Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

KDRT

Pengarusutamaan Gender untuk Mencegah KDRT



Oleh: Intan Nur Fitriani*


Berita Baru, Opini – Ruang publik kita dalam beberapa bulan terakhir sempat penuh dengan pemberitaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Rizky Billar terhadap istrinya Lestiani atau yang biasa disapa Lesti Kejora. Berhubung keduanya adalah artis, tak ayal pemberitaannya sangat tinggi, dari televisi, radio, hingga media sosial. Publik pun dibuat geram, karena pada akhirnya Lesti memilih mencabut laporan dari Kepolisian, dan kasusnya berakhir dengan kesepakatan damai.

Kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi sorotan publik ini sebenarnya adalah fenomena gunung es, di mana yang terekam di permukaan hanya sebagiannya saja. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), selama 17 tahun sepanjang 2004-2021, tercatat setidaknya 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Itu pun yang korbannya melaporkan ke Komnas Perempuan, belum lagi yang melaporkan ke Kepolisian dan yang tidak berani melaporkan dengan memilih diam atas kekerasan yang dialami.

Kondisi ini kemudian membuat kita bertanya-tanya, apa yang melatarbelakangi kekerasan dalam rumah tangga. Apa strategi yang tepat untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga sehingga esensi membina rumah tangga untuk kemaslahatan bersama dapat tercapai.

Faktor KDRT

Dalam perspektif gender, faktor kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan dipengaruhi oleh beberapa hal utama (Alimi dan Nurwati, 2021). Pertama, relasi yang timpang antara istri dan suami. Istri kerapkali berada pada posisi yang lebih rendah ketimbang suami dalam hal relasi kuasa. Akibatnya, perempuan atau istri sering jadi objek perundungan ketika timbul konflik dalam rumah tangga.

Kedua, ketergantungan secara ekonomi akibat dari budaya patriarki. Secara umum, patriarki adalah sebuah konsep yang menjelaskan dominasi laki-laki dalam berbagai bidang (Nadia, 2022). Akibat melekatnya budaya patriarki yang memberikan kontruksi dalam masyarakat bahwa seorang istri memang seharusnya bergantung pada suami, sehinga tidak jarang membuat sebagian istri tidak terbiasa mandiri atau berdaya secara ekonomi. Posisi ini jelas membuat suami merasa superior dan bertindak sewenang-wenang dalam rumah tangga.

Ketidakberdayaan perempuan juga tergambar dalam kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016, faktor penyebab KDRT diantaranya. Pertama, faktor individu perempuan, yakni perempuan yang menikah secara siri maupun kontrak berpotensi lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.

Kedua, faktor pasangan, dimana perempuan yang dipoligami cenderung lebih besar mendapatkan kekerasan dibandingkan pasangan suami-istri yang menerapkan asas monogami. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

Ketiga, faktor ekonomi, yakni perempuan yang berasal dari rumahtangga miskin atau tingkat kesejahteraannya rendah cenderung memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.

Kesetaraan Gender

Kekerasan–psikis mapun fisik—dalam rumah tangga terjadi karena tidak adanya kesetaraan dalam rumah tangga. Perempuan masih dianggap sebagai objek dan sekaligus subjek yang lemah, tidak berdaya, dan bergantung kepada laki-laki. Disadari atau tidak, pandangan dan persepsi inilah yang sebenarnya menjadi akar penyebab diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Perspektif sosial yang berpihak pada laki-laki atas perempuan menjadi alasan munculnya banyak kondisi yang meminggirkan salah satu pihak.

Tidak heran kita menemukan banyak bentuk diskriminasi. Misalnya, berkurangnya perempuan dan laki-laki, jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan dan seringnya terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Kondisi demikian memerlukan tindakan nyata oleh para pemangku kepentingan untuk menciptakan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki sehingga dapat mewujudkan tujuan pembangunan.

Kesetaraan gender yang dimaksud di sini bukanlah agar perempuan menjadi laki-laki, tetapi bagaimana ketidakadilan gender itu tidak terjadi dan antara kaum laki-laki dan perempuan dapat memperoleh hak kemanusiaannya secara seimbang. Marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja merupakan ketidakadilan gender yang harus segera diatasi. Adanya studi gender pada dasarnya merupakan upaya untuk menghilangkan ketidakadilan gender sehingga mewujudkan keadilan sosial (Ikhlasiah, 2021).

Dalam rangka mengatasi masalah ketidakadilan gender muncul strategi pengarusutamaan gender. Menurut Inpres RI No 9 Tahun 2000, pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dilakukan secara nasional dan sistematis, untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (www.djkn.kemenkeu.go.id).

Pengarusutamaan gender merupakan suatu strategi dalam rangka meraih kesetaraan dan keadilan gender, yang dilakukan dengan perencanaan dan penerapan kebijakan berprespektif gender pada organisasi dan institusi.

Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha percepatan tercapainya kesetaraan gender karena kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya (Abdullah, 2021).

Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi masalah dan perhatian dunia. Itu sebabnya dalam dokumen Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan yang disepakati dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada November 2015, salah satu target yang hendak dicapai adalah menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi.

Pemerintah Indonesia menjadi bagian dari negara yang berkomitmen melaksanakan SDGs. Oleh karena itu, budaya patriarki ini sudah semestinya diakhiri dan dengan pengarusutamaan gender diharapkan perlahan kekerasan dalam rumah tangga maupun di ruang publik dapat terhapus.


*Penulis adalah mahasiswa Magister Administrasi Publik, FIA, Universitas Brawijaya, Malang