Pakar Pertanian Tawarkan Resep Pertumbuhan Ekonomi 7,5 Persen
Berita Baru, Jakarta – Pakar pertanian, Achsin Utami Choliq, dalam tulisan di akun Facebook miliknya menyampaikan, Aquaculture Estate dan Farming Estate dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 7,5 persen. Selain itu, modernisasi pertanian juga dapat membuka lapangan kerja yang besar.
“Sampai tahun 1929 Amerika Serikat adalah pengimpor pangan terbesar di dunia. Kemudian, di masa pemerintahan Presiden Roosevelt, dibangunlah infrastruktur pertanian Farming Road, Bendungan, Irigasi dll. Hanya dalam 7 tahun AS jadi lumbung pangan nomor satu di dunia sampai sekarang,” tulis Achsin, Senin (25/05).
Contoh lain, tulis alumni Institute Teknologi Bandung (ITB) itu, terjadi di Brazil. Di masa pemerintahan Presiden Lula, Brazil melakukan hal yang sama dengan Amerika. Dalam waktu 10 tahun, negara pengutang terbesar di dunia tersebut berubah menjadi Agro Industri nomor dua setelah AS.
“Negara maju seperti Jerman, China dan Jepang pertanian tetap menjadi prioritas utama,” lanjutnya.
Sementara, lanjut Achsin, Indonesia sebagai Negara Agraris justru menjadi negara pengimpor produk pertanian. Per tahun, Indonesia mengimpor 12 juta ton tepung, 5 juta ton gula, 500 ribu ton daging, 2.5 juta ton kedelai, 2.5 juta beran dan produk pertanian lainnya.
“Ini tidak boleh terus terjadi. Pertanian gurem yang sudah ada perlu dibina. Pemerintah harus membangun Aquaculture Estate dan Farming Estate moderen yang dikelola managemen professional dengan melibatkan pemuda-pemuda trampil yang dilatih,” ungkapnya.
Menurut Achsin, Aquaculture punya potensi export (US$ 250 miliar), pertanian untuk ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi–dengan didukung fasilitas panjang pantai lebih 100 ribu km dan luas laut sekitar 500 juta hektar, namun belum terkelola optimal.
“Naik kelas dari Negara Agraris menjadi Negara Agro Industri memang tidak mudah. Perlu upaya besar. Birokrasi pemerintah kita yang menghambat di segala lini perlu di-install ulang atau kalau perlu di-shutdown sejenak agar penyakit lama tidak bersambung,” paparnya.
Tidak hanya itu, menurut Achsin lembaga riset dan Litbang harus dipaksa memberikan kontribusi. Jika kelak ekonomi tumbuh, biaya riset harus ditambah lebih besar.
“Orientasi riset harus fokus menutup impor pangan. Jangan minta tambah biaya riset kalau hasilnya belum jelas. Kita maju bersama menuju Indonesia baru,” pungkasnya.