Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menyoal Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Menyoal Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus



Berita Baru, Jakarta – Kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat, dari Januari hingga Maret 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sebanyak 1.008 kasus kekerasan seksual.

Menanggapi isu kekerasan seksual yang marak terjadi meski di era pandemi, khususnya di lingkungan kampus, Beritabaru.co melalui program Millenial Talk menggelar diskusi daring dengan tajuk “Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” pada Selasa (13/4) malam.

Hadir dalam diskusi tersebut, Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember Linda Dwi Eriyanti, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Imparsial Fakultas Hukum Universitas Jember Trinsa Dwi Yuni Aresta, dan Pusat Pelayanan Terpadu Kabupaten Jember Solihati Nofitasari.

Kekerasan Seksual dan Budaya Patriarkis

Saat menyampaikan materinya, Linda Dwi Eriyanti mengatakan bahwa kekerasan seksual tidak selalu dilakukan oleh lawan jenis kelamin, namun juga dapat dilakukan oleh sesama jenis kelamin.

“Perempuan bisa jadi mengalami kekerasan dari perempuan juga, kenapa ada yang seperti itu, karena adanya budaya patriarkis,” kata Linda.

Menurut Linda, budaya patriarkis yang mengutamakan kepentingan laki-laki, itu pelakunya bukan hanya laki-laki, karena perempuan juga banyak yang mendukung budaya tersebut.

Linda juga menyoroti kasus kekerasan seksual yang masih terjadi di  lingkungan kampus yang seharusnya dunia pendidikan sudah harus bebas dari kasus seperti itu.

“Pendidikan tinggi tidak menjamin adanya kesetaraan gender, dan keadilan gender, ini kritik juga bagi dunia pendidikan, dunia pendidikan perlu adanya reformasi total mengenai hal tersebut,” tutur Linda.

Kemunduran Berpikir

Pemateri selanjutnya, Trisna Dwi Yuni Aresta menegaskan bahwa adanya kekerasan seksual di lingkungan kampus menunjukkan adanya kemunduran berpikir. Hal itu tejadi, menurut Trinsa disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang sangat timpang antar civitas akademik.

“Memang ada sebuah relasi kuasa yang sangat timpang apabila kita melihat kekerasan seksual di kampus. Karena kebanyakan adalah yang menjadi korban adalah mahasiswa,” tutur Trisna.

Selain itu, Trisna juga menyampaikan harapannya agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera merampungkan rancangan Permendikbud agar segera menjadi dasar hukum dalam pengentasan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan.

“Rancangan Permendikbud semoga segera jadi,” katanya

Trisna menjelaskan, dalam Perppu Nomor 1 tahun 2016 mengenai perlindungan anak, tenaga pendidik mendapat sorotan yang cukup tajam ketika melakukan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu dengan ditambah sebesar 1/3 dari pidana pokoknya.

“Didalam Perppu ini juga dikatakan akan ada pengumuman identitas pelaku secara publik apabila ia melakukan kekerasan seksual,” tegas Trisna.

Kekerasan Seksual dan Media

Terkait perlindungan data korban kekerasan seksual, Solihati Nofitasari mengatakan pihaknya selaku pihak pelayanan terpadu tidak menuntut agar korban melaporkan ke media, karena ditakutkan menambah trauma yang lebih bagi korban dan keluarga.

“Kami tidak menekan kepada korban ataupun keluarganya untuk melaporkan kepada media, tapi kami sifatnya lebih menawarkan, karena dalam kode etik tidak boleh memaksakan untuk publikasikan ke media,” tutur Solihati.

Meskipun mendapatkan izin untuk dipublikasikan, Solihati mengaku tidak langsung melakukannya, mengingat kondisi psikis korban dan keluarga yang masih tidak stabil pasca dilakukan pemeriksaan.

“Kami tidak langsung mempublikasikan ke publik, tapi menunggu ketenangan korban dan keluarga. Karena mereka sudah lelah dengan pemeriksaan di kepolisian,” terang Solihati.

“Trauma tidak akan hilang sampai kapanpun meski ia telah dewasa,” imbih Solihati.

Lebih lanjut, Solihati berpesan, kepada siapapun yang mengalami kasus kekerasan seksual jangan takut untuk melaporkannya, karena identitas dirinya tidak akan dibocorkan kepada siapapun.

“Kalau misalkan ada mahasiswa atau siapapun yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pihak perguruan tinggi manapun, kami siap menerima dan merahasiakan. Karena pada dasarnya apapun yang kami lakukan dengan persetujuan korban dan penyintas. Jangan takut kepada siapapun,” tegas Solihati.