Pemilu, Antara Dunia Maya dan Dunia Nyata | Opini: Mastur Sonsaka
Dunia maya, khususnya media sosial, telah menjadi bagian penting pada hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak peduli status dan kelas sosialnya, tingkat pendidikan dan taraf ekonominya. Gadget atau smartphone seakan menjadi kebutuhan primer bagi manusia era ini. Kebutuhan untuk berinteraksi dan berekspresi secara maya pada beberapa kasus melampaui dunia nyata. Meminjam istilah Baudrillard, umat manusia hidup pada era simulacra dimana yang nyata dan yang maya tak jelas eksistensinya.
Gambaran ini menujukkan kita pada satu hal bahwa tak satupun ruang kehidupan yang lepas dari bayang-bayang maya, kesadaran kolektif massa menjadi samar antara kenyataan dan imajinasi maya. Dalam gambaran dunia seperti inilah gelaran pemilu serentak 2024 akan diselenggarakan. Dalam konteks pemilu di Indonesia, dunia maya dan dunia nyata saling berkaitan erat dalam proses kampanye dan juga menjadi sumber informasi untuk pemilih.
Namun, kecenderungan polarisasi dan penyebaran hoaks yang terjadi di dunia maya juga berdampak pada dinamika politik di dunia nyata. Beberapa contoh kaitan antara dunia maya dan dunia nyata dalam konteks pemilu di Indonesia dapat disebutkan, pertama kampanye di dunia maya dapat memengaruhi opini publik dan mempengaruhi preferensi pemilih. Konten kampanye di media sosial dapat berdampak pada pemilih di dunia nyata, kedua dunia maya memudahkan penyebaran informasi tentang pelanggaran pemilu, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Informasi tersebut dapat memicu tindakan hukum dan menentukan hasil pemilu, ketiga Pelaporan pelanggaran pemilu di dunia maya juga memengaruhi pengawasan pemilu di dunia nyata. Pemantauan media sosial dapat memberikan informasi yang penting bagi lembaga pengawas pemilu, keempat dunia maya dapat digunakan untuk memobilisasi massa dan mendapatkan dukungan dalam pemilu.
Hal ini dapat berdampak pada jumlah pemilih dan hasil pemilu di dunia nyata, dan kelima penyebaran hoaks, kampanye hitam, dan intimidasi di dunia maya dapat mempengaruhi kondisi psikologis pemilih di dunia nyata, seperti menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan. Kaitan antara dunia maya dan dunia nyata dalam konteks pemilu di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya peran media sosial dan teknologi dalam proses pemilu. Namun, perlu diingat bahwa keberadaan dunia maya tidak dapat sepenuhnya digunakan sebagai pengganti dunia nyata, dan masih diperlukan pengawasan dan pengendalian yang efektif dalam kedua dunia tersebut.
Problem Pengawasan dan Solusinya
Pengawasan pelanggaran pemilu di media sosial menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pengawas pemilu di Indonesia. Beberapa masalah yang sering ditemui dalam pengawasan pelanggaran pemilu di media sosial adalah sebagai berikut: pertama penyebaran Konten Palsu: Media sosial memudahkan penyebaran informasi, namun hal ini juga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebar konten yang tidak benar atau palsu. Konten tersebut dapat memengaruhi opini publik dan preferensi pemilih. Dalam konteks kontestasi elektoral akhir-akhir ini berkembang strategi firehose of falsehood atau semuran dusta, kedua intimidasi: Terdapat beberapa kasus intimidasi yang dilakukan melalui media sosial, seperti penyebaran ancaman atau pembagian informasi pribadi seseorang.
Hal ini dapat membuat pemilih merasa tidak aman dan memengaruhi preferensi pemilih, ketiga Kampanye Hitam: Kampanye hitam yang dilakukan melalui media sosial dapat sangat merugikan calon peserta pemilu, karena dapat menyebarkan informasi yang salah atau mencemarkan nama baik calon tersebut, kempt Sulitnya Menentukan Asal Usul Konten: Konten yang tersebar di media sosial sulit dilacak asal usulnya, sehingga sulit untuk mengetahui apakah konten tersebut benar atau tidak, dan kelima Keterbatasan Teknologi: Keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia menjadi kendala dalam melakukan pengawasan terhadap pelanggaran pemilu di media sosial.
Untuk mengatasi masalah pengawasan pelanggaran pemilu di media sosial, lembaga pengawas pemilu di Indonesia perlu melakukan beberapa upaya seperti: pertama, Peningkatan literasi digital: Peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat dapat membantu mereka untuk memilah dan memilih konten yang benar dan terpercaya, kedua Penegakan hukum: Diperlukan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran di media social, Kolaborasi: Kolaborasi antara lembaga pengawas pemilu dengan platform media sosial dapat membantu dalam mengidentifikasi dan menangani pelanggaran di media social, keempat Peningkatan teknologi: Peningkatan teknologi dapat membantu dalam melacak dan menentukan asal usul konten yang tersebar di media social, dan kelima Peningkatan keterlibatan masyarakat: Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pelanggaran pemilu di media sosial dapat membantu dalam mempercepat identifikasi dan penanganan pelanggaran.
Akhirnya, Pengawasan pemilu yang efektif di dunia maya membutuhkan kerja sama antara Bawaslu Indonesia, pemerintah, platform online, dan masyarakat. Dengan menerapkan model-model pengawasan yang tepat, diharapkan pemilu di Indonesia dapat dilakukan secara bersih, adil, dan transparan.
Penulis adalah pemerhati Perilaku Politik IAIH Pancor