Olive Hateem dan Kegelisahannya sebagai “Perempuan Buku”
Berita Baru, Tokoh – “Sebenarnya saya tidak nyaman ketika teman-teman melabeli saya dengan duta baca. Saya merasa, saya baca buku bukan sebab label itu melainkan karena saya sendiri yang sudah sejak lama jatuh cinta pada buku,”
Itulah kutipan dari Olive Hateem, Duta Baca untuk Provinsi Yogyakarta 2018-2019, ketika berdiskusi dengan Nafisa Nainawa dalam #Bercerita ke-39 pada Selasa (16/3).
Menurut Olive, untuk membaca buku siapa pun tidak perlu menjabat posisi tertentu seperti harus mahasiswa dulu baru membaca atau bahkan harus jadi dosen dulu baru melakukannya.
Membaca itu soal empat (4) hal yang ketika butuh ini, maka kita penting untuk membiasakan membaca. Mereka meliputi latihan untuk kekuatan pikiran, kemudahan memahami sesuatu, kepuasan dalam menjalani hidup, dan piknik.
Ketika kita merasa penting untuk memiliki itu semua, maka di situlah kita akan mulai tertarik pada buku, membacanya, dan lalu jatuh hati.
“Jadi, ini bukan soal label. Untuk membaca itu piknik misalnya, karena saya terbiasa membaca sejak umur 3 tahun, maka kalau sedang gundah begitu dan saya membaca buku yang kusuka, efeknya itu bagus. Kegundahannya langsung bergeser, menjadi pelangi,” kisahnya santai.
Tentang semangat membaca buku, Olive menyebut bahwa jalan paling mudah agar seseorang mau membaca buku adalah dengan mencoba mencari satu buku dulu yang sekiranya ia akan suka dengan buku tersebut.
Kenapa langkah ini penting sebab dengan buku yang sesuai passion, kita akan lebih berkemungkinan untuk suka membacanya dan, jangan salah, menyukai membaca satu buku adalah pintu masuk untuk buku-buku selanjutnya.
“Dalam gambaranku, inilah cara terbaik supaya kita bisa suka baca,” tutur mahasiswi akhir Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Saat kita sudah mulai menyukai buku kemudian yang perlu diingat adalah kita penting untuk tidak membaca satu jenis buku saja. Di lapangan, kita menemui banyak orang dengan beragam latar belakang dan isu yang di bawanya masing-masing, sehingga jika bacaan kita hanya satu genre, tentu ini persoalan.
Siapa pun, Olive melanjutkan, akan kesusahan untuk menemukan klik jika ia tidak bisa mengimbangi isu yang diutarakan lawan bicara. Walhasil, di titik inilah pentingnya membaca beragam buku menemukan momentumnya.
Minat baca orang Indonesia rendah?
Dari banyak pengalamannya berinteraksi dengan anak-anak, komunitas, dan semacamnya serta bertukar cerita dengan beragam pihak, khususnya berhubungan dengan literasi, Olive merasa ada yang kurang tepat—dalam arti kita penting untuk melihat metodologinya—dari rilis Central Connecticut State University (CCSU) tentang World’s Most Literate Nation yang menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara.
[22/3 21:24] Ipung: Di benak Olive, teman-teman Indonesia memiliki minat baca yang cukup tinggi. Rilis di atas sebenarnya soal pemahaman literasi atau sejauh mana masyarakat di suatu negara memahami sesuatu dan satu lagi: akses.
“Jadi, itu tidak murni soal tingkat membaca sih, tapi tentang tingkat pemahaman masyarakat dan akses, seperti tersedianya toko buku, perpustakaan, dan pengiriman buku,” ujar perempuan pecinta buku-buku Seno Gumira Aji ini.
Untuk akses, yang paling memberatkan, menurut Olive, adalah biaya kirim. Untuk membeli satu buku saja di Jawa, karena pusat buku adalah Jawa, kita harus mendapatkan dua kali lipat harga. Pasalnya, ongkos kirimnya setara dengan harga buku, bahkan melebihi.
Ihwal Duta baca Jogja, rekayasa akses, dan persoalan literasi Indonesia
Boleh disebut yang menjadikan Olive terpilih sebagai Duta Baca Jogja, selain kesukaannya terhadap membaca, adalah visi yang ia miliki.
Ketika sesi wawancara dalam seleksi menjadi Duta Baca Jogja, ia menjelaskan bahwa visinya ketika dipilih sebagai duta baca nanti adalah menjembatani berbagai pihak yang terikat satu sama lain oleh buku, mencakup penerbit, perpustakaan, penulis, dan pembaca supaya mereka bisa saling berkomunikasi.
Ini penting, salah satunya sebagai rekayasa akses di antara semua pihak tersebut. Semisal ada seseorang yang butuh suatu buku, ia bisa menghubungi perpustakaan terdekat dan jika di perpustakaan kosong, ia bisa berbicara dengan penerbitnya atau bahkan si penulis.
Kesadaran akses semacam ini bukan datang begitu saja seperti kupu-kupu di malam hari. Interaksi Olive dengan buku, komunitas-komunitas literasi, dan pengalamannya sendiri ketika harus memburu buku waktu masih SMP di Palembang merupakan alasan kuat hingga kesadaran tersebut melekat dalam dirinya dan membawanya menjadi seorang Duta Baca Provinsi.
Yang terakhir, entah sebagai perempuan yang jatuh hati pada buku ataupun seorang Duta Baca Jogja, Olive menegaskan bahwa pada dasarnya persoalan literasi Indonesia terletak pada tiga (3) hal: akses, upaya meninggalkan gawai, dan pembiasaan membaca sejak kecil.
“Akses berhubungan dengan hal-hal tadi, pengelolaan ponsel dengan waktu efektif kita, sedangkan kebiasaan baca sejak kecil itu tentang keluarga sih, yaitu bagaimana ibu, ayah, atau saudara bisa menjadikan rumah sebagai tempat yang bisa memantik anak untuk membuka buku,” kata Olive.