Menko Polhukam: Politik Uang Masih Terjadi di Pilkada
Berita Baru, Jakarta – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa masih ada praktik politik uang yang terjadi dalam pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).
Hal ini disampaikan saat Mahfud menjadi pembicara dalam acara Workshop Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKSI) di Jakarta, Senin (24/2).
Politik uang, menurut Mahfud sudah terjadi sejak Orde Baru, dimana pada saat itu politik uang tersebut terjadi di tubuh DPRD.
“Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai,” ujar Mahfud seperti dikutip dari ANTARA.
Menurutnya, politik uang pernah terjadi di Pilkada Yogyakarta dan Jawa Timur pada zaman Orde Baru, saat itu, anggota DPRD diberi uang untuk meloloskan Kepala Daerah tertentu.
“Mulai di daerah saya di Yogyakarta. Kepala Daerah mau pemilihan, anggota DPRD-nya 45, sebanyak 23 orang dikarantina, dibayar kamu harus pilih ini. Di Jawa Timur sana di mana terjadi. Jadi kemungkinan ya kepala daerah lalu terjadi jual beli pada waktu itu dan itu menjadi bahasan sehari-hari. Kalau begitu kebablasan DPRD yang zaman orde baru itu. Sekarang diperkuat menjadi legislatif menjadi tulang punggung, sekarang menjadi alat jual beli politik untuk jabatan,” jelas Mahfud.
“Itulah untuk jabatan gubernur misalnya waktu itu gampang sekali orang bayar Rp5 miliar satu suara asal memilih gubernur ini. Transaksinya di lobi hotel yang dikontrol oleh ketua fraksi partai,” imbuhnya.
Pergantian Sistem Pilkada
Hingga kemudian, kata Mahfud, pemerintah pun mengganti sistem pemilihan kepala daerah melalui UU No 32 Tahun 2004 yang dipilih langsung oleh rakyat.
“Itu terjadi tahun 2004. Karena kemarahan politik kita terhadap DPRD di berbagai daerah. Sehingga di era-era itu banyak anggota DPRD masuk penjara. Kita ubah UU sekarang jadikan kepala daerah DPRD sebagian di tekan gajinya diperkecil ini nya tidak boleh lagi minta laporan pertanggungjawaban. Tapi apakah keadaan lebih baik? tidak,” jelasnya.
Namun, saat ini praktik tersebut menurutnya telah beralih dari DPRD ke Partai Politik (Parpol).
“Ndak bayar ke DPRD, bayar ke partai, mahar namanya. Ini terus terang saja, begitu. Apa betul? Ya betul, ya betul lah. Wong sudah dimuat di koran begitu. Orang kan bilang itu tidak ada, tetapi yang kalah itu melapor, yang menang tidak, yang kalah melapor,” jelas Mahfud.