Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pembangunan Wisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Meninggalkan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dan Lingkungan
(Foto: Istimewa)

Pembangunan Wisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Meninggalkan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dan Lingkungan



Opini : Wahyu Eka Setyawan

(Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur)


Persoalan pembangunan wisata skala masif di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang dilakukan oleh lintas aktor, baik aktor negara maupun swasta merupakan implikasi dari pendekatan negara dalam melihat kawasan lindung masih menekankan pada prinsip ekonomi. Cara pandang demikian merupakan turunan dari kerangka penetapan kawasan tersebut sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). 

Hal ini dapat dilihat dari aneka wacana pembangunan wisata buatan di wilayah tersebut, salah satunya ialah jembatan kaca di Seruni Point, Probolinggo, lalu rencana pembangunan resort di wilayah Ranupani, Lumajang sampai pembangunan fasilitas wisata berbasis padat pengunjung di Ngadas, Kabupaten Malang. Ide pembangunan tersebut berasal dari upaya menciptakan 10 Bali baru yang berasal dari penetapan KSPN. Tujuan utama dari pembangunan ini tak lain adalah untuk mengeruk keuntungan dari kawasan lindung.

Meski pihak stakeholder baik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian PUPR, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Pemerintah Kabupaten baik Malang, Probolinggo dan Lumajang sampai Pemerintah Provinsi Jawa Timur, beramai-ramai melakukan klarifikasi bahwa itu tidak merusak lingkungan dan mengklaim untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi klaim tersebut tak lebih dari legitimasi ala teknokratik. Dengan menekankan bahwa pembangunan tersebut tidak berimplikasi apa-apa terhadap wilayah lindung taman nasional, karena sudah ada aturan serta perencanaan yang matang. Bahkan telah melakukan konsultasi publik dan aneka sosialisasi. Tetapi ada beberapa catatan yang penting untuk dilihat.

Pertama, rencana pembangunan tersebut sebenarnya menunjukkan sebuah tata kelola lingkungan yang amat dan sangat tidak mengedepankan prinsip partisipatif serta melihat daya dukung kawasan. Perihal legitimasi melalui zonasi wilayah, merupakan cara-cara pendekatan dari atas ke bawah, yang penerapan ide atas kelola ruang hanya berasal dari satu pihak. Kesimpulan ini didapatkan dari tidak transparansinya penetapan zonasi hingga rencana kelola kawasan. Baik dokumen seperti studi perencanaan kawasan, kajian lingkungan hidup strategis hingga yang lainnya tidak pernah terbuka untuk publik. Sehingga prinsip negara demokratis, yang menekankan transparansi dan akuntabilitas gugur sejak awal.

Kedua, tidak adanya pendekatan Free Prior and Informed Consent (FPIC). Pendekatan ini menekankan pada suara masyarakat yang berada di sekitar wilayah Taman Nasional. Sedari awal prinsip ini tidak dilakukan, mengenai bagaimana cara pandang masyarakat secara umum, terutama mereka yang berada di desa-desa yang didiami oleh masyarakat adat. Adapun yang dilakukan hanya sosialisasi dan konsultasi publik yang tidak mencerminkan prinsip kelola inklusif dan partisipatif. Padahal partisipasi luas sebagai hak asasi dasar dilindungi oleh UUD RI 45 pasal 28. Terutama masyarakat berhak untuk terlibat dalam aneka urusan negara tanpa terkecuali.

Ketiga, informasi sebagai hak dasar, baik untuk mencari dan menerima. Sebagaimana prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diejawantahkan dan disesuaikan dengan UUD RI 45 yang instrumennya turun dalam UU HAM. Tidak ada prinsip-prinsip aturan yang diimplementasikan, terutama terkait informasi yang bersifat publik. Sebagaimana WALHI Jatim yang meminta informasi ke Balai Besar Taman Nasional perihal persoalan pembangunan di kawasannya, tidak mendapatkan jawaban yang sesuai serta dokumen yang diharapkan. Jika ada publik yang sedang meminta dokumen atau informasi sesuai dengan kepentingan lingkungan dan khalayak umum, sudah seharusnya difasilitasi dengan baik serta kooperatif.

Keempat, melihat cara pandang demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa prinsip partisipasi dan keterbukaan, serta komitmen untuk menegakkan lingkungan sebagai hak dasar belum terpenuhi. Meski ada itikad baik, dengan menggelar konsultasi publik dan lain-lainnya, tetapi forum tersebut bukanlah sebuah ruang keputusan tertinggi untuk menganulir atau merubah konsep tata kelola kawasan. Melainkan hanya sebuah legitimasi untuk memperlancar pembangunan. Sehingga ruang tersebut hanyalah wilayah teknokratis yang sangat sempit, karena berbicaranya hanya soal teknis. Tapi ruang-ruang politis dan strategis tidak pernah dibuka. Ini juga berlaku untuk di wilayah lain seperti di Komodo ataupun Taman Nasional lainnya yang mengalami nasib serupa.

Tata kelola lingkungan yang baik yakni melihat aspek daya dukung, rekognisi atas wilayah adat dan ruang tradisional, terlibatnya masyarakat dalam penetapan ruang, serta keterbukaan informasi. Persoalan pembangunan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sedari awal dilakukan dengan penekanan pada aspek ekonomi dan bisnis seperti biasa. Tidak melihat dalam kerangkan bagaimana lingkungan dan manusia ke depannya. Prinsip generasi yang akan datang dilewati begitu saja, sehingga berbicara soal apa yang dimaksud dengan keberlanjutan sudah gugur sedari awal. Hemat penulis, bahwa persoalan pembangunan wisata buatan di area kawasan lindung tidak sensitif pada upaya mendorong lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hanya didorong oleh kepentingan ekonomi sesaat yang hanya memikirkan profit semata.