Ode Untuk Titan | Puisi-Puisi Titan Sadewo
ODE UNTUK TITAN, 1
nyatanya kau duri dalam lambung. berumah dalam pedih-perih. hari tak pernah sampai. tahun berganti, siapa menunggu? di seberang, kau teropong tubuhku—waktu yang tepat—menembak peluru kemurungan, sesudah rencana penuh lencana, sekarang kau tahu bahwa aku adalah batas kebencian masa lalu.
2021
ODE UNTUK TITAN, 4
tidak mungkin Walcott tidur malam ini. sebab laptop masih menyala. Neruda & Paz masih bincang di beranda. Rimbaud jebar-jebur, mandi tengah malam bikin rematik! kata Frost. kamu percaya mitos?! Rimbaud berteriak. mengapa selalu berisik? tanya Yeats. tapi Plath telah pergi & kembali cuma prasangka. Wislawa memotong tangannya di dapur. tidak mungkin.
2021
ODE UNTUK TITAN, 8
after yesterday: toko-toko tak menjual pelukanku & kau di sana sekarat dingin. garis tangan sore itu, taman mekar keramaian & sepasang bocah memasang sayap. kau melupakan—aku mengingat, kematian & surat terakhir yang kau tulis—after yesterday: hai, langit yang terbakar, ajal menjilatku.
2021
ODE UNTUK TITAN, 9
dari tempat ini, langit menghancur muka. berapa cm jarak aku & kematian? ukurlah dengan murungmu. 1% hidup, 99% skizo. seorang mengetuk pintu, tamu itu datang lagi. jangan hidangkan kencing unta. sebab gelas akan pecah: hatimu, darah itu … (dari kalimat ini, sebenarnya sudah selesai) tapi kebencian + nomor whatsapp = kalimat yang itu juga.
2021
ODE UNTUK TITAN, 12
kesedihan menyimpan duri, suara yang memanggil & kita tak selesai: terasa berdarah. hidup, lagu yang berulang. sebutlah namaku dengan huruf kecil. kau masih di situ? duduklah, bakar cium-peluk, berikan … terasa berdarah. seperti selamat tinggal dengan bahasa asing. lalu petir, sebadai hujan. aku masih di sini. menunggu jadwal kematian. mesin tik itu … kau pernah bilang: hidup, cinta yang berulang. tapi ajal depan pintu, kan? kesedihan menusuk duri, suara yang terdiam & kita ternyata selesai: terasa murung.
2021
ODE UNTUK TITAN, 16
beberapa hal datang: nanah warna hitam, surat tanpa salam & piano … ya, instrumen untuk kematian. kau bukan pengirimnya. aku menduga lelaki itu: nama di antara alhamdulillah & haleluya. wajah yang basah, tangan-kakinya beringin tua & ketika ditanya tentang hidup, ia selalu berkata: kapal-kapal diciptakan untuk tenggelam, tapi laut tak pernah tahu. setelah itu mengambil korek & balik bertanya: mengapa api tak punya sayap? & di dalam surat ini, ia menjawab pertanyaannya sendiri.
2021
Titan Sadewo. Lahir di Medan 2 Desember 1999. Mahasiswa Pend. Bahasa Indonesia FKIP UMSU. Berkomunitas di FOKUS. Puisinya dimuat Analisa, Apajake.id, Bacapetra.co, Bali Post, Banjarmasin Post, Biem.co, Buletin Filokalia, Buletin Lamun, Buletin Lintang, Buruan.co, Haluan Padang, Jurnal Sastra Santarang, Kibul.in, Majalah Mata Puisi, Rakyat Sumbar, Riau Post & Tempo.
Selain kuliah, kesehariannya ialah pengajar creative writing & menjadi pembicara di berbagai diskusi sastra. Menetap di Medan, tepatnya di Jalan Kapten Sumarsono, Jl. Mawar, Gg. Pribadi, Nomor 157. Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang.