Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Millenial Talk: Menakar Masa Depan Politik Pemuda Indonesia

Millenial Talk: Menakar Masa Depan Politik Pemuda Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Hasil Sensus Penduduk 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 69,90 juta jiwa angkatan milenial, 25,87 persen atau seperempat lebih dari total jumlah populasi 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia.

Sedangkan hasil riset Prioritas Nasional yang dilakukan Pusat Penelitian Politik LIPI di 34 provinsi dengan kegiatan survei publik yang melibatkan 2.100 responden, menyebutkan bahwa ada sekitar 35 persen sampai 40 persen atau setara dengan 80 juta dari 185 juta pemilih dalam Pemilu 2019 didominasi oleh generasi milenial.

Dalam pemilu 2024, pemilih generasi milenial dan generasi Z diperkirakan 54 persen. Menyikapi hal itu, Beritabaru.co melalui program Milenial Talk menggelar diskusi publik bertajuk “Menakar Masa Depan Politik Pemuda Indonesia” pada Senin (14/06/2021) pukul 19.00 WIB.

“Ini merupakan angka yang fantastik dan bisa terus bertambah. Maka bagaimana angka ini agar tidak hanya berarti ketika di dalam bilik suara aja. Tetapi bagaimana pemuda ini betul-betul memiliki peran serta kontribusi nyata,” ungkap Host Beritabaru.co Novita Kristiani saat membuka diskusi.

Diskusi yang digelar secara virtual ini menhadirkan Yayan Hidayat selaku Executive Director The Strategic Research and Consulting (TSRC), Tsamara Amani Alatas sebagai Ketua DPP PSI, juga hadir anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti, dan Abdul Ghoni selaku tokoh pemuda di Jawa Timur.

Yayan Hidayat: Partisipasi Politik Pemuda itu Dinamis

Memantik diskusi dengan tema Arus Politik Anak Muda, Executive Director TSRC, Yayan Hidayat menunjukkan lebih dari separuh populasi warga atau 53,21 persen merupakan generasi milenial dan generasi Z.

Banyak penelitian menyebutkan dalam beberapa literatur bahwa partisipasi politik anak muda justru menempati skor terendah di hampir semua bidang partisipasi politik.

Dalam pemaparannya, Yayan mengajukan tiga pertanyaan reflektif dalam melihat kondisi tersebut. Pertama, Apakah ada perbedaan nyata antara perilaku partisipasi politik anak muda dengan usia lainnya? Kedua, faktor apa saja yang menyebabkan perilaku yang berbeda antara tua dan muda?

“Ketiga, apakah ini benar-benar berarti bahwa anak muda tidak terlibat secara politik? Tentu kita tidak bisa kemudian mengambil kesimpulan secara umum bahwa partisipasi politik itu rendah. Tidak bisa kemudian kesimpulan kita itu melihat partisipasi politik pemuda dalam satu asas tunggal. Dia sangat dinamis,” ujarnya.

Anak muda punya cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya dalam mengekspresikan keyakinan politik. Seperti, lanjutnya, menggunakan instrumen media sosial atau media kreatif lainnya untuk menyampaikan aspirasi.

Anggapan yang menyebutkan bahwa partisipasi politik pemuda belum efektif dan masih rendah, dalam amatan Yayan, juga diakibatkan oleh kebijakan negara.

Jangan-jangan kebijakan pemerintah belum membaca secara detail bagaimana dinamika partisipasi politik pemuda. Misalnya banyak pemuda hari ini bergelut dalam komunitas-komunitas hobi yang di dalamnya mereka mendiskusikan isu.

“Nah itu belum dibaca sebagai konteks partisipasi. Banyak pemuda yang mulai membicarakan isu-isu politik dalam media kreatif. Dan itu tidak dibaca sebagai partisipasi. Ini menjadi refleksi kita bersama,” ungkapnya.

Tsamara Amani: Agar Anak Muda Tidak Hanya Menjadi Gimmick

Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amani Alatas dalam pemaparannya, ia menyampaikan ada ketidak percayaan antara publik dan partai politik yang selama ini terjadi pascareformasi.

Ia melihat bahwa sebenarnya partai politik bukan semata-mata tentang usia muda atau kepemudaan.Tapi yang paling penting, paparnya, adalah semangat dan keinginan dari setiap politisi atau tokoh dalam menawarkan kebijakan yang konkret untuk anak muda.

“Jangan sampai kita hanya bicara bahwa kita anak muda perwakilan anak muda tapi sebenarnya tidak ada kebijakan konkret atau upaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan anak muda,” ungkapnya.
Lebih-lebih hari ini semakin hanyak

permasalahan yang menyangkut anak muda. Seperti kasus pengangguran terdidik yang angkanya tinggi, dilanggarnya hak-hak pekerja yang mayoritas dari mereka adalah anak muda.

Di tahun 2019 misalnya, ia melanjutkan, banyak sekali politisi-politisi yang tiba-tiba menjadi anak muda. Tiba-tiba bersepatu sneakers, memakai topi, nongkrong di kafe. Padahal, menurutnya, anak muda itu tidak satu.

“Seolah-olah anak muda itu digeneralisasi menjadi anak muda gaul Jakarta yang nongkrong di kafe. Padahal anak muda itu luas sekali. Dan tidak bisa direpresentasikan dengan gaya gaul pakai sneakers dan pakai topi saja. Persoalannya itu kompleks,” ujarnya.

Sebagai politisi muda, ia berusaha untuk mengedukasi kepada anak muda bahwa apa yang terjadi kepada mereka merupakan kondisi politik. Maka penyadaran-penyadaran bahwa masalah yang mereka hadapi itu bisa diselesaikan dengan memilih anggota-anggota legislatif atau pesiden yang bagus itu perlu dilakukan.

Dan bukan hanya itu, lanjutnya, ketika sadar tidak hanya berakhir di proses memilih. “Tapi juga mencoba mengisi diskursus-diskursus publik ketika pemilu dengan diskursus persoalan anak muda sehari-hari,” imbuhnya.

Ia beranggapan ketika diskursus publik diisi oleh persoalan-persoalan anak muda, maka para politisi mau tidak mau akan mencoba memikirkan dan menjawab persoalan-persoalan tersebut. “Itu yang perlu ditingkatkan. Agar di tahun 2024 anak muda tidak hanya menjadi gimmick,” terangnya.

Menurutnya, tahun 2019 lalu, terlalu banyak gimmick tentang anak muda. Namun 2024 Pekerjaan Rumah bersama adalah mengisi diskursus politik Indonesia dengan isu-isu anak muda yang konkret.

“Dan mencoba menghasilkan solusi kebijakan yang konkret juga untuk mereka,” harapnya.

Dyah Roro Esti: Memperjuangkan Isu-Isu Pemuda dan Isu Berkelanjutan

“Memang peran pemuda tentu sangat amat penting untuk bisa melahirkan atau menciptakan undang-undang yang sifatnya pro pemuda lalu kemudian menciptakan undang-undang yang dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia bukan hanya lima tahun masa jabatan saja tetapi dampaknya dapat dirasakan 20-50 tahun kedepan,” papar, anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti.

Politisi muda Partai Golongan Karya (Golkar) ini menyadari bahwa kepercayaan publik kepada DPR dan partai politik masih sangat kurang. Ia mengutarakan bahwa anggota DPR terus meningkatkan kepercayaan publik dengan transparansi ataupun mengikutsertakan masyarakat dalam menentukan kebijakan.

“Dari awal saya sebetulnya goalnya adalah bagaimana dapat ikut serta dalam menciptakan masa depan yang keberlanjutan untuk bangsa dan negara Indonesia. Kebetulan di Komisi VII berkaitan dengan sektor energi. Gimana caranya kita melahirkan sebuah kebijakan yang dapat merealisasikan target tersebut. Merealisasikan Target 23% energi baru terbarukan di tahun 2025,” ungkapnya.

Dengan dimunculkannya kebijakan energi baru terbarukan ini, ia berharap mampu meningkatkan investasi serta mampu bersaing dalam pasar energi hari ini.

Ia juga mengungkapkan bahwa payung hukum energi ini merupakan sebuah terobosan. Sebelumnya, ia melanjutkan, di komisi VII belum pernah menjadi fokus utama. Sebab, yang selalu diurus adalah mineral dan batubara (Minerba) atau Minyak dan Gas (Migas).

“Energi baru terbarurakan ini sama sekali belum pernah difokuskan hingga sampai akhinya masuk prolegnas,” tuturnya.

Ia berharap dengan keberadaan pemuda di sebuah institusi khususnya di DPR RI, ia bisa hadir untuk memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan pemuda lalu kemudian tentunya isu-isu yang dampaknya betul-betul bisa dirasakan 20 sampai 50 tahun kedepan.

“Dengan 10% anggota parlemen pemuda mereka ditugaskan oleh fraksinya di masing-masing komisi yang ada. Kami berharap dengan kapasitas yang mereka miliki bisa menyuarakan sesuai daripada komisi yang diwakilkan untuk menyuarakan aspirasi pemudan dan rakyat Indonesia,” harapnya.

Abdul Ghoni: Keberpihakan Terhadap Pemuda Harus Dibuktikan

Hampir di setiap hajatan demokrasi lima tahunan, anak muda acapkali menjadi palagan politisi dalam merebut suara. 2019 lalu menjadi bukti bahwa identitas anak muda hanya sekedar menjadi gimmick yang dilakukan oleh politisi.

“Tokoh politik di negara kita berbondong-bondong menjual dirinya sebagai tokoh yang bisa berpenampilan muda. Kontestasi selesai maka semua juga selesai,” tegas Abdul Ghani.

Ia melihat, realitas hari ini, mereka yang berusaha untuk mengakomodir suara-suara pemuda masih belum bisa dikatakan berhasil. Padahal, lanjutnya, pemuda memiliku potensi yang sangat besar. “Itu membuat ketidakpercayaan pemuda kepada politik,” ungkapnya.

Imbasnya, justru dialami oleh pemuda yang memiliki ketertarikan untuk berproses di politik juga tidak percaya lagi. Hal itu diakibatkan oleh persepsi-pesepsi baru di tengah masyarakat melihat realitas politisi hari ini.

Apalagi, lanjutnya, seringkali pemuda disingkirkan oleh mereka yang memiliki keistimewaan di partai politik. Pemuda hanya sebatas identitas di setiap pemilu.

“Pada akhrinya secara kebijakan aspirasi kereka ditinggal. Jangan salahkan kalau mereka berubah haluan dalam melihat pemerintah,” paparnya.

Ia mengapresiasi tokoh muda yang saat ini berada di DPR, Stafsus, bahkan Menteri. Namun, bagi Ghoni, mereka berada di persimpangan jalan. Keberadaan mereka tidak mempengaruhi kebijakan secara signifikan.

“Jadi ada atau tidak perwakilan pemuda tidak akan mempengaruhi kebijakan yang ada. Pembuktian bahwa pemuda merupakaan hal yang strategis harus dibuktikan melalui kebijakan. Saya pikir itu harus dibuktikan,” harapnya.