Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pelarian | Cerpen Dadang Ari Murtono

Pelarian | Cerpen Dadang Ari Murtono



Tiga hari setelah membuat segalur kalen di batok kepala Rosyid, dalam persembunyiannya, Wakir Bajuri menemukan si bocah bermain tanah di halaman.

“Jangan sakiti aku,” kata Wakir Bajuri dengan muka pucat, “aku tak bermaksud melukaimu. Aku…”

Si bocah menoleh dan Wakir Bajuri melihat galur kalen di kepala si bocah masih mengalirkan darah. “Aku tak sengaja melakukannya,” ujar Wakir Bajuri dengan lebih pelan.

“Aku tidak akan menyakitimu,” jawab si bocah. “Tentu saja aku tidak akan menyakitimu. Apa yang membuatmu berpikir aku akan menyakitimu? Luka di kepalaku?”

“Kau masih hidup?”

“Aku sudah mati,” kata si bocah. “Tentu saja aku sudah mati setelah kau memukul kepalaku dengan parang. Memangnya apa yang kau pikir akan terjadi kepada seorang anak tujuh tahun yang kepalanya kau pukul dengan parang sampai hampir terbelah kalau bukan mati?”

“Oh,” Wakir Bajuri mendesis.

“Tapi coba kau periksa sisi baiknya,” kata si anak selanjutnya, “kau lihat, aku tampak begitu hidup, kan?”

“Kau tampak lebih hidup ketimbang sebelumnya. Yah, selain galur yang terus mengeluarkan darah itu,” sahut Wakir Bajuri. Napasnya lebih teratur. Dan ia mengelempoh di samping si bocah.

“Hal terbaik yang bisa terjadi kepada manusia adalah mati,” kata si bocah, “dan mati yang terbaik adalah mati ketika kau masih bocah, sebab dengan begitu kau akan selamanya menjadi bocah. Seperti aku. Dan sebagai bocah yang selamanya bocah, selamanya aku tidak akan mencemaskan apa pun, aku tak akan menderita karena persoalan rumah tangga, persoalan rumit orang dewasa, perasaan kesepian ketika usia tua datang, dan seterusnya, dan seterusnya.”

“Kau justru terdengar sangat dewasa.”

“Bukan dewasa, tapi bijaksana. Itu dua hal yang berbeda.”

“Bagaimana bocah tujuh tahun bisa memiliki pemikiran seperti itu?”

“Kematian akan membuatmu bijaksana. Percayalah. Aku sudah pernah mengalaminya.”

“Apa yang sedang kau lakukan?”

“Bermain,” kata si bocah. “Memangnya apa yang harus dilakukan oleh bocah tujuh tahun selain bermain?”

“Kau tidak lapar?”

“Kau tidak perlu bertingkah sok manis seperti itu. Kau tidak perlu merasa bersalah.”

“Tapi aku membunuhmu.”

“Kau memberiku hidup selamanya sebagai seorang bocah.”

Si bocah berdiri. “Aku capek,” katanya. “Kadang-kadang, aku berpikir bahwa aku butuh tidur. Aku tidak menyangka kalau hantu juga perlu tidur.”

“Kau mau tidur? Aku bisa menyiapkan tempat tidur yang nyaman untukmu.”

“Sudah kubilang kau tak perlu bersikap sok manis kepadaku.”

“Aku hanya merasa bersalah. Kau tahu, aku hanya menjalankan tugasku. Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Kau mencuri tebu di kebun yang aku jaga waktu itu,” kata Wakir Bajuri. Ia mengusap perutnya yang buncit.

“Kalau begitu,” si bocah menatap tajam-tajam Wakir Bajuri, “kenapa kau kabur dan sembunyi seperti tikus jika kau merasa kau hanya melakukan apa yang harus kau lakukan?”

“Yah,” desah Wakir Bajuri, “Sukandar, bapakmu itu…”

“Bapakku mengejarmu dan kau ketakutan padahal kau hanya melakukan apa yang harus kau lakukan. Kau hanya menjalankan tugas.”

“Ya,” jawab Wakir Bajuri, “bapakmu akan mengejarku dan membunuhku padahal aku hanya menjalankan tugas.”

“Kau takut mati?”

“Siapa pun yang hidup takut mati.”

“Kenapa kau takut pada sesuatu yang belum kau alami dan kau tak memiliki pengetahuan apa pun tentang itu?”

“Justru karena sesuatu itu belum kualami dan aku tak memiliki pengetahuan apa-apa tentang itu, makanya aku takut.”

“Orang-orang Belanda pemilik pabrik gula dan kebun tebu di Sentanan seharusnya membelamu dan menjagamu dari bapakku bila kau takut mati. Bukankah kau bekerja untuk mereka dan mengerjakan apa yang harus kau lakukan untuk mereka?”

“Dengar, Nak,” kata Wakir Bajuri, “orang Belanda adalah orang Belanda dan orang pribumi adalah orang pribumi. Mereka tidak akan peduli bila orang pribumi saling bunuh. Tidak. Mereka tidak akan membelaku. Aku harus membela diriku sendiri.”

“Baiklah,” kata si bocah. Lalu mereka duduk-duduk berdua, bicara ini itu sampai lama sekali. Lalu tiba-tiba hari sudah jadi malam.

“Kau tahu,” kata si bocah, “aku merasa mencium bau bapakku. Seekor hantu sepertiku punya penciuman yang jauh lebih bagus ketimbang anjing.”

Wakir Bajuri menegakkan punggung. “Bagaimana dia bisa tahu aku bersembunyi di sini? Tidak ada yang tahu tempat ini.”

“Aku tahu tempat ini,” jawab si bocah.

“Kau yang memberitahu bapakmu?”

“Kenapa aku harus melakukannya?”

“Sebab kau ingin membalas dendam kepadaku. Sebab kau ingin bapakmu membunuhku.”

“Jangan konyol. Kenapa aku ingin kau mati? Agar kau juga jadi hantu lalu menghajarku lagi dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena kita sama-sama hantu?”

Terdengar langkah kaki yang berat di luar rumah. “Itu mungkin suara langkah kaki bapakku,” kata si bocah.

“Apa yang akan dilakukannya?” Wakir Bajuri berdiri. Kakinya gemetar dan wajahnya kembali pucat.

“Aku tak tahu. Tapi kurasa, aku tidak mau melihat apa yang akan terjadi. Aku pergi dulu,” jawab si bocah. “Aku punya perasaan kuat bahwa kita akan bertemu lagi. Mungkin nanti aku akan datang lagi. Sampai jumpa.”

Pintu bergeretak karena didorong paksa.

Di penghujung malam, Rosyid kembali datang. Ia melayang seperti kapas. Ia menembus dinding dan memeriksa sudut-sudut rumah. Ia mencoba menangkap tanda-tanda kehadiran Wakir Bajuri di sana.

“Hei, Wakir Bajuri, kau ada di sana?” teriaknya.

Bocah itu terus melayang, bergerak bersama udara. “Apa kau baik-baik saja?” ia kembali berteriak. Di ruang tamu berlantai tanah, di mana seharian kemarin ia habiskan hari bersama si wakir, ia temukan lelaki tambun itu terbujur dalam genangan darah. Leher si wakir tergorok. Gelembung darah meletup sesekali dari luka gorokan itu.

“Kau tak apa?” si bocah melayang turun, menempatkan wajahnya persis di depan wajah beku keras Wakir Bajuri.

“Apa yang terjadi kepadamu? Apakah bapakku yang melakukan ini?”

Tangan si bocah terulur, mencoba menarik tubuh berat Wakir Bajuri. “Kemarilah,” engahnya.

“Kematian tidak semenakutkan yang kau kira, bukan?” ujar Rosyid mengulum senyum. Ia menuding lurus ke depan. Di sebelahnya, Wakir Bajuri mengerjap-ngerjapkan mata.

Di depan mereka, terdapat sesuatu yang awalnya meremang. Lantas kian lama kian jelas. Kebun tebu yang luas, taman yang penuh bunga-bunga, orang-orang yang tertawa.

“Sayang sekali kau mati dengan perut jelek seperti itu,” kata si bocah lagi, “maka kau selamanya akan menjadi lelaki setengah tua dengan perut buncit.”

Wakir Bajuri tersenyum. “Tidak apa, tidak begitu buruk,” katanya ringan dan riang. Lalu ia merasakan tubuhnya terangkat bersama embusan udara.


Pelarian | Cerpen Dadang Ari Murtono

Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta  Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.