Menuju Kekal | Puisi-puisi Vito Prasetyo
Menuju Kekal
ingin kubaca lebih kusyuk
di geligi malam yang tak pernah tidur
di antara serpihan sinar
timbul-tenggelam
cahaya lilin mendera
redup, rapuhkan ingatan
– kullu nafsin zaa’iqatul-maut
lafal itu serupa air bening
membasuh dahaga
seluruh aliran jiwaku
mengalir alif – ba – ta’
adalah diriku, sajak tak berlafal
dangkal dan hina
sedalam jurang di telapak sujud
hanya mampu menulis aksara musim
di selembar jejak
menuju aksara kematian
Malang, 2021
Tanah Lot
: Umbu Landu Paranggi
biar kugali matapenamu
di lubang rahim para penyair
dari jalan yang bersembunyi
pada tumpukan ingatan
sampai ujung sungai
yang mengalirkan senyawa baru
kokok ayam bangunkan mimpi
kita telah tertidur
di tubuh puisi yang memajang cinta
samar mataku memandang
embun menguap
memeluk cahaya pagi
gadis-gadis bukit turun
menebar aroma baru
di semai rumput yang mulai kering
kakinya menjuntai pasir
menjelma puisi jadi hiasan tanah lot
di helai kertas
luka kita makin menganga
didera angin
merenda langit, jatuh
tanah lot serupa seremoni
yang tiriskan cahaya di tikung jauh
dan penaku menggeliat gundah
Malang, 2021
Sebatang Kara
: untuk Umbu dan Radhar
dan engkau bilang kata-kata
hidup di sebagian jiwa
berlari bersama kaki-kaki terikat
mengembara di bukit sepi
langit, mungkin bermata sembab
lepaskan merpati terbang sendiri
/ puisiku hidup sebatang kara
dan engkau bilang jejak
menjelma gundah tanah
itukah pesan moral
yang merobak nurani anak-anak negeri
atau menjadi monolog di pusara
bertabur redup cahaya malam
dan rembulan duduk merenung
di pelepah ingatan yang tak pernah terbaca
/ peziarah membaca ode
di pertapaan sinar putih
membuncah desah sepasang catatan
mungkin itu pesan
di antara napak tilas
sepanjang Bali dan Yogyakarta
atau tanah-tanah lain
berteriak histeris
di geligi sepi yang engkau pagut
/ dan hanya sajak menunggang kuda putih
menyusuri morfem
di pelataran mimpi para penyair
Malang, 2021
Secangkir Kopi Von Goethe
Kematian apa yang engkau inginkan von Goethe
apakah sajakku belum cukup mengiringi bunga-bunga yang tertabur
saat sembilu bulan merintih malam, dalam sekam yang mengurai melodi
dan sengketa angin jalan beriring menyisakan punggung sinar
di penghentian bias secangkir kopi
Adalah Erlkonig pernah menceritakan kematian, yang engkau sebut setan
kemilau warna di antara sepi telah menjadi sayatan lagu
langit mana lagi yang harus kita tikam
sebilah pisau telah meruncingkan cinta
ketika hujan harus bercerita tentang tubuh-tubuh yang kuyup
dan kita hangatkan di perapian di depan meja jamuan kopi
kulit-kulit kita semakin menua, terlipat tanah kuburan
Seperti jamur, cafe-cafe tumbuh subur
kita kehilangan tangkai pena
selarut malam, masih tersisa perjalanan panjang
di antara deru masa, sajak kehilangan aroma
hingga segar angin tak lagi sejuk
meringkas rintihan lelaki dalam satire yang telah menguburkan diri
kita baringkan mimpi, apakah esok menjadi filsafat
atau hanya sebuah melodi
mengiringi kematian di larut malam yang bersimbah ampas kopi
Malang – 2020
Tak Ada Jalan Lain
/
pintu dan jendela
terbuka dan tertutup
tempat pori-pori
dimana angin tak peduli
menerobos keluar masuk
mengirimkan rindu dan gelisah
/
pintu dan jendela
ulurkan cahaya
di bibir kita dan mengucap
“enyahlah gelap”
yang menyempurnakan gelisah
hingga rindu tenggelam
rapuh di tepi sembab
/
pintu sepi, buntu
jendela menguap, senyap
gemerlap lampu merenggang
kilaukan mata di sudut fana
puisi kita terhenyak
lantunkan diksi menyapa durjana
tak ada lagi jalan lain
/
di hari lain
pintu dan jendela merekah
langit mengirim hujan
membasuh kata-kata dan menguburkannya
di pusara yang mmengekang aroma
tanah-tanah dijejali makna
dan memulai peradaban
/
menjenguk kata-kata di hari lain
tidak ada yang baru
tersuguhi di pinggir jalan ini
hanya lalu-lalang puisi
berkemas diri seperti absurd
ingin kuhidupkan lagi, Arthur Rimbaud
di hadapannya,
satu-dua pengamen
menjajakan suara, di terik panas menyengat
dan kakinya
suara kerikil mendurhakakan tanah
sampah-sampah berserakan
/
di sudut jalan, gang buntu
telatah anak kecil penuh sembab
sejenak gerimis akan menjemput
langit membara panas
hitamkan awan berarak
tatapan kita penuh gelisah
berlari menggegas diri
dan di kepala ini terisi umpatan
tersimpan untuk memurkai langit
/
satu-persatu
akar tercabut, tak lagi rindang
sesenggukan tangis mengiringi
hujan adalah luka
antara persetubuhan angin dan awan
pintu dan jendela kita tutup
biarkan Arthur Rimbaud membasahi sajaknya
Malang, 2021
VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya. Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, serta di Malaysia.