Pancasila dan Perilaku Elit Politik | Opini: Yongki
Yongki
Sebuah doktrin yang sedang dibumikan hari ini adalah, jangan mengaku pancasilais kalau perilakumu masih korupsi, belum adil dan lain-lain. Pernyataan ini telah menjadi doktrin yang membabi buta di masyarakat. Hal demikian sebenarnya bermotif untuk membuat orang hidup dalam kekahwatiran, ketakutan, ketidakpastian sehingga terjadi krisis kepercayaan terhadap Pancasila yang telah disepakati menjadi dasar negara dan filosofi bangsa.
Pancasila dianggap sebagai ideologi yang abstrak dan tidak berhasil diejawantahkan oleh elit politik, sehingga harus diganti dengan paham atau ideologi lain yang dianggap akan mampu memberi keadilan, menghilangkan korupsi dan lain-lain. Ini suatu pernyataan keliru yang sedang berkembang di masyarakat.
Kita ketahui bersama bahwasanya kebenaran mutlak datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila adalah suatu kebenaran mutlak yang dianugerahi Tuhan kepada bangsa Indonesia. Telah bertahun-tahun lamanya Pancasila itu hidup bersemayam dalam tradisi kehidupan masayarakat Nusantara. “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” Ir Sukarno).
Maka Pancasila yang di dalam proses historisnya telah digali dan kaji dan disepakati oleh para pendiri bangsa untuk menjadi dasar negara dan filosofi bangsa. Sebab Pancasila itulah bangsa ini dapat dipersatukan dari perbedaan – perbedan yang ada di Indonesia ini. Pancasila sudah final tidak dapat tergantikan oleh sikap perilaku seseorang, Atau dengan perkataan lain Pancasila adalah kebenaran mutlak yang tidak terganggu oleh perilaku seseorang.
Contoh, bendera pusaka Indonesia warnanya merah putih. Siapapun akan mengakui dan mengatakan hal demikian, sebab itu adalah kebenaran mutlak. Jika ada yang mengatakan bendera pusaka Indonesia biru maka hal ini menjadi tugas yang perlu kita benahi cara pandang atau pengetahuannya, bukan merobek sang saka merah putih dan menggatikannya dengan bendera yang lain. Seperti halnya Pancasila tidak dapat tergantikan hanya karena perilaku dari oknum elit politik yang melenceng dari Pancasila, atau tidak Pancasilais.
Kita berkaca ke publik fenomena ganti Pancasila telah membumi di Indonesia, sebab banyak elit politik kita yang tidak pancasilais, masih ada korupsi belum adil dll. Perilaku elit politik kita yang seperti ini diangkat sebagai isu dan doktrin bahwa Pancasila gagal diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fatalnya lagi sebab Pancasila itu dianggap tidak cocok sehingga mau digantikan oleh ideologi lain. Barometer yang sempit dan parsial seperti ini telah menjadi akar dalam cara pandang sebagian orang, lantaran semakin kuat motivasi untuk menggantikan Pancasila.
Orang- orang yang sering mengatakan jangan mengaku Pancasilais kalau sikap dan perilakumu masih korupsi dan belum adil, pernyataan seperti ini direduksi dari perilaku oknum politik yang masih melakukan korupsi untuk melaksanakan politik adu domba dan untuk menyebar ketakutan, kekhawatiran terhadap warga negara sehingga terjadi krisis kepercayaan kepada ideologi Pancasila, setelah rakyat Indonesia kehilangan krisis kepercayaan kepada Pancasila maka orang- orang itu mengambil kesempatan untuk menawarkan dan mempromosikan ideologi- ideologi yang sekian lama telah dipersiapkan menggantikan Pancasila.
Kita harus belajar dari zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Ketika Jepang pertama kali masuk ke Indonesia yang ditawarkan ke rakyat Indonesia waktu itu adalah gerakan 3A yang didirikan pada bulan April 1942. Semboyan 3A ini yakni: 1. Jepang Cahaya Asia, 2. Jepang Pelindung Asia, 3. Jepang Pemimpin Asia. Semboyan 3A ini ternyata itu adalah Jurus pamungkas Jepang untuk mencari simpatik rakyat Indonesia, dengan jurus ini Jepang seolah datang sebagai malaikat penyelamat untuk menyelamatkan Indonesia dari tangan penjajah kolonial Belanda, kenyataanya itu hanyalah rayuan, berjalannya waktu ternyata Jepang juga memiliki hasrat atau hawa nafsu yang sama seperti Belanda, yakni ingin menguasai dan menjajah bangsa Indonesia.
Sekali lagi penulis ingin menegaskan bahwa sikap atau perilaku sesorang tidak akan mampu mengubah kebenaran yang mutlak. Bukan berarti penulis adalah orang yang kompromi dengan korupsi, tidak!. Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada temuan bahwa masih ada korupsi, negara belum adil, itu aadalah tugas dan tanggung jawab kita untuk terus membenahi agar bangsa ini berjalan sesuai cita- cita bangsa dan ideologi Pancasila, “Bukan Menggatikan Pancasila”.
Mengakui diri saya Pancasilais bukan berarti untuk mengangkat martabat satu kaum tertentu, melainkan ini adalah kewajiban kita sebagai warga Negara Indonesia. Sebab dengan mengakui kita adalah Pancasilais kita dapat menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap ideologi Pancasila. Teruslah bumikan saya Pancasilais, dan jangan pernah terganggu dengan masih adanya perilaku korupsi, toh korupsi itu dilaukan hanya okum orang tertentu, jangan kemudian kita menjeneralisir semuanya. Kita harus bijak dan lebih luas memandang satu persoalan.
Tugas kita adalah menjaga Pancasila agar tetap hidup sebagai Ideologi yang dapat mempersatukan bangsa, kemudan selanjutnya secara bertahap kita mengaktualisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun belum sempurna jangan putus asah sebab kita adalah Pancasilais. Jangan menunggu sempurna dulu baru melalukan hal-hal baik, manusia adalah tempat yang salah. Sebab karena dari kesalahan-kesalahan itulah tugas kita untuk terus melakukan perbaikan, pembenahan diri untuk menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Penulis adalah Aktivis GMNI Kota Malang