Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Neraca

Pelangi Neraca Perdagangan



Oleh: Amartya Iqra Akhlaqi*


Sebelum pandemi neraca perdagangan Indonesia mengalami masa muram karena defisit pada 2018 dan 2019, masing-masing senilai USD8,70 miliar dan USD3,59 miliar. Uniknya, justru surplus pada neraca perdagangan berhasil dicapai di tengah masa pandemi COVID-19.  Pada 2020, di tengah kondisi yang pelik, Indonesia berhasil memperoleh surplus neraca perdagangan cukup tinggi, yaitu USD21,62 miliar, hampir dua kali lipat dari surplus 2017 (USD11,84 miliar). Meski begitu, catatan tambahan perlu diberikan karena terjadinya “surplus semu” pada 2020, karena surplus terjadi akibat jatuhnya nilai impor secara drastis akibat turunnya daya beli masyarakat dan berhentinya banyak aktivitas ekonomi (produksi). Nilai ekspor juga turun, tapi tidak se-drastis penurunan nilai impor. Lebih lanjut, neraca perdagangan barang pada 2021 diproyeksikan akan lebih baik dari tahun 2020. Sejak Januari hingga Juli 2021, Indonesia telah berhasil membukukan surplus senilai USD14,42 miliar. Jika tren ini bisa dipertahankan hingga akhir tahun, maka kenaikan surplus akan lebih tinggi daripada tahun lalu.

Neraca Ekspor dan Impor

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), perkembangan nilai ekspor Indonesia mencapai USD17,70 miliar pada Juli 2021. Meskipun turun 4,53% dibanding Juni 2021 (mtm), namun Indonesia berhasil mendapatkan surplus USD2,59 miliar pada neraca perdagangan barang pada Juli 2021. Hal ini tentu memberikan harapan kepada prospek pertumbuhan ekonomi pada 2021. Meskipun tentu masih tergantung dari faktor-faktor lainnya. Secara kumulatif, sektor nonmigas menyumbang USD16,71 miliar atau 94,40% dari total ekspor Juli 2021. Berbanding terbalik dengan data month-to-month (mtm), nilai ekspor Juli 2021 terhadap Juli 2020 (yoy) justru mengalami kenaikan sebesar 29,32%. Meskipun sebagian besar komoditas ekspor meningkat dengan sangat pesat, bahkan pada sektor pertambangan dan lainnya naik secara fantastis hingga 105,69%, sangat disayangkan bahwa salah satu komoditas utama negara Indonesia, yaitu pertanian, malah anjlok hingga-17,99%.

Sementara itu, sektor industri pengolahan menyumbang USD13,56 miliar atau 76,60% dari total ekspor pada Juli 2021. Meskipun nilai ekspor di sektor ini turun sebesar 3,63% dari bulan sebelumnya, namun data year-on-year menunjukkan peningkatan 20,15%. Sektor ini merupakan sektor esensial, karena selain sebagai penyumbang terbesar nilai ekspor, juga menjadi sumber penting bagi penciptaan nilai tambah (pengolahan). Setelah cukup lama terjebak sebagai pemasok komoditas primer (bahan baku), Indonesia mulai menampakkan kemajuan dengan lonjakan produksi barang olahan, yang kemudian sebagian menjadi komoditas ekspor. Begitu nilai ekspor industri pengolahan naik, maka tentu diiringi dengan kenaikan nilai tambah. Hal ini tentu menjadi berita bagus, mengingat nilai tambah tersebut akan meningkatkan margin keuntungan dibandingkan dengan ekspor bahan mentah. Terlebih dalam situasi saat ini, kinerja tersebut merupakan pertanda yang baik bagi Indonesia di tengah masa sulit akibat pandemi.

Mitra Dagang

Analisis lain dapat dilakukan dari mitra dagang utama Indonesia. Posisi teratas pangsa ekspor nonmigas Indonesia terbesar adalah Tiongkok dengan nilai USD3,57 miliar, disusul Amerika Serikat di posisi kedua dengan nilai USD2,02 miliar dan Jepang di posisi ketiga dengan nilai USD1,19 miliar. Sementara itu, dihitung secara kumulatif nilai ekspor Indonesia dari perdagangan internasional ke negara-negara ASEAN memegang persentase 19,01% atau senilai USD3,18 miliar, sedangkan ke negara-negara Uni Eropa senilai USD1,55 miliar atau 9,28% dari total nilai ekspor. Realitas ini menggambarkan pola yang terjadi selama ini, di mana negara-negara tersebut dianggap sebagai “pasar tradisional” ekspor Indonesia sebab memegang nilai besar dalam kegiatan ekspor. Jika ditilik lebih dalam lagi, negara yang masuk dalam 10 besar pangsa ekspor merupakan negara yang memang telah berhasil mengelola situasi pandemi COVID-19 dengan baik, meskipun belum pulih sepenuhnya.

Selain peningkatan nilai ekspor, surplus neraca perdagangan yang diperoleh juga merupakan buah dari adanya penurunan nilai impor sebesar 12,22% dalam perbandingan data month-to-month. Seluruh golongan barang mengalami penurunan nilai impor tanpa terkecuali, mulai dari konsumsi, bahan baku/penolong, hingga barang modal. Namun, jika dibandingkan dengan data year-on-year, justru nilai impor naik cukup tinggi hingga 44,44%. Hal ini merupakan sinyal serius, khususnya tingginya kenaikan impor barang konsumsi hingga 45,97%. Ini masih ditambah dengan peningkatan yang tinggi terhadap impor beberapa golongan barang yang sebetulnya bisa dikurangi, seperti produk farmasi, ampas/sisa industri makanan, garam, batu, hingga semen. Indonesia punya pekerjaan rumah untuk mendesain kedaulatan farmasi mengingat bahan baku yang tersedia melimpah serta kemudahan dalam proses pembuatan. Problem jebakan rente ekonomi menjadi salah satu sumber perkara sehingga menghalangi upaya produksi di dalam negeri.

Surplus dan Nilai Tukar

Surplus neraca perdagangan yang diperoleh berimbas positif pada nilai tukar rupiah yang stabil. Meskipun pada akhir Juni 2021 sempat diprediksi terjadi fluktuasi dengan kecenderungan melemah pada nilai tukar, namun hal tersebut berhasil dibalikkan pada Juli 2021. Terbukti pada akhir Juli 2021 nilai tukar rupiah ditutup dengan penguatan 5 poin atau 0,03% ke level Rp14.482 per dollar AS. Hal ini kontras dengan pelemahan indeks dollar AS sebesar 0,38% ke level 91,905. Secara garis besar surplus yang diperoleh dari neraca perdagangan telah menciptakan tendensi meningkatnya cadangan devisa (per Juli 2021 sebesar USD137,3 miliar) dan stabilitas nilai rupiah. Implikasi lainnya ialah kecenderungan inflasi yang stabil karena stabilitas nilai tukar. Sungguh pun begitu, di sisi lain, menguatnya nilai rupiah secara tidak langsung juga memicu kenaikan permintaan dollar, sehingga perlu diwaspadai kemungkinan pelemahan kembali pada nilai rupiah.

Kenaikan impor cukup tinggi dalam data year-on-year merupakan berita buruk bagi Indonesia. Tetapi, di sisi lain hal itu juga merupakan pertanda baik karena menunjukkan daya beli masyarakat kembali tumbuh seiring dengan penanganan pandemi yang lebih bagus. Meski begitu, beberapa hal penting lainnya juga perlu digarisbawahi, baik dari sisi ekspor maupun impor. Penurunan nilai ekspor industri pengolahan (mtm) perlu diwaspadai, demikian pula sektor pertanian Indonesia mesti didongkrak kembali, dan negara tujuan ekspor juga perlu didiversifikasi. Soal lama yang belum banyak kemajuan ialah membatasi nilai impor konsumsi dan usaha lebih keras dalam mencari produk substitusi dari bahan baku yang diimpor. Indonesia juga butuh mengurangi ketergantungan impor dari beberapa negara mitra utama, seperti Tiongkok, Australia, dan Thailand (juga Singapura) karena defisit yang besar. Jadi, kinerja neraca perdagangan Indonesia telah menyembulkan pelangi (sudah kembali ke masa sebelum pandemi), namun masih banyak pekerjaan rumah yang mesti segera dituntaskan. 


*Amartya Iqra Akhlaqi, peneliti The Reform Initiative (TRI) dan Mahasiswi Departemen Ilmu Ekonomi UI (Program Internasional)