Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pendidikan Karakter: Antara Eksperimen dan Penguatan Institusi

Pendidikan Karakter: Antara Eksperimen dan Penguatan Institusi



Opini : Achmad Reza Rafsanjani
Ketua Bidang Pendidikan dan Penelitian IKA UNSUDA Lamongan


Krisis karakter di kalangan remaja Indonesia semakin sering kita perhatikan: tindakan bullying, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, hingga penurunan etika di dunia digital. Dalam menghadapi tantangan ini, ada dua pendekatan yang menarik minat masyarakat, meskipun berasal dari arah yang berbeda.

Di tingkat pusat, Kementerian Sosial memperkenalkan Sekolah Rakyat sebuah pendidikan non-formal berbasis komunitas yang ditujukan untuk kelompok yang rentan. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan program pelatihan kedisiplinan dengan dasar militer, yang disebut mampu menanamkan rasa disiplin dan nasionalisme secara cepat.

Kedua pendekatan ini menunjukkan perbedaan dalam filosofi pendidikan karakter: satu berfokus pada pengembangan, satu lagi pada pembentukan. Satu bersumber pada nilai-nilai sosial dan pemberdayaan, sedangkan yang lainnya berlandaskan pada keteraturan dan ketegasan. Alih-alih saling bertentangan, keduanya sebenarnya memiliki peluang besar jika digabungkan.

Namun, Indonesia sesungguhnya memiliki banyak model pendidikan karakter. Pesantren merupakan contoh nyata dari sistem pendidikan yang telah lama memasukkan nilai-nilai agama, disiplin, serta pembentukan akhlak secara menyeluruh. Dalam tradisi pesantren, pendidikan karakter bukanlah pelengkap melainkan inti dari keseluruhan proses pendidikan. Disiplin bangun pagi, hidup sederhana, tanggung jawab bersama, serta hubungan antara santri dan kiai membentuk karakter yang kuat namun tetap sederhana. Sayangnya, nilai-nilai ini belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pendidikan karakter di tingkat nasional.

Di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, muncul pertanyaan penting: mengapa harus terus-menerus menciptakan program-program baru yang tampaknya hanya menghabiskan anggaran? Jika tujuan kita benar-benar memastikan semua warga negara mendapatkan pendidikan yang baik, langkah yang paling masuk akal adalah memperkuat lembaga pendidikan yang sudah ada mulai dari meningkatkan kualitas SDM tenaga pendidik, penyediaan fasilitas yang memadai, perbaikan manajemen mutu, hingga pengelolaan anggaran yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pola ini sebenarnya sudah lama diterapkan di pesantren. Lembaga ini telah terbukti sebagai pusat pendidikan karakter dan spiritual, serta tempat yang inklusif bagi siswa dari berbagai latar belakang. Banyak pesantren menerima santri dari keluarga yang kurang mampu bahkan tanpa memungut biaya, dan banyak juga yang menjadi tempat terakhir bagi anak-anak yang dianggap “bermasalah” oleh keluarga mereka. Dengan sumber daya yang terbatas, pesantren mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang kuat dalam nilai dan komunitas. Oleh karena itu, alih-alih membuat program yang belum terbukti efektif, mengapa negara tidak fokus pada penguatan ekosistem yang telah terbukti seperti pesantren?

Misalnya, program penyediaan makanan bergizi gratis dimulai dengan niat baik, tetapi dalam praktiknya, mengalami masalah mulai dari kasus keracunan siswa hingga pembayaran yang belum diselesaikan kepada pihak penyedia. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kita sering kali menjadi ajang percobaan kebijakan yang terburu-buru. Jika negara benar-benar ingin memperbaiki sistem pendidikan, seyogianya fokus harus diarahkan pada penguatan lembaga yang sudah ada, bukan pada penciptaan proyek-proyek sementara yang berpotensi bermasalah. Dalam konteks ini, pesantren adalah salah satu model yang siap, terbuka, dan dapat dikembangkan secara sistematik.

Penting untuk dicatat bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar normatif yang kuat dalam merancang arah pendidikan karakter. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) Pasal 3 menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi individu yang beriman dan taat kepada Tuhan YME, berakhlak baik, sehat, berpengetahuan, terampil, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. ” Tujuan ini secara tegas menempatkan pengembangan karakter sebagai dasar utama pendidikan, bukan sekadar pelengkap akademik. Oleh karena itu, seharusnya setiap kebijakan baik dari pemerintah pusat maupun daerah mengacu pada dan mendukung tujuan nasional tersebut.

Sayangnya, tanpa adanya kerangka kebijakan yang terpadu, program seperti Sekolah Rakyat atau pelatihan barak militer bisa menjadi proyek yang terpisah-pisah. Bahkan, terdapat kemungkinan adanya tumpang tindih peraturan antar instansi, serta risiko kegagalan saat pelaksanaannya.

Padahal, apabila negara hadir dengan visi yang komprehensif, pendekatan sosial, militer, dan tradisional seperti pesantren dapat digabungkan dalam satu kerangka yang inklusif. Bayangkan adanya Pusat Pendidikan Karakter Terpadu di mana siswa dari kelompok marginal mendapatkan pembelajaran tentang nilai-nilai dari tokoh masyarakat, kemudian menjalani pelatihan kepemimpinan dan disiplin dalam kerangka etis bersama fasilitator TNI, dan bahkan terinspirasi oleh budaya asrama pesantren.

Tentu saja, pendekatan seperti ini memerlukan kejelasan hukum dan koordinasi antar lembaga. Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kemensos, Kemendikdasmen, kemenristekdikti, Kemenhan, serta pemerintah daerah harus bekerja sama untuk menyusun kerangka pendidikan karakter nasional yang terstandardisasi dan dapat menyesuaikan dengan kearifan lokal.

Regulasi perlu diperluas agar pendidikan karakter non-formal seperti Sekolah Rakyat, pelatihan disiplin, dan pesantren bisa masuk ke dalam sistem pendidikan nasional sebagai alternatif pendidikan yang sah. Jangan sampai anak-anak Indonesia menjadi korban dari ego sektoral atau malah menjadi objek eksperimen dari program yang terlihat baik dalam niat, tetapi lemah dalam perancangan kebijakan.

Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh karakter generasi yang mengisinya. Jika kita ingin menghasilkan warga negara yang tangguh, inklusif, dan berintegritas, kita tidak boleh lagi berpikir secara parsial. Pendidikan karakter bukan hanya soal pendekatan lembut atau keras, melainkan tentang keberanian untuk menggabungkan semuanya dalam satu visi: membentuk manusia Indonesia yang utuh.