Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mensegerakan Realisasi Anggaran Kesehatan untuk Covid-19
Ilustrasi anggaran kesehatan (Foto : Istimewa)

Mensegerakan Realisasi Anggaran Kesehatan untuk Covid-19



Mensegerakan Realisasi Anggaran Kesehatan untuk Covid-19

Timboel Siregar

Direktur BPJS Watch


Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyatakan dari total alokasi dana Rp. 87,55 Triliun (T) untuk sektor Kesehatan, dana yang baru terealisir di medio Juli ini sekitar 7,22%. Tentunya realisasi anggaran tersebut sangat rendah dan tidak normal mengingat jumlah pasien Covid19 semakin meningkat tiap hari dan RS terus berjuang untuk merawat pasien-pasien Covid19. 

Anggaran Rp. 87,55 T tersebut dialokasikan untuk :

  1. Belanja Penanganan Covid19 sebesar Rp. 65,8 T.
  2. Insentif Tenaga Medis Rp. 5,9 T
  3. Santunan Kematian Rp. 0,03 T
  4. Bantuan Iuran JKN Rp. 3,0 T
  5. Gugus Tiugas Covid19 Rp. 3,5 Tf. Insentif Perpajakan di bidang Kesehatan Rp. 9,05 T

Dari 6 pos tersebut, yang mengkontribusi rendahnya realisasi alokasi anggaran Kesehatan adalah Pos Belanja Penanganan Covid-19, Insentif Tenaga Medis dan Bantuan Iuran JKN.

Dari Rp. 87,55 Triliun tersebut, alokasi anggaran untuk belanja penanganan covid-19 sebesar Rp. 65,8 T. Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01/07/MENKES/238/2020 sebagai dasar hukum pembiayaan pasien Covid-19 memang masih bermasalah di tingkat pelaksanaannya yang menyebabkan realisasi anggaran Rp. 65,8 T masih sangat rendah.

Hal ini disebabkan beberapa hal, pertama, masih ada pasien Covid19 yang tidak mengetahui tentang KMK no. 238 ini sehingga pasien membiayai sendiri atau melalui asuransi swasta yang dipegangnya. Hal ini karena kurangnya sosialisasi KMK No. 238.

Dalam Diktum Ketiga KMK no. 238 ini dinyatakan Rumah sakit penyelenggara pelayanan Covid-19 dapat melakukan pengajuan pembebasan biaya pasien COVID-19 untuk pasien yang dirawat sejak tanggal 28 Januari 2020. Jadi yang melakukan klaim adalah RS, sehingga pasien Covid-19 menanti RS yang melakukan klaim. Kalau pasien tidak meminta klaim maka kecenderungannya RS tidak mengklaim biaya ini ke Pemerintah.

Saat ini KMK No. 238 sudah disempurnakan oleh (KMK) RI Nomor HK.01/07/ MENKES/446/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu bagi Rumah Sakit yang Menyelenggarakan Pelayanan Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19). Saya mendorong Pemerintah melakukan sosialisasi kedua KMK ini sehingga masyarakat tahu tentang pembiayaan Covid-19 yang memang ditanggung Pemerintah.

Mengingat pembiayaan ini berlaku sejak 28 Januari 2020 maka bagi pasien Covid-19 yang selama ini telah membiayai sendiri dapat meminta RS mengajukan klaim pembiayaannya, sehingga biaya yang sudah dikeluarkan dapat dikembalikan kepada si pasien.

Kedua, dalam pelaksanaan di lapangan hingga saat ini ada klaim RS yang belum bisa diverifikasi oleh BPJS Kesehatan, dengan berbagai alasan. Saat ini saya masih membantu seorang pasien Covid19 yang sudah sembuh dan ingin mengklaim biayanya tapi sulit karena beberapa alasan. Salah satu alasan dokumen klaim dari RS belum bisa dilakukan adalah karena adanya kewajiban RS mengembalikan terlebih dahulu biaya yang sudah dibayar pasien. Atas alasan tersebut, sebelum melakukannya, RS ini merasa perlu meminta penjelasan dari pihak Kemenkes karena mereka melihat adanya ketidaksinkronan poin tersebut dengan poin yang ada di PMK no. 238. RS tersebut sudah merawat sekitar 200 pasien Covid19.

Menurut saya hal seperti ini tidak perlu dipersyaratkan dengan ketat, lakukan saja verifikasi dokumen klaim oleh BPJS Kesehatan sehingga nanti bisa dibayar oleh Kemenkes ke RS tersebut. Nah bila dana dari Kemenkes sudah masuk ke RS, barulah RS membayarkan ke pasien. Kemenkes tinggal mengawal pembayaran tersebut.

Kasus yang saya tangani ini sudah hampir 2 bulan, dan ini yang menyebabkan pasien menjadi bingung karena anggaran tidak cair juga. Bayangkan saja ada 200 pasien Covid19 yang sudah ditangani RS tersebut yang kemungkinan dibayar sendiri oleh si pasien. Tentunya selain kasus di atas, ada hal-hal lain yang menyebabkan masih belum bisanya RS mendapatkan klaim pembiayaan dari Pemerintah.

Ketiga, persoalan teknis di lapangan ini menyebabkan banyak terjadi Perselisihan (dispute) antara RS dan Pemerintah. Pemerintah terlambat membuat ketentuan tentang penyelesaian Dispute ini, karena di KMK no. 238 tidak mengatur tentang mekanisme dan organ yang melakukan penyelesaian dispute ini. Baru pada tanggal 8 Juli 2020 lalu keluar Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/111/2928/2020 tentang Tim Teknis Penyelesaian Klaim Dispute pada RS yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19.

Saya menilai Kemenkes terlambat merespon persoalan dispute pembiayaan Covid-19 ini sehingga banyak persoalan klaim yang dialami RS, dan berpotensi menggangu cash flow RS dalam membiayai operasionalisasi RS untuk pasien Covid-19 maupun pasien lainnya.

Menurut saya, paling tidak tiga hal di atas yang menyebabkan realisasi anggaran sebesar Rp. 65,8 T masih rendah hingga saat ini.

Terkait anggaran Insentif Tenaga Medis, dari Rp. 87,55 Triliun tersebut, alokasi anggaran untuk Insentif Tenaga Medis sebesar Rp. 5,9 T. Tentunya anggaran Rp. 5,9 T ini pun masih rendah realisasinya.

Sampai 1 Juli 2020, realisasi anggaran untuk Insentif Tenaga Medis baru mencapai Rp 408 miliar (6,9%). Realisasi ini masih sangat rendah. Penyaluran dana insentif tenaga medis ini berdasarkan KMK nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 yang sudah diubah oleh KMK nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Masih rendahnya proses penyaluran insentif tenaga medis disebabkan prosedur di KMK no. 278 yang birokratis dan ketat, dan hanya untuk RS rujukan Covid19.

Pada KMK no. 278 proses verifikasi dokumen pengajuan insentif stepnya sangat panjang yaitu dilakukan dari tahap faskes atau dinas kabupaten/kota, provinsi, dan Kementerian Kesehatan. Dari Kementerian Kesehatan dokumen pengajuan langsung diserahkan ke Kementerian Keuangan. Sedangkan dalam KMK yang baru no. 392, proses verifikasi dokumen pengajuan insentif hanya sampai di tingkat dinas provinsi dan langsung diajukan ke Kementerian Keuangan.

Dalam KMK no. 392 RS yang dapat mengajukan insentif tidak hanya rumah sakit rujukan COVID-19, tapi juga memberikan kesempatan kepada RS manapun yang menangani kasus COVID-19 untuk mengajukan insentif bagi tenaga kesahatannya.

Semoga dengan KMK 392 ini, proses pelaksanaan dapat lebih mudah lagi dan cepat sehingga realisasi insentif tenaga medis yang dialokasikan sebesar Rp. 5,9 T lebih besar lagi.

Terkait dengan Bantuan Iuran JKN, dari anggaran Rp. 87,55 Triliun, alokasi anggaran untuk Bantuan Iuran JKN sebesar Rp. 3 T. Tentunya anggaran Rp. 3 T ini pun berpotensi akan rendah realisasinya, mengingat anggaran Rp. 3 T ini digunakan untuk mensubsdi iuran peserta klas 3 Mandiri yang membayar iuran, yaitu sebesar Rp. 16.500 per orang per bulan. Saat ini peserta klas 3 Mandiri sekitar 21 juta orang.

Realisasi anggaran Rp. 3 T ini dimulai bulan Juli 2020 ini hingga Desember 2020. Bagi peserta klas 3 mandiri yang tidak membayar iuran JKN (atau non aktif) maka subsidi tidak direalisasikan. Per 31 Mei 2020 jumlah peserta mandiri JKN yang menunggak iuran sebanyak 16.215.342 peserta (53,71%), termasuk didalamnya peserta klas 3 yang mendominasi peserta mandiri.

Dengan kondisi pandemi yang menyebabkan daya beli masyarakat turun, kenaikan iuran JKN per 1 Juli 2020 ini akan menambah banyak peserta klas 3 mandiri yang non aktif sehingga realisasi anggaran Rp. 3 T tersebut berpotensi akan rendah juga.

Dalam masa pandemi ini, semoga Pemerintah lebih mempercepat proses pencairan anggaran khususnya pos Belanja Penanganan Covid19 dan pos Insentif Tenaga Medis sehingga RS bisa terbantu cash flownya dan para tenaga medis mendapat insentif untuk menunjang kebutuhan hidup beserta keluarganya.

Pinang Ranti, 30 Juli 2020