Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mungkinkah Korupsi Sirna

Mungkinkah Korupsi Sirna?



Beda tipis antara korupsi dan ucapan balas budi. Yang membedakan mungkin hanya caranya saja. Korupsi lewat jalan samping, sedangkan ucapan balas budi atau tanda terima kasih lewat jalan belakang. Meski demikian, sebenarnya dari kebiasaan adanya tanda terima kasih seperti inilah seseorang bisa mendapatkan pembenaran untuk mengambil hak orang lain, korupsi. 

Melihat fenomena korupsi di negara ini yang semakin menjadi, satu pertanyaan pantas dimunculkan: mungkinkah korupsi sirna? Selama budaya atau politik balas budi menjadi suatu hal yang wajar, bahkan “wajib”, rasanya sulit untuk mengatakan korupsi bisa lenyap. Karena kita yang tiap hari teriak antikorupsi pun boleh jadi tetap berkenan menerima pemberian tertentu dengan dalih ucapan terima kasih.

Ada dua (2) hal setidaknya mengapa korupsi sulit diberantas: ihwal integritas pribadi dan sistem. Tindak korupsi yang terjadi di hampir setiap lini diakibatkan oleh lemahnya integritas pribadi. Kelemahan integritas diri menyebabkan seseorang rentan untuk goyah sebab godaan materi. Pada sisi lain, hal tersebut juga berhubungan dengan larutnya individu dalam pusaran sistem yang tidak baik (systemic corruption). 

Maraknya kasus korupsi, baik yang terungkap maupun tidak, menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi semacam “budaya” yang mendarah daging, khususnya yang dilakukan oleh oknum wakil rakyat. Dalam kasus ini, praktik korupsi tidak saja menjelma momok menakutkan perenggut hak rakyat, tetapi juga menjadi peruntuh kepercayaan terhadap penyelenggara negara. Sebagai akibatnya, setiap usaha yang dilakukan para wakil rakyat untuk membangun citra yang positif seperti pribadi antikorupsi, bersih, dan transparan tidak lebih dari upaya untuk menegakkan benang basah. Nihil. Masyarakat sudah terlanjur mual dengan ulah maling-maling uang rakyat.

Praktik korupsi sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan, tetapi dengan nama dan istilah yang berbeda. Masyarakat feodal misalnya, sebelum Barat menjajah, mereka sudah memiliki tradisi upeti. Upeti diberikan supaya kedudukan mereka yang berada di bawah aman. Upeti adalah jaminan, jika bukan sogokan. Kendati demikian, budaya korupsi sempat kandas pada masa awal Kemerdekaan Indonesia ketika hampir semua anak bangsa berjuang bersama tanpa memikirkan kepentingan pribadi.

Jika pada celah tertentu, Indonesia sempat terbebas dari korupsi, tentu ia memiliki kesempatan untuk mengulanginya. Sinergi antara berbagai pihak mutlak dibutuhkan di sini dan di samping itu ada dua (2) hal yang kiranya penting dicermati. Pertama, sanksi dan hukuman bagi koruptor harus diberikan secara tegas dan berat sehingga memberikan efek jera, bukan justru “kenyamanan”. Namun, fakta yang ada malah menggambarkan keadaan yang kontradiksi, yaitu perlakuan yang spesial. Di luar itu, pidana kurungan yang dijatuhkan kepada mereka pun ringan. Hukuman denda dan uang pengganti juga belum maksimal. Ketika kerugian yang ditimbulkan mereka sejumlah Rp 1,6 triliun misalnya, maka dendanya harus dalam angka tersebut, bukan malah hanya Rp 20 juta.  

Satu paket dengan pemberian hukuman yang tegas dan berat kepada koruptor, pemerintah juga seyogyanya memperhatikan masalah disparitas pidana. Mahkamah Agung (MA) tidak bisa tidak memiliki pedoman yang jelas sehingga vonis yang diberikan tidak menimbulkan adanya disparitas. Perihal bagaimana mengubah pandangan masyarakat terhadap perlakuan istimewa yang diberikan kepada koruptor pemerintah pun harus menaruh perhatian serius. Misalnya, perlakuan istimewa di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, ketika para koruptor mendapatkan fasilitas istimewa berupa saung-saung untuk beristirahat dan menerima kunjungan serta menggunakan alat komunikasi dengan sesuka hati, hingga kesempatan untuk menginap di hotel secara prodeo.

Kedua, dengan memupuk kembali budaya malu yang selama ini semakin luntur. Malu ketika melakukan suatu kesalahan, sebagai salah satu budaya kita sebagai bangsa ketimuran, makin terkikis manakala uang, kekuasaan, dan jabatan mengalahkan akal jernih manusia. Logikanya, ketika seseorang berbuat alpa—sudah ditetapkan menjadi tersangka dalam suatu kasus korupsi skandal megaproyek misalnya—seharusnya berkenan dengan legawa untuk menanggalkan status jabatannya.

Jika budaya malu tidak dipupuk kembali sejak dini dan dari hal-hal sederhana, seperti malu dan mau meminta maaf ketika berbuat salah kepada orang lain, maka dikhawatirkan dapat membentuk masyarakat permisif. Termasuk di dalamnya adalah membudayakan malu dari diri sendiri jika melakukan korupsi, baik itu korupsi waktu maupun korupsi dalam bentuk material skala kecil.

Akibat Korupsi

Kalau setiap orang yang punya niat untuk berlaku korup, mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan, bisa jadi akan mengurungkan niatnya. Pertama, akibat bagi yang berbuat korup. Setiap orang yang berbuat korup akan memandang banyaknya keuntungan daripada kerugian, padahal di titik tertentu, jika perbuatan korup diketahui oleh orang lain, maka akan merugikan bagi dirinya baik secara mental maupun sanksi hukum, yaitu berupa pengasingan oleh masyarakat sekitar, apalagi jika yang bersangkutan merupakan tokoh publik, hingga adanya sanksi hukum, baik membayar denda, mengganti kerugian, atau dipecat dari posisi dan masuk penjara.

Kedua, akibat korupsi bagi bangsa dan negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kerugian negara akibat korupsi tahun 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Mengambil makna kata korupsi yang artinya merampas atau mengambil, maka ketika korupsi sudah menjadi budaya di suatu negara, akibat bagi negara tersebut adalah goyahnya stabilitas ekonomi dan masyarakat yang hidup dalam jerat kemiskinan.

Ketiga, akibat korupsi di bidang mental. Kebiasaan orang Indonesia adalah cermin budaya ketimuran, sopan santun, gotong-royong, serta tak lupa mengucapkan terima kasih setelah dibantu. Bermula dari ucapan terima kasih yang dibarengi dengan “salam tempel” berlanjut menjadi tradisi “wajib” ada. Mental berterimakasih adalah baik, tetapi diembel-embeli dengan pemberian sesuatu, yang seolah wajib, menjadikan mental orang Indonesia menjadi pengharap untuk diberi.

Dari kasus yang menimpa para pejabat negeri yang tersandung kasus korupsi berkali-kali memperlihatkan kepada kita betapa silaunya memiliki jabatan yang strategis, padahal label pejabat publik semestinya dimaknai sebagai pejabat untuk publik, bukan (uang) publik untuk pejabat. Semoga ke depannya, pejabat publik kita bisa lebih berhat-hati dalam setiap jengkal langkahnya. Semoga.


Mungkinkah Korupsi Sirna?

Muh Fajaruddin Atsnan

Pegiat Antikorupsi