Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Perokok
Ilmuwan menemukan hasil survei dimana para perokok memiliki resiko rendah untuk tertular Covid-19, Sumber : Dailymail.co.uk

Menurut Survei, Ternyata Perokok Lebih Rendah Tertular Covid-19



Berita Baru , India – Ternyata perokok dan vegetarian ditemukan memiliki seropositif yang lebih rendah. Artinya, orang-orang tersebut mungkin berisiko lebih rendah untuk terkena virus corona atau COVID-19.

Dilansir dari CSIR.res.in Menurut serosurvey pan-India yang dilakukan oleh Council of Scientific and Industrial Research, di hampir 40 insitutnya menyatakan Survei tersebut juga menemukan bahwa orang-orang dengan golongan darah ‘O’ kurang rentan terhadap infeksi. Sementara orang dengan golongan darah ‘B’ dan ‘AB’ berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi COVID-19.

Dalam studinya, Council of Scientific and Industrial Research (CSIR) mengambil sampel 10.427 individu dewasa yang bekerja di laboratorium atau institusi dan anggota keluarganya, berdasarkan partisipasi sukarela, untuk menilai keberadaan antibodi terhadap SARS-CoV-2.      

Studi yang juga dipiloti oleh CSIR-Institute of Genomics and Integrative Biology (IGIB), Delhi, menyebutkan, dari 10.427 individu, 1.058 (10,14 persen) memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2.

Kemudian, tindak lanjut pada 346 individu seropositif di antara sampel setelah tiga bulan mengungkapkan, tingkat antibodi ‘stabil’ hingga ‘lebih tinggi’ terhadap SARS-CoV-2, tetapi aktivitas plasma untuk menetralkan virus menurun.

Ilmuwan senior di IGIB, Shantanu Sengupta dan salah satu dari rekan penulis makalah tersebut mengatakan, pengambilan sampel berulang dari 35 orang selama 6 bulan, menunjukkan penurunan kadar antibodi, sementara antibodi penetral tetap stabil dibandingkan dengan 3 bulan.      

Namun, baik antibodi normal maupun antibodi penetral jauh di atas ambang batas yang disyaratkan. 

“Penemuan kami bahwa perokok cenderung tidak menjadi seropositif adalah laporan pertama dari populasi umum dan bagian dari bukti yang berkembang bahwa meskipun COVID-19 adalah penyakit pernapasan, merokok mungkin melindungi,” kata penelitian tersebut, Pada Senin (18/01). 

Makalah itu juga mengutip dua penelitian dari Prancis dan laporan serupa dari Italia, New York dan China, yang juga melaporkan tingkat infeksi yang lebih rendah di antara para perokok. 

Sengupta lebih lanjut mengatakan, perokok cenderung lebih rentan terhadap COVID-19 karena merokok meningkatkan kemungkinan penularan virus dari tangan ke mulut, dan memperingatkan bahwa penggunaan produk tembakau dapat meningkatkan keparahan infeksi saluran pernapasan dan membuat orang rentan terhadap virus ini. 

Dalam dokumen ‘Pandemi COVID-19 dan Penggunaan Tembakau di India’, Sangupta mengatakan para ahli telah mengonfirmasi bahwa perokok lebih mungkin mengembangkan gejala parah atau meninggal karena COVID-19, karena penyakit itu terutama menyerang paru-paru dan memperingatkan agar tidak menggunakan produk apapun semacamnya. 

Perokok, diperingatkan, kemungkinan besar lebih rentan terhadap COVID-19 karena tindakan merokok berarti jari (dan mungkin rokok yang terkontaminasi) bersentuhan dengan bibir yang meningkatkan kemungkinan penularan virus dari tangan ke mulut.

“Kehadiran antibodi semacam itu merupakan penanda infeksi dan pemulihan yang andal. Namun, beberapa orang yang terinfeksi mungkin tidak mengembangkan antibodi,” kata Anurag Agrawal, direktur IGIB, dan salah satu rekan penulis makalah tersebut.

“Penggunaan transportasi pribadi, pekerjaan dengan eksposur rendah, merokok, vegetarian dan golongan darah ‘A’ atau ‘O’ tampaknya melindungi, menggunakan seropositif sebagai pengganti infeksi,” tambah dia. 

Sengupta mengungkap, ini untuk pertama kalinya sebuah penelitian dilakukan di India di mana individu telah dipantau selama tiga bulan (35 individu) hingga enam bulan (346 individu) untuk antibodi, termasuk mereka yang memiliki kemungkinan aktivitas penetral. 

“Ini adalah survei kohort pertama. Kami melakukan tes antibodi normal dan tes anti-tubuh netralisasi untuk memahami prevalensi dan durasi antibodi,” tutur Shantanu Sengupta.