Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pak Tua dan Roti Gandum | Cerpen Nigina Aul
Ilustrasi: Van Gogh

Pak Tua dan Roti Gandum | Cerpen Nigina Aul



Pak Tua memarkirkan mobil—yang tak kalah tua—miliknya di dekat gapura pemakaman umum. Dia keluar dan berjalan perlahan. Tangan kanannya menopang pada tongkat, sedangkan tangan kirinya menjinjing keranjang berisi bunga lili putih dan dua potong roti gandum yang terbungkus plastik transparan.

Keadaan pemakaman terasa penuh dan sesak. Banyak gundukan tanah yang masih basah. Namun keramaian ini tetaplah kebisuan yang panjang. Pemakaman, seramai apa pun tetaplah tempat paling sepi. Pak Tua terus berjalan melewati deretan pusara hingga tiba di satu pusara, di bawah pohon kamboja. Beberapa bunga kamboja luruh dan berserakan di atas pusara itu. Pak Tua berusaha untuk bersimpuh di sampingnya. Dia menunduk dan memejamkan mata. Desau angin mengisi keheningan di sana. Doa-doa turut terbang bersamanya.

Setelah cukup lama, Pak Tua kembali membuka matanya. Tangannya terulur untuk mengusap nisan bertuliskan wanita yang dicintainya itu. Kemudian diambilnya bunga lili putih dari keranjang. Diletakkannya bersandar pada nisan.

“Kemarin aku sakit lagi. Jadi aku baru bisa datang sekarang,” ujarnya, seakan membela diri dari omelan seseorang.

Tidak ada jawaban apa pun selain desau angin yang menerbangkan daun-daun. Tempat itu sepi sebagaimana mestinya.

“Akhir-akhir ini aku lebih sering sakit. Kurasa aku sudah semakin tua,” lanjutnya.

Pak Tua terdiam beberapa saat, seakan menyadari sesuatu. Detik berikutnya, dia meraih keranjang, mengambil roti gandumnya. Dibukanya bungkusan yang menutupi roti tersebut. Aroma gandum menguar di sekitar hidungnya.

“Hari ini aku memutuskan untuk makan roti gandum. Tukang roti zaman sekarang tidak ada yang pandai membuat roti. Kurasa yang terenak memang roti buatanmu.” Pak Tua sedikit menggerutu.

“Kau ingat Ann, dulu kita sering menikmati roti gandum hangat dan secangkir teh di beranda. Sambil menatap anak-anak kita di halaman. Kadang-kadang kita membicarakan buku-buku. Sekarang aku sadar, itu adalah momen terbaik dalam hidupku.”

Ingatannya kembali ke masa ketika semuanya masih terasa menyenangkan. Ketika rumah selalu hangat dan bersih. Saat sentuhan tangan wanita yang dicintainya masih menata bunga-bunga kesayangannya di pekarangan.

Betapa waktu berlalu dengan cepat. Pak Tua masih ingat betul pada hari ketika dia menyematkan cincin di jari manis wanita itu. Dengan malu, wanita itu tersenyum. Pak Tua yang saat itu masih muda dan tampan mengecup punggung tangan dan kening wanita yang dicintainya di depan orang-orang.

Kemudian hari-hari berlalu. Cerita tidak seindah yang dibayangkan. Ada banyak masalah yang terjadi. Kebangkrutan, kecelakaan, kehilangan, dan yang paling berat saat itu adalah kenyataan tidak akan adanya anak-anak yang bisa tumbuh di rumah mereka.

Tapi mereka bisa mengalahkan semuanya. Hari-hari tetap dijalani berdua. Mereka selalu berhasil menciptakan cinta di rumah. Buku-buku dan bunga-bunga akhirnya menjelma anak-anak. Mereka sangat menyayangi dua benda itu.

Kebahagiaan barangkali membuat waktu berjalan dua kali lebih cepat. Tiba-tiba keduanya menjadi tua. Hingga hari yang tak pernah mereka bicarakan akhirnya tiba. Pertanyaan yang tidak pernah diucapkan terjawab dengan sendirinya. Pertanyaan tentang siapa yang lebih dulu pergi.

Takdir membawa wanita yang dicintai Pak Tua pergi lebih dulu. Wanita itu pergi dalam tidur yang damai, seakan tidak ingin membuat Pak Tua khawatir. Sejak itu Pak Tua kehilangan sebagian besar warna dalam dunianya. Hari-hari kian kelabu. Mereka selalu bisa menghadapi semuanya bersama, kecuali maut.

Pak Tua mengerjap ketika tersadar dari lamunan. Dia menggigit roti gandum yang sejak tadi hanya dipegangnya dengan perlahan. Sejak dulu dia memang menyukai roti gandum tanpa tambahan toping apa pun.

“Kau jangan berpikir aku sekarang jadi cengeng, ya. Aku hanya sedikit kesusahan. Itu saja.”

Gigitan kedua. Pak Tua mengunyah roti gandumnya perlahan seraya menatap bunga lili putih yang tadi disimpannya di dekat nisan.

“Maaf bukan krisan yang kubawa. Hari ini rasanya aku ingin membawakanmu lili putih. Kau pasti sudah tahu artinya apa tanpa perlu aku jelaskan. Jangan paksa aku mengungkapkan hal yang romantis. Aku tidak pandai.”

Gigitan ketiga. Roti gandum itu tersisa setengah. Pak Tua mengembalikannya ke dalam keranjang.

“Ann, rasanya aku lelah. Dunia semakin tidak keruan. Sudah lama aku hanya menumpuk koran-koranku dan berhenti menonton berita. Akhir-akhir ini isinya selalu kabar duka. Aku tidak suka. Kau lihat di sekitar sini, cukup banyak makam baru. Ya, memang banyak sekali orang mati akhir-akhir ini.” Pak Tua mengedarkan pandangannya. Di tempat itu memang cukup banyak tanah merah dengan nisan yang baru ditancapkan.

“Kau tahu, terakhir aku membaca koran, pemerintah kita bahkan menyiapkan lahan yang cukup luas untuk dibuat pemakaman. Kadang aku tidak mengerti dengan cara mereka bekerja. Setiap hari mereka menghitung kematian dan menuliskannya di koran. Tapi tidak melakukan tindakan besar untuk menyelamatkan manusia dari kematian massal. Mereka sepertinya tidak peduli bahwa dalam setiap angka yang tercatat, ada kesedihan yang tak terhingga di sana.”

Pak Tua kembali meraih roti gandumnya dan mulai menggigitnya kembali. Dia menyadari satu hal, kalau saja wanita yang dicintainya benar-benar ada di hadapannya, pasti wanita itu akan mengomel, “Jangan sisakan makanan. Di sana ada kerja keras orang-orang. Kau harus menghargainya!”

“Ann, kurasa aku tidak akan lebih lama lagi tinggal di sini. Baguslah. Aku takut tempat di sampingmu ditempati orang lain kalau aku tetap di sini. Aku hanya harus menemukan seseorang yang bisa merawat rumah dan anak-anak kita. Kau tahu, bunga-bunga itu tidak bisa tumbuh dengan sendirinya.”

Hari semakin siang. Pak Tua sampai pada gigitan roti gandum terakhirnya. Sementara dalam keranjang masih ada satu bungkus yang belum dibuka. Kalau saja batu nisan bisa memakan roti gandum, dia akan dengan senang hati memberikannya. Dia menepuk tangannya dan mengibaskan remahan roti di pakaiannya.

“Aku pulang dulu ke rumah. Besok lusa aku mungkin sudah pulang ke sisimu. Kau tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian lebih lama lagi,” ujarnya. Diusapnya kembali nisan bertuliskan nama wanita yang disayanginya itu.

Perlahan dia bangkit dengan menopang pada tongkatnya. Lalu dengan lambat dia melangkah menuju mobil tua di depan gapura.

Langkah Pak Tua tidak bisa lebih cepat lagi. Ada sedikit rasa panas menjalar di dadanya. Tapi dia tidak menghiraukan itu. Kakinya tetap melangkah meski lambat. Angin kembali berembus pelan. Satu bunga kamboja terjatuh ke tanah tepat di sisi pusara yang baru saja ditinggalkan Pak Tua.


Nigina Aul, lahir di Bandung pada bulan April. Suka menulis, pelihara ikan, dan melihat Ibu menanam bunga-bunga. Bisa dihubungi di Instagram @niginaul