Menyoal Boikot Film ‘Darlings’, dan Identitas Muslim yang Tak Urgen
Berita Baru, Entertainment – Rilisnya film Darlings (diperankan Alia Bhatt) rupanya tak lepas dari boikot. Alasannya adalah, film ini dianggap mempromosikan atau menormalkan kekerasan terhadap laki-laki, bahkan menjadikannya candaan berbalut dark comedy.
Jelas, tidak ada pemakluman atas kekerasan baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Kekerasan tak hanya bisa dilakukan laki-laki. Perempuan pun mungkin menjadi pelaku relasi beracun. Tapi di sini, agaknya ada konteks lain yang perlu dibaca, alih-alih memboikot filmnya.
Misalnya, bahwa film ini mencoba menampilkan bagaimana perempuan sanggup merespon kekerasan yang mereka alami? Berapa banyak perempuan yang berani membela diri, bahkan beraliansi dengan orangtuanya, seperti yang dilakukan our darling alias Badru?
Sinema, dan Relasi Beracun
Selalu menantang menyaksikan bagaimana sinema ikut mengajak kita menerka: ke mana akhir toxic relationship? Apa solusi dari problem itu? Atau lebih tepatnya: bagaimana perempuan mengakhirinya? Atau, bagaimana perempuan keluar dari relasi beracun?
Ini sebuah pertanyaan ‘bagaimana’ yang besar, karena di dunia nyata sejumlah perempuan kesulitan keluar dari hubungan beracun. Itu juga ide awal film Darlings: perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya: bagaimana perempuan merespon kekerasan yang ia alami?
Hampir sepertiga wanita di India pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, menurut laporan yang masih hangat dari National Family Health Survey-5 yang dipublikasikan oleh Indian Express. Lebih dari 80% kasus kekerasan fisik terhadap perempuan, pelakunya adalah suami.
Selain itu, mereka mencatat, kekerasan fisik atau seksual yang dialami perempuan berkaitan dengan tingkat konsumsi alkohol suami. 70% wanita yang suaminya sering mabuk pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual.
Artinya, gambaran Darlings tentang kekerasan terhadap perempuan sangat relevan di sini.
Sementara dalam sinema, sudah ada upaya mendiskusikan toxic relationship lewat narasi film, diantaranya film PINK, Bulbbul, dan The Invisible Man. Dan yang paling bikin penasaran dari film dengan isu ini adalah: bagaimana solusinya? Bagaimana menyelamatkan diri dari kekerasan dan relasi toxic?
Dalam PINK, para perempuan terpaksa mengambil jalur hukum, karena kasusnya telah melibatkan kepolisian. Mereka juga ‘beruntung’ punya pengacara yang meski tak cerewet, tapi konsisten membela.
Sementara, film Bulbbul bergeser ke dimensi fantasi, titik yang esktrem. Perempuan ‘baru bisa’ membela diri dan kaumnya setelah ia dirasuki kekuatan gaib. Perempuan butuh pihak ketiga, kekuatan yang tidak biasa, dukungan dari keberadaan yang lain. Dalam film ini, tak ada ampun bagi pelaku kekerasan, bahkan juga lebih spesifik: tak ada ampun bagi pelaku pernikahan dini. Mereka mati di tangan Bulbbul.
Mengusung toxic relationship, The Invisible Man menawarkan eksekusi yang mirip Bulbbul, namun di dunia nyata alih-alih mengambil latar mistis atau gaib. Tak ada jalan lain melawan kekerasan selain membalasnya, dengan kekerasan.
Dalam kasus Bulbbul, gadis itu tak berdaya, Kakinya hancur dipukuli hingga tulang telapak kakinya menekuk terbalik. Ia dipukuli karena suaminya, yang berusia jauh lebih tua, cemburu padanya. Dalam keadaan payah itu, Bulbbul diperkosa oleh saudara kembar suaminya, yang sejak awal sudah ‘mengincar’ Bulbbul.
Sementara dalam The Invisible Man, Cecilia melarikan diri dari kekasihnya, Adrian, seorang tukang kontrol yang obsesif dan jahat. Kekerasan yang Cecilia alami adalah lahir batin: ya fisik, ya mental. Setelah berhasil kabur, Cecilia justru tak tenang. Ia merasa seseorang ‘mengikutinya.’
Akhir dari kisah itu adalah, sebuah ‘kekuatan baru’ hidup dalam diri Cecilia. Tak ada yang bisa menolongnya bebas dari kesakitan yang Adrian buat. Adrian menyulapnya menjadi perempuan gila. Adrian bahkan membunuh orang terdekat Cecilia. Kejahatan Adrian enggak kaleng-kaleng. Ia pun membunuh Adrian.
Bagaimana dengan Darlings?
Darlings memotret isu serupa dengan kultur dan nuansa yang lebih spesifik dan ngepop: keluarga menengah di India. Badru mencintai Hamzah, namun suaminya itu berubah jadi monster, nyaris setiap malam, setelah menenggak minuman keras. Tangan, punggung, kepala Badru jadi samsak tinju.
Ibunya berkali-kali menyuruh Badru meninggalkan Hamzah, hingga ia sendiri pun kena pukul. Perjuangan dan kesabaran mereka menghadapi Hamzah sampai pada puncaknya, ketika Hamzah menggugurkan kandungan Badru. Badru setelah itu adalah Badru yang berbeda, ia mati-matian mengorek akal untuk menghentikan teror monster itu, meski dicicil satu-satu mulai dari: obat tidur. Namun ia tak pernah bisa benar-benar membunuh suaminya, hingga akhir film pun Badru tak tega. Ia cinta.
Menurut saya, kekerasan terhadap laki-laki bukan sesuatu yang dipromosikan di Darlings. Karena sebelum itu, harusnya film ini diboikot karena: mewajarkan tayangan kekerasan terhadap perempuan dalam film.
Lagi-lagi, diskusinya harus lebih luas dari itu.
Alih-alih diboikot, film ini bisa dijadikan refleksi bersama: bisakah laki-laki bekerja sama demi rumah tangga yang, bermanfaat dan bernuansa kesalingan? Karena itulah titik berangkatnya. Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki menjadi tak mungkin terjadi.
Keresahan lain seputarnya
Yang justru meresahkan dari Darlings, adalah identitas yang diusung dalam film ini. Mengapa Darlings memilih latar keluarga Muslim, diantara latar lain yang bisa dipilih?
Di negara dengan kefanatikan Hindu, dengan tingkat kekerasan terhadap Muslim yang tinggi, bukankah Darlings justru berpotensi mempertebal stigma dan sentimen negatif terhadap Muslim? Tidakkah ini faktor yang perlu dipertimbangkan? Apalagi ini proyek mahadaya, diproduseri Gauri Khan, Alia Bhatt, dan Gaurav Verma, di bawah bendera Red Chillies, dan cus rilis di Netflix.
Pemerannya pun tak beragama asli Muslim. Adegan yang menampilkan ritual kemusliman pun, nyaris tak ada. Jadi… apa urgensinya identitas Muslim di sini?
Sinopsis Darlings
Badrunissa “Badru” (Alia Bhatt) menikahi kekasihnya, Hamza Shaikh (Vijay Varma), yang beralih menjadi pecandu alkohol. Ia menenggak alkohol tiap malam, dan tiap malam itu pula memukuli istrinya. Kekerasan di bawah pengaruh alkohol itu berlangsung setiap malam selama 3 tahun pernikahan mereka.
Ibu Badru, Shamshunissa “Shamshu” (Shefali Shah), menyuruh Badru meninggalkan suaminya. Namun Badru yakin, Hamza akan berubah dan berhenti minum alkohol jika mereka punya anak.
Badru memang akhirnya hamil, dan selama beberapa bulan itu Hamza menjelma menjadi suami kesayangan. Namun, suatu kejadian menghidupkan kembali monster itu. Sikap tempramen Hamza membuat Badru kehilangan jabang bayinya.
Setelah kejadian itu, Badru dan ibunya bekerja sama mencari celah untuk menghentikan teror Hamza. Bagaimana caranya?
Darlings sudah bisa kamu tonton di Netflix.