Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

PBHI Nilai Seleksi Calon Dewas KPK Produk Gagal Revisi UU KPK

PBHI Nilai Seleksi Calon Dewas KPK Produk Gagal Revisi UU KPK



Berita Baru, Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti revisi Undang-Undang KPK No. 19 Tahun 2019 yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Jokowi bersama DPR RI. PBHI menilai bahwa revisi tersebut dilakukan sebagai reaksi terhadap maraknya kasus korupsi di kalangan kementerian dan DPR RI, yang membuat kedua lembaga ini menjadi sasaran pemberantasan korupsi oleh KPK.

PBHI mengungkapkan bahwa revisi UU KPK ini dikemas dengan propaganda dan disertai dengan informasi palsu yang menuduh adanya pelanggaran oleh pegawai dan penyidik KPK, termasuk hoax tentang ekstremisme Islam di kalangan mereka. Faktanya, conviction rate KPK tetap mencapai 100%, dengan fokus pemberantasan korupsi pada menteri, anggota DPR, dan pejabat tinggi lainnya.

Revisi tersebut juga memperkenalkan pembentukan Dewan Pengawas KPK, yang diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam penanganan perkara dan upaya paksa, termasuk SP-3 (penghentian penyidikan). PBHI menilai, pembentukan Dewan Pengawas ini justru menambah lapisan birokrasi yang dapat memperlambat kinerja KPK dan memberikan celah intervensi.

“Pembentukan Dewan Pengawas KPK ini melanggar konsep pengawasan yang seharusnya bersifat eksternal, bukan masuk ke dalam sistem pro-justitia. Ini mengurangi kewenangan penyidik KPK dan memperpanjang alur birokrasi,” jelas PBHI dalam siaran persnya.

PBHI juga mengkritik kinerja pemberantasan korupsi setelah revisi UU KPK, yang menurut mereka berubah menjadi alat politik. Mereka mencatat, conviction rate KPK menurun, serta munculnya berbagai masalah internal di KPK, seperti pungutan liar di rutan dan dugaan transaksi layanan seks.

Mengenai calon Dewan Pengawas KPK, PBHI menegaskan pentingnya memilih calon yang memiliki kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak yang bersih. Mereka juga menyoroti calon dari latar belakang aparatur negara, seperti ASN, jaksa, dan hakim, yang seharusnya berkontribusi dalam pemberantasan korupsi di lembaganya masing-masing. Faktanya, beberapa lembaga tersebut malah sering terlibat dalam kasus korupsi yang diperiksa KPK.

“Calon Dewas dari aparatur negara harus benar-benar independen. Pansel KPK perlu mewaspadai potensi intervensi politik dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, terutama karena ada dugaan keterlibatan keluarga Presiden Jokowi dalam gratifikasi yang sedang diperiksa KPK,” tambah PBHI.

PBHI juga mengingatkan Pansel KPK agar jeli memeriksa jumlah harta kekayaan calon Dewas yang tidak wajar dan fantastis. Mereka mengkritik sistem pelaporan LHKPN yang bersifat sepihak dan tidak disertai dengan penelusuran sumber kekayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UNCAC (Konvensi PBB tentang Antikorupsi).

“Pansel KPK harus mencoret calon Dewas yang terindikasi memiliki relasi politik dengan kekuasaan yang anti-KPK dan pro-korupsi. Jangan sampai slogan pemberantasan korupsi hanya menjadi ajang penghapusan jejak-jejak korupsi,” tegas PBHI dalam pernyataannya.