Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

CHT

Penelitian UB Temukan Solusi Kompleksitas Sistem CHT



Berita Baru, Malang – Rencana Roadmap simplifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang sebelumnya ditunda implementasinya oleh Pemerintah, kini masuk pada salah satu kebijakan strategis pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 (PP 18/2020) dan diturunkan dalam Renstra Kemenkeu melalui PMK 77/2020.

Program strategis ini merupakan bagian dari program reformasi fiskal, sebagai wujud penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi nasional, selain dari upaya pemerintah dalam mencegah tax avoidance, meminimalkan celah kebijakanserta mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi cukai.

Sebagai wujud kontribusi akademik, Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) akan melakukan diseminasi hasil penelitian cukai hasil tembakau: roadmap simplifikasi, celah kebijakan dan dampaknya, via daring, Senin (07/09) pukul 10.00-12.00 WIB.

Penelitian akan disajikan oleh Abdul Ghofar (Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB), serta akan ditanggapi oleh Ahmad Erani Yustika (Guru Besar FEB UB) dan Padang Wicaksono (Dosen FEB UB), dipandu oleh Hendi Subandi dan dibuka Nurkhlolis (Dekan FEB UB).

Dimana beberapa hasil penelitian terkait kebijakan cukai hasil tembakau yang semuanya mengarah untuk kembali memberlakukan roadmap simplifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT). Terdapat pula beberapa temuan strategis menarik terkait kebijakan cukai hasil tembakau yang berlaku saat ini.

Dalam siaran pers yang diterima Beritabaru.co, Ghofar menyampaikan bahwa sistem kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini masih sangat kompleks, sehingga memunculkan berbagai persoalan.

Pertama, sistem cukai yang berlaku saat ini dinilai terlalu kompleks, penuh ketidakpastian dan tidak berkeadilan. “Masalah ini tentu sangat menganggu kinerja industri hasil tembakau yang selama ini dikenal sebagai industri yang padat karya menjadi tidak optimal,” ujar Ghofar.

Kedua, selisih tarif cukai antar golongan saat ini tidak ideal. Ketiga, banyaknya perusahaan yang memakai skema usaha sister company atau afiliasi untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih besar.

Keempat, jarak tarif cukai rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin sangat berdekatan. “Dan terakhir, kebijakan diskon rokok yang membolehkan Harga Transaksi Pasar (HTP) 85 persen dari Harga Jual Eceran (HJE) memiliki potential loss hingga Rp3,89 triliun dalam bentuk PPh Badan pada 2020,” lanjutnya.

Pada akhir paparannya, Ghofar mengungkapkan bahwa melalui skema simplifikasi cukai hasil tembakau, penggabungan batasan produksi rokok mesin, pengaturan sister company, serta penghapusan kebijakan diskon rokok berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga Rp17,573 triliun.

Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah agar kembali menjalankan kebijakan simplifikasi sesuai roadmap yang pernah diterbitkan melalui PMK 146/2017.

“Selain itu pemerintah juga harus mempersempit selisih jarak tarif cukai antar golongan dan antar jenis. Re-definisi skala usaha berdasarkan UU No. 20/2018 tentang UMKM, penghapusan kebijakan diskon rokok, dan juga merekomendasikan untuk membuat peraturan (regulasi) tentang sister company Industri Hasil Tembakau (IHT),” punkas Ghofar.