Menteri PPPA Desak Pengesahan RUU PKS
Berita Baru, Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Hal tersebut disampaikan Bintang dalam Webinar Kebijakan dan Aturan Hukum Pencegahan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual yang diselenggarakan melalui Youtube INFID, Rabu, 2 November 2020.
“Pembahasan RUU PKS mulai dari konsep, naskah akademik, sampai dapat menjadi rancangan UU memang sudah melalui proses yang sangat panjang. Maka RUU PKS ini harus segera disahkan,” kata Bintang, Rabu (2/12).
Bintang menyebut, RUU PKS harus segera disahkan karena pertama, secara dasar penyusunan RUU PKS telah memenuhi syarat berdasarkan landasan filosofis. Adanya pengaturan ini merupakan komitmen dan mandat dari Pancasila dari Undang-Undang Dasar NKRI 1945.
Sedangkan dari landasan sosiologis rancangan uu ini adalah banyaknya isu mengenai penghapusan kekerasan seksual dan banyaknya korban. Sementara itu, rancangan yuridis dari RUU ini adalah adanya kekosongan hukum mulai dari pencegahan, hingga penanganan dan rehabilitasi yang berperspektif korban dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Kedua, dibutuhkan sistem pencegahan kekerasan seksual yang komprehensif. RUU PKS mengatur pula mengenai pencegahan kekerasan seksual di berbagai bidang diantaranya pendidikan, pelayanan publik dan tata ruang pemerintah, dan tata kelola kelembagaan ekonomi dan sosial budaya.
Ketiga, perlu adanya pengaturan yang berperspektif korban. Korban kekerasan seksual rentan mengalami stigmatisasi sosial yang menyebabkan dirinya mengalami diskriminasi ganda dan berlapis.
“Sering sekali kekerasan seksual juga dianggap sebagai aib sehingga orang-orang terdekat korban malah mendukung agar menutup-nutupi kekerasan yang dialami, maka hak korban untuk mendapatkan penanganan hingga rehabilitasi baik secara fisik dan psikis harus diatur secara khusus. Apalagi jika korban adalah anak atau penyandang disabilitas,” ujar Bintang.
Bintang juga tidak menutup mata bahwa RUU PKS ini merupakan polemik yang memunculkan pro dan kontra dari masyarakat. Terdapat kelompok masyarakat yang masih menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Seperti diketahui bahwa RUU PKS telah ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Hal ini menjadi keprihatinan serta tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
“Marilah kita manfaatkan kesempatan ini untuk bersama-sama membangun narasi, menyamakan persepsi, mengedukasi dan menyatukan langkah sehingga terbangun komitmen bersama yang dapat mendorong pengesahan RUU PKS,” ucap Bintang.
Lebih lanjut, Bintang mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam menginisiasi surat terbuka dukungan percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PKS pada 20 Juli 2020.
Menurut Bintang, tujuan untuk menghapuskan kekerasan seksual tidak akan tercapai tanpa adanya sinergi secara menyeluruh mulai dari pemerintah di tingkat pusat, hingga daerah untuk turut serta mengambil peran dalam mengisi kekosongan hukum yang masih ada.
Apalagi setiap daerah memiliki karakteristik masing-masing yang solusinya juga tidak dapat disamaratakan. Perlu adanya suatu pengkajian dan evaluasi rutin terkait sejauh mana hukum bisa mengakomodir berbagai fenomena yang terus berkembang di masyarakat.
Oleh sebab itu, Bintang berpesan bagi para pemangku kepentingan di Provinsi Aceh sebagai daerah otonom yang mendapat keistimewaan untuk memiliki sistem hukum sendiri, untuk dapat menyesuaikan hukum tersebut dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia yang adil dan setara demi perempuan berdaya Indonesia maju.
“Saya berharap acara yang sangat baik ini dapat menjadi awal yang baik pula demi membangun suatu pondasi kebijakan dan aturan hukum yang benar-benar melindungi dan memberikan rasa aman bagi perempuan-perempuan aceh,” tandas Bintang.