Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pandemi
(Foto: Aly Song/Reuters)

Pandemi Tidak Akan Mengangkat Cina sebagai Pemimpin Dunia



Di awal tahun ini, saat virus corona jenis baru menyebar di Cina, sebuah prediksi muncul dengan cepat dan jelas, wabah tersebut merupakan “peristiwa Chernobyl” Cina, bahkan mungkin “permulaan dari akhir” Partai Komunis Cina. Di tengah ketegangan yang semakin memanas antara AS-Cina, hal ini nampak akan menghasilkan konsekuensi geopolitik yang sangat menguntungkan bagi Washington.

Namun kemudian, ramalan tersebut ternyata berbalik sama cepatnya. Cina berhasil mengatasi penyebaran virus corona, sementara AS dan Eropa Barat justru menderita wabah secara luas di wilayah mereka.

Pandemi dan resesi global yang diakibatkan wabah disebut-sebut akan menandai perubahan tatanan geopolitik yang akan membawa Cina sebagai pemenang. Beijing tentunya melihat kesempatan macam itu. Mereka mengeluarkan kampanye internasional yang menyasar pada kegagalan pemerintahan demokratis dan menjadikan dirinya sendiri sebagai pemimpin respon pandemi global.

Akan tetapi, manuver Beijing ini diragukan akan sukses dalam kemungkinan mengubah pandemi menjadi sebuah langkah besar kebangkitan Cina. Ada batasan-batasan nyata dalam kapasitas Cina untuk mengambil keuntungan dari krisis saat ini–entah melalui kebohongan propaganda atau aksi global yang tidak efektif.

Dan sebagaimana potensi Cina untuk mendulang keuntungan dari virus corona terlalu mudah dilebih-lebihkan. Begitu pula kemampuan AS untuk menunjukkan kepemimpinan global bahkan setelah kesalahan langkah awalnya terlalu mudah diremehkan.

Secacat apapun respon Washington sejauh ini terhadap pandemi, kekuasaan AS–terlepas dari siapapun presidennya–terletak pada kombinasi abadi dari kapabilitas materi dan legitimasi politik. Terlebih, ada beberapa penanda bahwa pandemi ini menyebabkan pergantian kekuasaan secara cepat dan permanen pada sisi pembukuan besar Cina.

 Propaganda Cina

Serangan propaganda awal Cina luar biasa agresif. Tetapi sekarang terlihat ceroboh dan tidak mungkin berhasil.

Narasi Partai Komunis Cina terbatas oleh fakta sederhana bahwa banyak orang mengetahui tentang awal mula wabah berasal dari Wuhan dan kecerobohan respon awal Beijing–khususnya, dalam upaya untuk menyembunyikan informasi dan membungkam banyak dokter yang pertama kali memperingatkan mengenai kemunculan sebuah virus baru yang berbahaya.

Dalam menghadapi permintaan untuk keterbukaan yang lebih luas, Beijing menolak para jurnalis Amerika yang bekerja untuk The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal. Di Twitter, juru bicara Menteri Luar Negeri Cina menuduh militer AS membawa virus corona tersebut ke Wuhan. Meskipun Beijing telah menarik mundur klaim tercelanya ini dalam minggu-minggu terakhir, tindakannya itu jelas mengandung aroma keputusasaan dimana menunjukkan kegamangan Beijing sendiri atas kesalahan penanganannya terhadap wabah tersebut.

Skeptisisme global meningkat dengan alasan yang bagus terhadap statistik virus corona di Cina. Terbukti, sementara penghitungan resmi kasus baru COVID-19 Cina menunjukkan pengendalian yang efektif (menjelang 19 Maret jumlah infeksi lokal baru hampir telah mencapai nol), sebagian di Cina takut bahwa pemerintah pusat telah menghentikan saja pelaporan semua hasil tes dalam rangka menjaga penghitungan resmi tetap rendah dan menjaga narasi bahwa Cina telah memenangkan perang melawan virus; hal itu bukanlah pertama kalinya Beijing telah membredel data yang tidak menguntungkannya.

Beberapa pemimpin tentu saja menerima narasi Beijing dan menghargai metodenya dalam memerangi wabah–termasuk para petinggi di Kamboja, Iran, Pakistan, dan Serbia. Tetapi sedikit dari pemerintahan-pemerintahan tersebut baru saja dibujuk oleh pesan terbaru Cina; mereka telah memiliki jejak rekam panjang dalam menerima narasi politik Cina dan bantuan ekonomi, seringnya melayani kekuasaan mereka di negeri sendiri.

Nyatanya, beberapa penerima bantuan awal di Eropa untuk alat tes dan perlengkapan perlindungan buatan Cina ditolak karena tidak memenuhi standar. Baru saja di minggu ini, perdana menteri Finlandia memecat kepala agen pemasok kebutuhan darurat negara karena menghabiskan jutaan Euro untuk membeli masker Cina yang rusak.

Sementara itu, pemimpin-pemimpin lainnya sudah melawan balik upaya Cina untuk menulis ulang narasi global mengenai penanganannya atas COVID-19.

Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Hubungan Luar Negeri Josep Borrell secara terbuka mengkritisi usaha Cina sebagai “perjuangan untuk memengaruhi melalui permainan politik kedermawanan”. Para pemimpin di Brazil dan India yang menghadapi berbagai tantangan di negerinya, telah berbalik dengan cepat mengkritik Cina dan menghindari bantuannya. Di Afrika, perhatian publik telah terpaku pada cerita-cerita rasisme yang meluas terhadap pekerja Afrika di Cina selatan.

Dan bahkan sebelum mulainya pandemi, Beijing menghadapi defisit kepercayaan yang besar di antara negara-negara tetangganya di Asia. Sebuah survey opini publik di enam negara Asia yang diselenggarakan oleh Pew Research Center antara bulan Mei dan Oktober 2019, dan diterbitkan di akhir Februari, menemukan persentase yang jauh lebih tinggi dari orang-orang yang memiliki pandangan baik kepada AS dibandingkan kepada Cina.

Dalam mendorong narasi kemenangannya melawan virus corona, tindakan Beijing akan diperbandingkan tidak hanya dengan AS tetapi juga dengan aksi mengagumkan dari banyak negara-negara Asia, termasuk mereka yang berpemerintahan demokratis. Beijing gagal total pada mulanya–karena kurangnya transparansi yang mencolok dan dapat diprediksi–dan Washington pun gagal sekarang.

Akan tetapi, Korea Selatan dan Taiwan yang demokratis telah bertindak lebih baik daripada keduanya. Pengujian dan pelacakan kontak yang impresif dari pemerintahan Korea Selatan serta usaha deteksi dini dan penanggulangan virus dari Taiwan merefleksikan baik pilihan-pilhan tepat pemerintahannya, maupun kemampuan mereka belajar dari pengalaman masa lampau melawan pandemi.

Seluruh warga dan pemerintahnya mencari model yang cenderung lebih memilih keberhasilan demokratis daripada alternatif otoriter yang dibanggakan dan upaya penanggulangan keras Cina–harga yang sebenarnya masih belum diketahui.

Lagipula, ekonomi Cina tidak akan dapat naik untuk menyelamatkan selama masa krisis finansial global ini. Meskipun ada sebagian kenaikan suplai sebagaimana pabrik-pabrik Cina kembali buka, dari sisi permintaan terhadap pemulihan ekonomi Cina justru sedang dalam masalah. Perekonomian Cina sangatlah bergantung pada permintaan luar negeri dari AS dan Eropa, sehingga sulit menjadi satu-satunya penyelamat di ekonomi global.

12 negara yang dihantam paling keras oleh virus saat ini menyumbangkan sekitar 40 persen ekspor Cina. Banyak dari negara-negara ini juga menjadi penyuplai utama Cina untuk barang-barang setengah jadi. Perekonomian Cina tidak akan kembali ke lintasan pertumbuhan sebelumnya sebesar lima hingga enam persen setiap tahunnya, hingga perekonomian AS dan Uni Eropa membaik pula.

Para pembuat kebijakan Cina harus menahan terlebih dahulu upaya stimulus domestik sampai keadaan pulih kembali, karena stimulus semacam itu hanya akan memiliki dampak terbatas jika permintaan global sedang menurun. Pendanaan stimulus lain yang didorong oleh kredit sebagaimana dilakukan Cina di 2008-2009 tidaklah masuk akal, sebab tingkat keseluruhan hutang Cina yang tinggi dan resiko nyata yang dapat memantik runtuhnya sistem finansial tersebut.

Artinya dalam krisis ini, perekonomian Amerika dan Cina harus tenggelam atau berenang bersama.

Bahaya Prediksi

Di tengah krisis global, tekanan untuk meramalkan situasi jangka panjang dan implikasi strategis dari keadaan darurat sangatlah besar. Permasalahannya, penarikan kesimpulan-kesimpulan yang terlalu dini seringkali keliru: para analis terfokus pada konsekuensi langsung dari peristiwa-peristiwa terbaru dan meremehkan kondisi struktural dari tatanan global.

Memang jelas, ada kegagalan besar dari kepemimpinan diplomatik dan politik AS dalam krisis saat ini yang sangat bisa merugikan AS dan pengaruh internasionalnya pada bulan-bulan mendatang.

Akan tetapi perdebatan bahwa kasus ini mungkin menyerupai “peristiwa Suez” bagi AS, sebagaimana Kurt M. Campbell dan Rush Doshi baru-baru ini simpulkan di Foreign Affairs, terlalu jauh. Sangatlah penting untuk meneliti analogi Suez lebih ketat.

Intervensi Inggris di Suez pada 1956 merupakan nafas terakhir dari sebuah kerajaan yang telah lama kehilangan kekuasaan dan legitimasi untuk memaksakan kehendaknya pada negara-negara bekas jajahannya. AS telah melampaui Inggris dalam setiap metrik diplomatik, ekonomi, dan militer satu generasi sebelum krisis Suez.

Bahwa meningkatnya kekuatan militer dan teknologi Cina sungguh mengesankan, tetapi mata uang Cina tidak mendekati hegemoni yang dinikmati dollar pada 1956 atau bahkan hingga kini.

Sesungguhnya, bagian Inggris dari PDB global pada waktu itu hanyalah sebagian kecil dari yang dimiliki AS hari ini. Sebagaimana Leninis Cina akan mengatakan, korelasi kekuatan-kekuatan internasional di 1956 jelas tidak mendukung kepentingan Inggris.

Hal itu bukanlah yang terjadi hari ini di AS. Bersamaan dengan Amerika Serikat yang tengah tersandung di krisis sekarang, Beijing pun menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang berasal dari pilihan-pilihannya atas pemerintahan politik dan ekonomi di dalam negeri, maupun pemerintahan global di luar negeri.

Ada sedikit bukti bahwa model otoriter Cina saat ini memiliki daya tarik lebih dibandingkan norma-norma demokratis yang dianut oleh banyak negara tetangga Cina. Namun, abad 21 hampir tidak pasti akan menjadi “abad Cina”, tanpa peduli apa yang dilakukan oleh AS.

Agaknya, itu lebih mungkin menjadi ajang sebuah negara di Asia yang menampilkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam minggu-minggu terakhir, ditambah kontribusi substansial dan terus meningkat dari kawasan tersebut bagi inovasi, produktivitas, dan pertumbuhan global.

Pemulihan Kepemimpinan Amerika

Meskipun posisi Cina dalam kepemimpinan global sulit diyakini, Amerika Serikat tidak perlu terlalu berpuas diri – dari kenyataan tersebut. Mungkin tidak akan ada pergantian kekuasaan di Cina, tetapi ada kriris berkepanjangan dari kepemimpinan Amerika, sebagaimana Campbell dan Doshi perhatikan secara tepat dalam tulisan mereka di Foreign Affairs.

Penting bagi AS untuk membangun ulang kepemimpinan yang kompeten selama pandemi ini dalam semua level. Dunia sangat jelas membutuhkan sistem pengawasan global, pengujian deteksi, dan respons farmakologi.

Sejauh ini, retorika dan diplomasi Cina telah menghasilkan keuntungan terbatas, namun AS dan sekutunya harus tetap waspada agar jangan sampai Beijing bergerak lebih jauh dalam rancangan pemerintahan dan institusional global pada waktu Washington justru mengalami kemunduran.

Krisis regional dan global sebelumnya di tahun 1950 memberikan pelajaran berharga bagi perbaikan kepemimpinan AS. Memang, banyak perkembangan kerja sama dan institusi yang menjadi pola abadi tumbuh dari masa-masa penuh tekanan: perjanjian keamanan AS dengan Australia, Jepang, dan negara lainnya disepakati saat puncaknya perang Korea; kerangka kerja Quad dengan Australia, India, dan Jepang diatur dalam waktu kurang dari 72 jam sebagai respons bencana tsunami 2004; para pemimpin G-20 berkumpul pertama kalinya di November 2008, di tengah krisis finansial 2008. Bahkan setelah krisis tahun 1997-1998 –  saat AS dan IMF menuntut kondisi sulit yang terpaksa melepaskan banyak bantuan untuk Asia, sedangkan Beijing menang karena hal itu tidak mendevaluasi mata uangnya – hasil jangka panjangnya di kawasan tersebut lebih tangguh dan berlandaskan ekonomi pasar. Bukan malah perubahan ke gaya kapitalisme negara Cina.

Jika saja AS berada dalam persaingan strategis dengan Cina, maka kepemimpinan efektif AS seharusnya dapat melayani pembangunan yang positif dari dalam krisis. Bukan justru memanfaatkan situasi untuk mengisolasi dan mengalienasi Beijing.

Kegagalan dari menteri-menteri luar negeri G-7 untuk mencapai kesepakatan dalam pernyataan bersama (karena delegasi AS bersikeras untuk menyebut virus corona jenis baru ini sebagai “virus Wuhan”, berlawanan dengan pedoman dari WHO dan posisi sekutu terdekat Washington) hampir tidak mungkin membangun contoh kepemimpinan yang efektif.

Selama berabad-abad, Amerika Serikat telah berhasil mempertahankan kekuasaan, kredibilitas, dan pengaruhnya tidak hanya karena kebesaran dan kapabilitas negaranya, melainkan juga karena kemampuan menarik bangsa-bangsa lain kepada cita-cita keamanan dan kemakmurannya.

AS yang kasar dan defensif terhadap Cina saat ini bukanlah AS yang akan memperoleh rasa hormat dari segenap kawan dan sekutunya.

AS yang belajar dari pengalaman Jerman, Korea Selatan, Taiwan dan negara lainnya dalam pengelolaan pandemi; yang menyambut kerjasama praktis dan bermanfaat dengan Cina; dan terlibat dengan organisasi global, seperti WHO, demi membantu mereka melakukan reformasi adalah AS yang dapat memanfaatkan pandemi sebagai peluang untuk mengingatkan dunia bagaimana kepemimpinan Amerika seharusnya terlihat.


PenulisMichael Green & Evan S. Medeiros
Artikel AsliThe Pandemic Won’t Make China the World’s Leader
PenerjemahSarah Monica