Peneliti Kamboja Coba Lacak Asal Usul COVID-19 Lewat Kelelawar
Berita Baru, Inovasi – Para peneliti mengumpulkan sampel dari kelelawar di Kamboja utara dalam upaya untuk memahami pandemi COVID-19, kembali ke wilayah di mana virus yang sangat mirip pernah ditemukan pada hewan satu dekade lalu.
Sebelumnya dua sampel dari kelelawar tapal kuda pada tahun 2010 pernah dikumpulkan di provinsi Stung Treng dekat Laos dan disimpan dalam freezer di Institut Pasteur du Cambodge (IPC) di Phnom Penh.
Dilansir dari Reuters, berdasarkan hasil tes yang dilakukan tahun lalu mengungkapkan kerabat dekat virus corona yang telah menewaskan lebih dari 4,6 juta orang di seluruh dunia.
Kini tim peneliti IPC yang beranggotakan delapan orang telah mengumpulkan sampel dari kelelawar dan mencatat spesies, jenis kelamin, usia, dan detail lainnya selama seminggu. Penelitian serupa juga sedang terjadi di Filipina.
“Kami berharap hasil dari penelitian ini dapat membantu dunia untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang COVID-19,” kata koordinator lapangan Thavry Hoem, dikutip Berita Baru, Senin (20/9/21).
Spesies inang seperti kelelawar biasanya tidak menunjukkan gejala patogen, tetapi ini bisa sangat merusak jika ditularkan ke manusia atau hewan lain.
Kepala Virologi di IPC Veasna Duong mengatakan bahwa lembaganya telah melakukan empat perjalanan seperti itu dalam dua tahun terakhir. Mereka berharap mendapatkan petunjuk tentang asal usul dan evolusi virus yang ditularkan oleh kelelawar.
“Kami ingin mencari tahu apakah virus itu masih ada dan untuk mengetahui bagaimana virus itu berevolusi,” katanya dalam wawancara bersama Reuters.
Virus mematikan yang berasal dari kelelawar antara lain Ebola dan virus corona lainnya seperti Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS).
Namun Veasna Duong mengatakan manusia bertanggung jawab atas kehancuran yang disebabkan oleh COVID-19, karena gangguan dan perusakan habitat alami satwa.
“Kalau kita coba dekat-dekat dengan satwa liar, kemungkinan virus dibawa oleh satwa liar lebih besar dari biasanya. Kemungkinan virus bertransformasi hingga menginfeksi manusia juga lebih besar,” katanya.