah dan perpustakaan dibakar dan dirusak[15]. Nampaknya suksesi kepemimpinan yang dilakukan Klan Saud lebih banyak melahirkan kehancuran dan kerusakan.
Dibeberapa wilayah lain, Mesir, Syiria, Iran, Iraq, anak benua India dan di asia tenggara mengalami invansi oleh negara-negara barat. Terutama Inggris dan Perancis[16]. Wilayah-wilayah tersebut menjadi medan pertempuran bagi kedua negara dalam memperebutkan sumber daya alam sekaligus wilayah jajahan. Praktis dalam kondisi yang terjajah wilayah-wilayah muslim mengalami kemunduran dan ketertinggalan dari bangsa-bangsa eropa. Persatuan hilang, keefektifan kepemimpinan tidak ada, dan muncul berbagai pergolakan yang mengakibatkan wilayah-wilayah itu semakin terpuruk.[17]
Pada kondisi yang karut marut tersebut di beberapa wilayah Muslim telah melahirkan berbagai pemikir yang berlatar modern, dalam arti mempunyai wawasan Eropa karena Eropa dianggap modern. Mulai dari Muhammad Abduh (w.1905) dan lain-lain. Mereka menawarkan gagasan baru dalam membentuk negara Islam baru. Gagasan-gagasan mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai gerakan fundamentalisme oleh kalangan barat.[18]
Di awal abad 20 M wilayah-wilayah muslim telah bangkit dengan lahirnya nasionalisme, beberapa tokoh menawarkan gagasan ideal untuk menentukan bentuk negara. Karena waktu itu bangsa barat dianggap sebagai modern, maka pemikiran-pemikiran baratlah yang dianggap ideal untuk menentukan bentuk ideal dunia Islam. Lahirlah pemikiran Nasionalisme, sebuah pemikiran politik yang didasarkan pada kesamaan suku-bangsa.
Nasionalisme membentuk sebuah negara berdasarkan suku-bangsa yang menduduki suatu wilayah, dan disatukan oleh pemikiran sedarah dan se-tanah air. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan wilayah-wilayah muslim jajahan negara barat melakukan gerakan merdeka dan mendirikan negara bangsa. Munculah India, Iraq, Iran, syiria, Mesir, Maroko, Libya, sudan, Saudi Arabia, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain sebagai bentuk negara-bangsa yang didasarkan atas nasionalisme suku-bangsa.
Sayyid Ahmad Khan dari Aligard, seorang intelektual India berpendidikan Inggris berhasil menelurkan ide-ide nasionalisme india. Ia menawarkan gagasan negara Ideal adalah negara Inggris, sehingga ia membentuk India sebuah imitasi dari kerajaan Inggris. Di Aligard ia mendirikan sebuah Universitas yang berkiblat pada Cambrige of University.[19]
Beberapa dekade kemudian muncul tokoh-tokoh yang se-ide dan mempunyai kesamaan gagasan dengan para fundamentalis, gerakannya dikenal sebagai gerakan neofundamentalis atau fundamentalisme kontemporer. Diantaranya Hasan Al-Banna, Sayydi Qutbh, dan Abu ‘Ala al-Maududi. Mereka berpikir bahwa umat Islam harus memiliki negara sendiri yang jauh dari pengaruh pemikiran barat, misalnya Nasionalisme-sekulerisme. Gagasan itu kemudian oleh Maududi diwujudkan dalam bentuk negara Pakistan yang memisahkan diri dari India. Maududi menamakannya demokrasi berdasar ketuhanan.
Namun dalam perjalanannya gagasan negara nasional versi Islam dianggap tidak mampu menjawab kemunduran umat Islam kontemporer. Ide Nasionalisme dianggap sebagai ide barat yang menyesatkan dan perlu ada prototype baru untuk mencari gagasan negara Islam ideal bagi umat Islam. Lahirlah Nasyiruddin an-Nabhani dengan organisasinya, Hizbut Tahrir yang menawarkan gagasan khilafah Islamiyah. Gagasan itu bermaksud mengembalikan bentuk pemerintahan Islam seperti yang pernah dijalankan oleh sejarah peradaban Islam, khusus sistem pemerintahan kekhalifahan.
Mereka beranggapan bahwa terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa negara-Bangsa merupakan faktor utama kekalahan dunia Islam vis a vis barat-Kristen. Dengan khilafah maka martabat dan persatuan umat Islam akan kembali pulih dan mampu bersaing dengan bangsa barat. Khilafah adalah jawaban yang tepat untuk mengembalikan kebesaran Islam seperti yang telah dibangun oleh Bani Abbasiyah dan Bangsa Utsmani.
Hizbut Tahrir mendefinisikan Negara Islam sebagai eksistensi politik praktis yang menerapkan Islam serta menyebaraknnya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad[20]. Alasan perlunya Negara Islam, menurut al-Maududi berpijak pada tesis bahwa manusia harus berbakti kepada Allah dalm semua bidang kehidupan. Perintah-perintah Allah dalam Al-Quran yang terdiri dari prinsip-prinsip etika, sosial, politik, ekonomi, Pidana dan sebagainya tidak akan dapat di eksekusi secara menyeluruh kecuali di wilayah Negara Islam.[21]
Bertentangan dengan pendapat HTI, Ali Abdur Raziq mengatakan bahwa sistem khilafah bukan merupakan sebuah hal yang diharuskan untuk ditegakkan. Dalam artia khilafah merupakan bentuk negara yang sama dengan bentuk negara/sistem pemerintahan yang lain. Syari’at Islam tidak memberikan penekanan terhadap kewajiban—sebgaimana HTI untuk diwujudkan sebagai bagian dari syari’at Islam, atau sejajar dengan kewajiban rukun Islam.
“Hampir tidak dapat ditemukan adanya orang yang berpendapat tentang tidak wajibnya khilafah ini, baik secara logika maupun secara syar’i, walaupun ada yang tidak menentukan sikap seperti kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan lain sebagainya. Wajib disini berarti melaksanakan hukum syara’. Dan apabila umat secara menyeluruh telah mampu merealisasikan keadilan dan melaksanakan syari’at Islam, maka tidak perlu lagi ada seorang imam dan fungsi khilafah”.[22]
Oleh karena itu, Ali Abdur Raziq lebih nekankan pada aspek rasionalitas dan efektivitas penerapan sistem pemerintahan. Artinya bahwa setiap muslim diberi hak untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri tanpa harus berkewajiban untuk menegakkan syari’at Islam.
Orang Muslim boleh menerapkan sisitem khilafah dan boleh pula mengambil bentuk negara yang lain, dengan catatan umat Islam mampu menjalankan syari’at Islam secara benar dan konsisten tanpa harus mendapatkan perlawanan dari pemerintah. Sepanjang umat Islam bisa menjalankan agama, maka bentuk pemerintahan bukan menjadi persoalan yang integral dan urgen untuk dijalankan.
Bahkan menurut Abdullahi Ahmed an-naim, Hubungan antara Islam, negara, dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya (agama) dari institusi negara.[23] Oleh karena itulah, usaha untuk menjadikan khilafah sebagai solusi bagi umat Islam secara logis dan rasional sah-sah saja, akan tetapi itu bukan merupakan sebuah bentuk idela yang harus diusahakan dan dipaksakan. Dalam hal ini Khilafah murni sebuah sistem pemerintahan yang terpisah dari agama dan kewajiban syariat Islam.
Kekuasaan menurut foucault tidak hanya sekedar terbatas pada sudut pandang Negara dan hukum saja. Manuver-manuver kekuasaan kadang menurutnya justru secara efektif mampu mengekstensifkan dan mengintensifkan penetrasinya pada masyarakat sampai unsure-unsurnya yang paling privat dan sensitive, justru apabila kekuasaan diapropisasi individu bukan sebagai penderitaan tapi sebagai sebuah kenikmatan atau sebagai sesuatu yang sifatnya enjoyed. Bukan sebagai ancaman yang menakutkan, tetapi sebaliknya menurut Foucault sebagai sesuatu yang familiar yang bahkan diharapkan dan dinanti-nantikan kedatangannya.[24]
Foucault berpendapat bahwa individu adalah produk kekuasaan. Foucault mengumumkan bahwa pertumbuhan diri atau individu tidak dapat dikatakan hasil pertumbuhan natural atau pertumbuhan organism murni secara biologis, tapi hasil dari persilangan terus menerus dari berbagai konvensi, kode-kode dan diskursus-diskursus sebuah standar wacana tertentu. Baginya subyek maka dari itu tidak lebih dari sebuah a figment of discourse yakni sebuah omong kosong diskursus yang muncul sementara dari sebuah sistem representasi tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak dimaknai dalam istilah “kepemilikan” dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikan dalam suatu ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.[25]
Kekuasaan menurut Foucault selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relsi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tersebut kemudian menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan pula konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. disini setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.[26]
Menurut Foaucalt setiap ada diskursus resmi, maka ada diskursus alternative. Diskursus muncul dari dua bentuk. Pertama, within the dominan discourse yakni mengkonter diskursus dominan tetapi masih dalam diskursif field atau wilayah yang sama. Kedua outside the dominan discourse yakni membuat diskursif alternatif, di luar ideology dominan[27]. Berdasarkan hal tersebut maka pada kontestasi di Indonesia Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi terbesar menempati wilayah diskursus dominan yang penerapan model Negara berpacu pada keadaan Indonesia pada saat ini. Sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai kelompok yang menempatkan pada posisi diskursus alternative dengan mengusung konsep Negara islam dengan pemerintahan di pimpin oleh khalifah di Indonesia sebagi Negara yang mayoritas beragama Islam.
[1] Abdul Azis. 2011. Chiefdom Madinah. Salah Satu Paham Negara Islam. Jakarta; pustaka Alfabeta. hal.25
[2] Didasarkan pada hasil penelitiannya di Afrika dan Amerika selatan, lihat Abdul Azis, Chiefdom Madinah, hal 56
[3] W. Philips shively. Power and choice.(new York; McGraw-hill,1993) hlm 29
[4] Mahajan, political theory. Hlm. 134, 136-139
[5] Ahmed, Vaezi. 2006. Agama politik, Nalar politik Islam, terj. Ali syahab Jakarta;citra. Hlm. 8
[6] Ibid. hlm 23
[7] Louay M. safi. “The Islamic state; A conceptual Framework” dalam The American Journal of Islamic Sosial Science,Vol 8 no 2 hlm 223
[8] Op. Cit halaman 10-11
[9] Tamim, Ansary. 2010. Dari puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman hal. 397.
[10]Sebelumnya belum pernah di kenal Istilah Turki sebagai negara. Turki pada awal perkembangannya yang berakulturasi dengan budaya Islam hanyalah dikenal sebagai suku-suku yang sedarah dengan bangsa Mongol. Sedangkan bangsa Ustmani yang sekarang menjadi negara-bangsa Turki merupakan penggabungan berbagai etnis yang dulu menjadi warga negara kekhalifahan Ustmani, mereka terdiri atas keturunan Turki, Yunani, Arab, Armenia, Persia, Albania dan lain-lain. Ibid, hal 478.
[11] Di dunia Islam, perang dunia I dipandang sebagai konflik kecil eropa yang tidak memiliki dampak apapun bagi wilayah-wilayah Islam. Kebanyakan negeri-negeri Islam memandang sebagai konflik kecil bangsa Eropa yang sudah lama bermusuhan. Namun dengan keterlibatan Utsmani di perang tersebut membuat beberapa wilayahnya menjadi sasaran bagi pihak sekutu sebagai wilayah jajahan, terutama Inggris dan Perancis.
[12] Dalam kasus inilah seorang orientalis Inggris, Lawrence si orang Arab sangat berperan mengobarkan fitnah dan propaganda terhadap penduduk Hijaz agar mendukung Inggris, sekaligus membantu pemerintahan kerajaan Inggris untuk melakukan penetrasi ke wilayah tersebut.
[13] Syaikh Idaram, Sejarah Brdarah Sekte Salafi-Wahabi, Jogjakarta:Lkis hal. 120. Gerakan wahabisme muncul sebelum terjadinya perang dunia I dan pada saat Ustmani mani dalam posisi kuat. Mereka terus melakukan pemberontakan dan seringkali menimbulkan kerusuhan dan teror bagi umat Islam
[14] Ibid, 96
[15] Ibid, 93
[16] Perancis dan Inggris memang selalu berseteru dalam memperebutkan wilayah jajahan, terutama negara-negara yang berada dibawah kekuasaan kakhalifahan Utsmani
[17] Eropa melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah muslim sudah sejak abad 17 M, kendati secara de jure mereka belum sepenuhnya bisa mengontrol. Namun secara de facto mereka telah menguasai semua kendali sumberdaya dan kelemahan kepemimpinan beberapa sultan-sultan kecil.
[18] Rubaidi. 2010. Radikalisme Islam, NU dan masa depan moderatisme Islam di Indonesia. Jogja, hal.48
[19] Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad.
[20] Ainur Rofiq. 2012. Membongkar Proyek Khilafah Ala HTI. Yogyakarta; Lkis
[21] Abul A’la al-maududi. Sistem politik islam. Menurut HT pemerintahan Islam memiliki 4 pilar yaitu, pertama kedaulatan di tangan syara’, bukan di tangan ummat; kedua, kekuasaan di tangan umat; ketiga, diangkatnya satu orang khalifah; keempat hanya khalifah yang berhak mentabbani hukum syara’. Tesis.
[22] Ali Abdur Raziq, 1985. Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam. Pustaka Bandung.
[23] Lihat Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Sekulerisme. Bandung Mizan, hal. 84.
[24] Suyono,seno joko. 2002. Tubuh yang rasis. Yogyakarta:pustaka pelajar Offset .halaman 56
[25] Eriyanto, 2001. Analisis wacana pengantar teks media. Lkis. Yogyakarta. Halaman 65
[26] Ibid, hal 66-67
[27] M. Jacky. 2003. Konsep dan teori diskursus. Jurnal paradigma Vol.I no 2 Juli 2003 halaman 19
Sumber : kitasama.or.id]]>