Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Omnibus Law Akan Picu Kehancuran Tanah Papua

Omnibus Law Akan Picu Kehancuran Tanah Papua



Berita Baru, Jakarta – Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI akan menjadi ancaman serius bagi hutan dan kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua.

Juru kampanye Hutan Papua Greenpeace Asia Tenggara di   Indonesia, Nicodemus Wamafma menjelaskan Omnibus Law telah menghapus pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan. Undang-undang baru itu menghapus atau mempermudah persyaratan izin lingkungan dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan menghilangkan keterlibatan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku perusakan lingkungan.

“Seluruhnya dikendalikan pemerintah pusat. Mereka menjadi pemain inti dalam menentukan proses investasi,” jelasnya, Senin (5/10).

Nicodemus menegaskan bahw Omnibus Law menghilangkan partisipatif masyarakat dalam memutuskan pelaksanaan sebuah proyek. Aturan baru itu juga menghilangkan kewajiban pelaku usaha dalam pemenuhan standar lingkungan, dan memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan.

Omnibus Law, lanjut Nicodemus akan mengurangi hak atas informasi, menghapus kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin, menghapus prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) kepada pelaku pencemaran, menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat.

“Saat Omnibus Law dilaksanakan di Papua, kita bisa bayangkan saja. Saat ini, tanpa RUU Cipta Kerja, saja sudah lebih dari 10.6 juta hektar lahan telah dikonversikan. Untuk izin perkebunan sawit  2,9 juta hektar, untuk izin Hak Pengusahaan Hutan 5,9 juta hektar, dan untuk izin Hutan Tanaman Industri 1,7 juta hektar. Semuanya menyisakan konflik terkait hak-hak ulayat masyarakat adat yang tidak mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan luas lahan dan hak yang hilang,” kata Wamafma.

Dalam praktiknya, menurut Nicodemus berbagai investasi dan konversi kawasan hutan itu tidak memperbaiki kesejahteraan masyarakat adat di Papua. Bahkan kondisi masyarakat adat justru semakin memburuk dari aspek kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup.

Menurutnya, kehadiran Omnibus Law akan menyebabkan hilangnya hak atas tanah, hutan dan sumber daya alam masyarakat adat Papua.

“Kita selalu mengakui bahwa Tanah Papua bukan ruang kosong tanpa pemilik. Namun RUU Cipta Kerja akan membuka ruang investasi seluas-luasnya, diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat, tanpa intervensi daerah,” katanya.

Akibatnya, posisi tawar masyarakat adat Papua akan lemah di hadapan pemerintah pusat di Jakarta. Nicodemus memperkirakan akan ada hak ulayat yang hilang diberikan kepada investor/korporasi, dan akan ada lagi jutaan hektar tanah dan hutan beralih menjadi perkebunan, konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), atau menjadi kawasan pertambangan.

“Kehilangan hak atas tanah, hutan dan SDA berpotensi juga menimbulkan persoalan/konflik sosial dalam masyarakat adat/suku. Kemudian akan muncul konflik dan pertikaian antara suku, marga dan keluarga terkait batas-batas dan hak ulayat, karena luasan tanah dan hutan yang semakin sempit dan terjadinya saling klaim dan caplok tanah dan hutan,” ujarnya.

Nicodemus menyatakan saat ini saja dampak ekologi berupa deforestasi telah sangat terasa. Menurutnya, lebih dari 400.000 hektare hutan telah hilang dan terdeforestasi selama kurun waktu 2011-2018, karena dijadikan perkebunan sawit, HPH, dan HTI.

Nicodemus menjelaskan, saat UU Cipta Kerja dilaksanakan, kemudahan memperoleh izin investasi, penghapusan syarat izin lingkungan dan studi AMDAL dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diperpanjang dari 35 tahun menjadi 90 tahun (satu generasi).

“UU ini akan membuka ruang lebih banyak lagi investasi, membabat hutan alam, merusak dan mencemari sumber air, lautan dan lingkungan hidup, dimana Masyarakat Adat hidup dan menggantungkan kehidupannya. UU ini akan menjadi ancaman serius kepunahan kebudayaan dan bahasa suku-suku di Tanah Papua,” pungkasnya.