Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bupati Jember Faida
Bupati Jember Faida. (Foto: Tribunnews.com/FX Ismanto)

Pemakzulan Bupati Faida Dinilai Cacat Hukum, Bagaimana Implikasi Selanjutnya



Pemakzulan Bupati Faida Dinilai Cacat Hukum, Bagaimana Implikasi Selanjutnya

Oleh: Alfin Rahardian Sofyan

(Alumni Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jember)


Sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP)  Rabu 22 Juli kemarin, sebanyak tujuh fraksi DPRD Jember menyepakati pemakzulan bupati Jember dalam sidang paripurna. Sebanyak 45 anggota DPRD sepakat melakukan pemakzulan karena menganggap bupati telah melanggar sumpah jabatan, yakni menyalahi tata kelola pemerintahan dan keuangan.


Pada sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang digelar pada Rabu kemarin, seluruh fraksi yang ada di DPRD Jember sepakat memakzulkan Bupati Faida. Saat sidang paripurna, Faida hanya memberikan jawaban tertulis sebanyak 21 halaman yang dikirimkan pada DPRD Jember. Namun anggota DPRD Jember sepakat tak membacakan jawaban tertulis itu di sidang paripurna.

Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang dilakukan DPRD Jember dinilai cacat prosedur oleh Bupati Jember dr Faida MMR. Secara resmi, melalui surat yang juga dikirim ke DPRD, Faida menilai HMP tidak dilaksanakan sesuai regulasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018.

Bagaimanakah implikasinya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Rekomendasi hak angket terkait HMP harus diusulkan minimal satu fraksi di DPRD Jember. Hal itu tertuang dalam PP Nomor 12 Tahun 2018. Setelah itu, anggota DPRD yang mengusulkan harus menyiapkan materinya seperti yang tertuang dalam Pasal 78 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 yang berbunyi:

Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:

  1. Materi dan alasan pengajuan usulan pendapat; dan
  2. Materi hasil pelaksanaan hak interpelasi dan/atau hak angket.

Pada Pasal 79 mekanismenya dalam sidang paripurna pengusul diberi kesempatan menyampaikan secara lisan materi usulannya pada seluruh peserta paripurna. Setelah itu, pimpinan dewan menanggapi melalui mekanisme fraksi seperti dalam Pasal 79 PP Nomor 12 tahun 2018, yakni pengusul harus menyampaikan penjelasan lisan atas usul hak angket. Pihak Bupati juga harus diundang untuk memberikan pendapat disidang tersebut akan tetapi  sangat disayangkan alasan Bupati tidak hadir dikarenakan Covid-19 padahal DPRD telah melakukan kegiatan sidang paripurna HMP sesuai dengan protokol kesehatan terkait Covid-19. Bupati Jember dr Faida MMR melalui juru bicara Pemkab Jember, Gatot Triyono, mengungkapkan, surat kepada bupati tertanggal 20 Juli yang dikirim DPRD tidak menyertakan dokumen pendukung sesuai PP Nomor 12 tahun 2018. 

Pada aturan yang ada pada PP Nomor 12 Tahun 2018 tersebut sudah sesuai apa yang dilakukan oleh DPRD dimana materi dan alasan yang dimaksudkan itu masih belum menjadi produk hukum DPRD jadi tidak ada kewajiban untuk diserahkan kepada Bupati karena nantinya dokumen tersebut diusulkan kepada pimpinan DPRD Jember, bukan bupati. Bupati bisa menanggapi pernyataan pengusul saat sidang paripurna. Jadi sidang paripurna HMP DPRD Jember terkait Pemakzulan Bupati yang dinilai cacat hukum itupun menjadi redaksi yang kurang tepat karena sidang paripurna HMP tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait tahapan maupun mekanismenya.

Bagaimana tahapan setelah HMP?

Meski telah dilakukan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) dengan keputusan untuk dimakzulkan oleh DPRD, Faida tidak otomatis berhenti dari jabatannya selaku Bupati Jember. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum Faida benar-benar harus melepas jabatannya. Yakni:

  1. DPRD haruslah membuktikan dengan alasan pemberhentian tersebut harus menguji keputusannya ke Mahkamah Agung (MA) sesuai Pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
  2. Setelah menerima keputusan pemakzulan pada sidang paripurna HMP dari DPRD, MA harus memutus pendapat DPRD paling lama 30 hari. Apa pun nantinya yang diputuskan MA bersifat final.
  3. Jika nantinya MA mengabulkan pemakzulan DPRD, selanjutnya DPRD mengusulkan usulan pemberhentian kepada Mendagri melalui Gubernur.

Sesuai Pasal 80 ayat (1) huruf d UU Pemda yang berbunyi:

Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Setelah menerima usulan DPRD, Mendagri wajib memberhentikan Faida dalam waktu paling lama 30 hari. sesuai Pasal 80 ayat (1) huruf f yang berbunyi:

Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.

Pada UU Pemda juga apabila DPRD tidak segera memberikan usulan kepada Mendagri, Mendagri tetap wajib memberhentikan Faida sebagaimana Pasal 80 ayat (2) UU Pemda:

Dalam hal pimpinan DPRD tidak menyampaikan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas usul Menteri dan Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.