Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022
(Foto: Ist)

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022



Penulis : Ahmad Taufik (The Reform Initiative (TRI) Indonesia)


Pada medio Juli 2021, lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia menunjukkan tingkat tertingginya, baik temuan kasus terkonfirmasi (56.757 kasus baru pada 15 Juli 2021) dan kasus meninggal (2.069 kasus meninggal pada 27 Juli 2021). Bahkan, Indonesia menjadi pusat perhatian dan ramai dibicarakan pada media internasional, disebutkan bahwa Indonesia menjadi epicentrum (Covid-19) baru di Asia Tenggara. Menurut mereka, catatan infeksi harian COVID-19 dan kasus kematian sudah melampaui India dan Brasil.[1]

Saat ini (August 18, 2021, 06:23 GMT) kasus akumulasi kasus Covid-19 di Indonesia, mencapai 3.892.479, dengan rincian 120.013 (3,1%) kasus kematian dan sebanyak 3.414.109 (87,7%) kasus sembuh, dengan kasus aktif sebanyak 358.357 (9,2%) kasus. Kasus positif Covid-19 bertambah 20.741 dari 101.426 orang yang diperiksa dalam 24 jam terakhir. Sehingga jumlah kasus positif Covid-19 sampai saat ini menjadi 3.892.479 orang. Sedangkan untuk kasus sembuh, pemerintah Indonesia melaporkan adanya penambahan sebanyak 32.225 orang, sehingga total pasien yang sembuh menjadi 3.414.109 orang. Sementara pasien yang meninggal dunia karena infeksi Covid-19 juga bertambah sebanyak 1.180 orang, sehingga totalnya kini menjadi 120.013. Tambahan 1.180 tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan angka penambahan kematian harian tertinggi di dunia diikuti Brasil dengan 1.137 kematian dan Amerika 873 kematian.

Selain itu, program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah masih terkendala dengan sebaran dan pemerataan vaksinasi. Berdasarkan data: http://vaksin.kemkes.go.id per tanggal 18 Agustus 2021, update pukul 12.00 wib, progress vaksinasi dosis 1 mencapai 55.192.494 dosis (26,50%), sedangkan dosis 2 mencapai 29.403.345 dosis (14,12%) dari 208.265.720 target sasaran vaksin. Berdasarkan data cakupan vaksin yang sudah berada di atas 50% hanya 3 provinsi, yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 111,8% disusul Provinsi Bali sebesar 91,5% dan Provinsi Kepulauan Riau sebesar 70,75% dari target sasaran vaksinasi masing-masing provinsi. Sementara 31 Provinsi lainnya masih dibawah 50% cakupan vaksinasi. Sedangkan jika dilihat dari target sasaran berdasarkan kategorisasi yang paling rendah adalah penduduk usia 12-17 Tahun dengan capaian 4,65%, masyarakat umum dan rentan dengan capaian 10,75%, sedangkan vaksinasi lansia mencapai 18,79% dari target sasaran. Isu ketimpangan distribusi vaksinasi menjadi persoalan tersendiri, sehingga vaksinasi berjalan lambat dan daerah tidak mendapatkan kuota vaksin. Hal itu juga diakui oleh Kementerian Kesehatan, dengan menjelaskan hal tersebut terjadi karena stok vaksin serta distribusi skala prioritas berdasarkan berbasis risiko (angka kematian tinggi). Distribusi vaksin pun diprioritaskan ke daerah-daerah dengan kasus dan angka kematian yang tinggi, yakni ke tujuh daerah aglomerasi Jawa-Bali.[2]

Di tengah tingginya kasus Covid-19 di Indonesia, pada 05 Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07% (yoy), dan meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2021 yang mengalami kontraksi sebesar 0,74% (yoy). Namun, BPS juga mengingatkan bahwasanya pertumbuhan ini belum mencerminkan kondisi ekonomi RI yang normal. Pertumbuhan yang tinggi pada periode tersebut didorong oleh efek dari basis pertumbuhan yang rendah (low-based effect) pada kuartal II-2020.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan penanganan Covid-19 saat ini, tentunya berupaya lebih fokus dan optimal untuk menekan jumlah penambahan kasus, termasuk menekan kasus kematian dan kasus aktif yang semakin meningkat setiap harinya. Meskipun pemerintah mengatakan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 sangat fleksibel, tetapi perlu ada prioritas dan optimalisasi sumberdaya serta reformasi kebijakan anggaran untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan dampak ekonomi harus dilakukan secara optimal dan efektif dalam penetapan RAPBN 2022 untuk mewujudkan Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, sebagaimana tagline pada saat pidato kenegaraan sekaligus penyampaian nota keuangan RAPBN 2022.

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022

RAPBN selalu direncanakan defisit, bahkan lebih lebar di masa darurat. Jangan lengah! Dalam kondisi normal APBN seharusnya dapat didesain seimbang atau bahkan surplus, karena fungsi APBN lebih banyak didorong untuk memperbaiki fungsi alokasi dan distribusi. Sementara pada kondisi darurat, APBN memungkinkan defisit karena mendorong fungsi stabilisasi. Lebih mencemaskan lagi, defisit anggaran selalu disusun dengan semangat konservatisme di sisi penerimaan dan inefisiensi pada sudut belanja. Pengawasan dan pemantauan anggaran harus dilakukan ketat karena sumber pembiayaan terbesar untuk menutup defisit adalah utang, yang akan menjadi beban dalam pengelolaan keuangan ke depan.

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022

Pandemi Covid-19 mendorong defisit APBN semakin lebar. Rata-rata defisit pada realisasi APBN 2017-2019 sebesar Rp320 triliun atau 2,18% dari PDB. Pada masa Pandemi Covid-19, defisit APBN 2020 meroket tajam dari Rp307,2 triliun (1,76% dari PDB) menjadi Rp852,9 triliun (5,07% dari PDB) pada April 2020 berdasarkan revisi APBN 2020 (Perpres Nomor 54 Tahun 2020). Tidak lama kemudian meningkat kembali pada Juni 2020 menjadi Rp1.039,2 triliun (6,34% dari PDB) berdasarkan revisi kedua APBN 2020 (Perpres Nomor 72 Tahun 2020). Realisasi defisit APBN 2020 juga masih defisit Rp947 triliun (6,14% dari PDB). Tahun Anggaran 2021 juga masih menunjukkan defisit yang tinggi, pada APBN 2021 postur defisit Rp1.006,4 triliun (5,7% dari PDB), sedangkan Outlook 2021 defisit diprediksi Rp961,5 triliun (5,82%dari PDB). Pada RAPBN 2022 meskipun terjadi pengurangan defisit, tetapi defisit masih cukup tinggi, yang direncanakan Rp868,01 triliun (4,85% dari PBD). Defisit ini harus dilakukan dengan mengedepankan azas, optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja, serta efektivitas pembiayaan. Jika tidak, maka akan terjadi seperti tahun awal pandemi (2020), dimana tersisa SAL sebesar Rp245,59 triliun (9,5% dari belanja negara, atau naik hampir 5 kali lipat dari SAL tahun 2019.

RAPBN 2022 didesain defisit Rp868,01 Triliun atau -4,85% dari PDB. Defisit bukan sesuatu yang diharamkan dalam manajemen pengelolaan fiskal, tetapi defisit APBN merupakan diskresi untuk memenuhi kebutuhan belanja dengan mempertimbangkan optimalisasi pendapatan dan inefisiensi belanja, serta efektivitas pembiayaan. Saat ini, kondisi “darurat” tidak boleh dimanfaatkan untuk mendesain kebijakan defisit yang tidak bermanfaat. Skenario defisit anggaran masih cukup tinggi dalam RAPBN 2022, dimana defisit direncanakan sebesar Rp868 Triliun atau 4,9% dari PDB. Rata-rata defisit sebelum pandemi dalam 3 tahun terakhir, hanya 2,06% dari PBD. Meskipun terjadi penurunan defisit dibandingkan pada masa awal pandemi (perubahan APBN 2020, sampai 6,34% dari PBD) dan penetapan APBN 2021 (defisit 5,7% dari PBD). Defisit pada akhirnya akan menjadi beban, dalam pengelolaan keuangan negara, baik dalam belanja (belanja bunga utang) maupun pembiayaan (bayar pokok utang). Dalam RAPBN 2022, belanja bunga utang direncanakan Rp405,86 Triliun terdiri dari Rp393,69 Triliun untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan Rp12,17 Triliun untuk pembayaran bunga utang luar negeri. Secara proporsi belanja bunga utang dalam RAPBN 2022 setara dengan 20,9% dari belanja pemerintah pusat. Atau dengan kata lain, seperlima dari belanja pemerintah pusat digunakan untuk membayar bunga utang.

Menyoal Defisit dalam RAPBN 2022

Evaluasi Pelaksanaan Defisit dalam APBN 2020

Dalam pelaksanaan APBN (realisasi) 2020, dimana kondisi darurat sudah diterapkan melalui Perppu Nomor 1/2020 dan UU Nomor 2 Tahun 2020[3], dan Perpres APBN 54/2020 dan Perpres APBN 72/2020 dimana penyesuaian APBN sudah dilakukan dan defisit meningkat 3 kali lipat dari biasanya. Dalam perubahan APBN 2020, defisit APBN mencapai puncak tertingginya, yaitu sebesar Rp1.039,2 Triliun atau 6,3% dari PDB. Sebagaimana kita ketahui bersama, defisit yang tinggi ini sebagian besar bersumber dari pembiayaan utang. Utang dalam pengelolaanya harus dioptimalkan, baik untuk belanja yang bersifat jangka panjang dan dapat digunakan untuk penanganan pandemi secara maksimal. Sayangnya, dalam pengelolaan akhir APBN, realisasi APBN 2020 dari desain defisit tersebut masih menyisakan SAL yang tinggi, yaitu sebesar Rp245,6 Triliun atau hampir 5 kali lipat dari SAL Tahun 2019. Sebagai informasi, bahwa SAL dalam LKPP APBN 2020 merupakan SAL tertinggi sejak pengelolaan APBN dari tahun 2000.

Perlu skenario defisit dalam RAPBN 2022

Defisit dalam RAPBN 2022 harus direncanakan dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi SAL tinggi sebagaimana dalam LKPP 2020 dan pengelolaannya harus efektif dan efisien dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan dampak ekonominya, terutama yang menyasar kelompok ekonomi masyarakat rentan. Skenario defisit dan upaya mitigasinya harus dijelaskan secara terbuka dan transparan agar bisa kembali sebagaimana mandat pasal 2 ayat (1) huruf (a) angka (1) dan (2) dalam UU 2/2020, dimana batasan defisit melampui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) disesuaikan hingga 2022. Sementara, pada Tahun Anggaran 2023 defisit APBN akan kembali normal menjadi paling tinggi 3% terhadap PDB.


[1] https://www.kompas.tv/article/194388/media-asing-sebut-indonesia-epicentrum-covid-19-dunia-satgas-tetap-tenang-asal-patuh-prokes

[2] https://nasional.tempo.co/read/1490088/menkes-jelaskan-alasan-ketimpangan-distribusi-vaksin-covid-19/full&view=ok

[3] Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.