Obituarium Ayah | Puisi-Puisi Royyan Julian
Turbulensi
Maut adalah kata yang jauh
dan tak menyentuh
Tetapi di sini
langit-langit kabin berkedip
sementara ajal mengetuk
kaca jendela
Kematian merayap dari ujung kaki
lalu merambat ke tulang punggung
Menit bergeming di hadapan ajal
dan bayangannya yang pekat
raib di tumpukan detik
Barangkali maut masih
kata yang tak terjamah:
begitu dekat
dan terasa jauh
2021
Tiang Garam
: Bara & Cika
Kau datang sebagai hujan
dan membasahi tubuhku
yang telah menjadi garam.
Di keningku yang retak
kau menggores namaku
yang hilang.
Lalu kita
menegakkan pintu
membingkai jendela
dan membentangkan atap
di atas ijab yang tak pernah
diucapkan di hadapan Tuhan.
Dan kita sama-sama tahu
masa depan yang kita bangun
selalu akan tiba
tapi tak pernah benar-benar tiba.
Kita tidak mungkin bahagia.
2021
Obituarium Ayah
: Afdira Tomy
Ia bercermin
dipusara ayah sambil
merangkai yang tertinggal
dan membangkitkannya
sebagai waham.
“Kenangan ini seperti jejak
yang tak lekas pudar,”
ia berkata kepada masa lalu
yang menggigil di hadapannya.
Kematian adalah bahasa ibu
yang tak pernah majal di ujung lidah
dan takkan punah dikikis sejarah.
Nasib memang terlalu gegabah
menulis kisah muram,
batas masa silam,
dan perkabungan panjang.
“Barangkali Tuhan berambisi
menjadi ayah hingga menjebakku
di sangkar masa kecil
yang sukar kutemukan
jalan keluarnya.”
2021
Kata Yang Hilang
: Lian Fawahan
Kita mencari kata yang hilang
dari kalimat yang tak mungkin lengkap
di antara redup percakapan,
lindap hujan, kilap lampu jalan.
Malam pun usai
di ujung kretek yang tak habis terbakar
dan membiarkan gumam
terus merayap ke pangkal gelap.
Lalu kau meratap,
“Andai usia kita melambat”
dari duka yang terlambat.
Tetapi kita hanya bisa
mencium pungkur kata
dari hangus kalimat
yang takkan pernah kita
temukan jasadnya.
2021
Serenada
: Anis & Faruk
Ia melentingkan gusar
ke arah dawai
hingga hari keempat puluh
ketika maut telah penuh.
Kelak kau mengetuk pintu
saat malam semakin kincup
karena pias penantian
tak bisa ditaksir
oleh satar paling sabar.
Dan kau mendapatinya
telah direnggut
kangen dan kama
yang membuat sekujur
tubuhnya gemetar.
“Aku telah menunggumu
sebelum dunia diciptakan,
tapi kau baru tiba saat
segalanya akan musnah,”
bisiknya sambil menangkupkan
wajah ke dadamu yang keropos.
Diam-diam kau menyeka air mata
yang menggenang di kelopak
dan berjanji tidak akan
meninggalkannya lagi.
Padahal kehilangan
telah menjadi korosi
yang mengikis hidupmu
dan tak tahu kapan
kau akan melepasnya
untuk selama-lamanya.
2021
Royyan Julian menulis sejumlah buku. Buku puisinya berjudul Biografi Tubuh Nabi (Basabasi, 2017).